Tiap hari, kayaknya pasti ada aja gadget atau gawai teknologi baru yang keluar di pasaran. Maka tak heran, jumlah barang elektronik yang dimiliki tiap orang biasanya akan terus bertambah. Sayangnya, sejauh ini, kita tampaknya hanya peduli dengan memiliki teknologi terbaru tanpa memikirkan konsekuensi dari sampah-sampah elektronik terus menggunung sebagai konsekuensinya. Sampah elektronik atau biasa disebut electronic waste (e-waste) kini menjadi limbah yang paling cepat meningkat di dunia. FYI, menurut Eco-Bussiness, jumlahnya bahkan sudah melebihi manusia lo.
Era digital yang kian meningkat kerap dilihat dari sisi positifnya saja. Di sisi lain, inovasi dalam teknologi digital modern memiliki kerugian yang sangat besar. Maklum, akumulasi e-waste ini lebih dari 50 juta ton di dunia tiap tahun. Jika dibiarkan tentu berbahaya bagi kelangsungan hidup lantaran terdapat berbagai bahan kimia di dalamnya. Simak ulasan selengkapnya tentang fakta e-waste berikut ini.
ADVERTISEMENTS
Sampah elektronik yang mayoritas berasal dari negara maju, ternyata banyak dibuang secara ilegal ke India, Cina, atau Ghana lo
Kamu tahu nggak kalau setiap bulan ada ratusan kontainer limbah elektronik tiba di Agbogbloshie? Desa nelayan di Accra, Ghana, tersebut merupakan lokasi pembuangan sampah elektronik terbesar di dunia. Akibatnya, tempat ini dilanda polusi parah dan mengalami kerusakan lingkungan yang tak lagi bisa diperbaiki. Dari mana asalnya? Ya dari seluruh dunia — terutama justru dari negara-negara maju yang warganya mampu berganti iPhone tiap kali ada keluaran terbaru.
Daripada headline siapa yang berhasil jadi pembeli pertama iPhone terbaru, mending mulai sekarang lebih fokus tentang nasib iPhone atau gawai elektronik lain yang harus disingkirkan. Ada yang mungkin hanya menumpuk di laci atau gudang, ada juga yang dijual kembali, tapi sekitar 75% dari limbah sampah elektronik ini akan berakhir di negara-negara Ghana, India, atau Cina. FYI, limbah tersebut dibuang secara ilegal, mencemari lingkungan, dan memengaruhi kehidupan para penduduk yang dipaksa hidup berdampingan dengan sampah elektronik.
Apalagi dengan (masih) mahalnya biaya daur ulang elektronik, sampah elektronik yang berhasil dimanfaatkan kembali cuma sekitar 20% aja. Sisanya teronggok di mana-mana
Sepertinya semua orang tahu kalau sampah itu memang sebaiknya didaur ulang. Akan tetapi proses daur ulang memang tidak gampang dan seringkali memakan biaya mahal. Apalagi untuk sampah-sampah elektronik. Menurut laporan yang dirilis di World Economic Forum (WEF) seperti dilansir dari Inter Press Service Agency, hanya 20 persen limbah elektronik (komputer, ponsel, laptop, TV, printer, dan peralatan listrik rumah tangga) yang secara resmi didaur ulang. Kalau total sampah yang dimanfaatkan kembali nggak berubah, maka diperkirakan jumlah e-waste akan hampir tiga kali lipat bertambah, yaitu sekitar 120 juta ton pada 2050. Tuh, mengenaskan banget ya!
Undang-undang yang mengatur perihal sampah elektronik ini juga masih sangat kurang. Kalaupun diatur, Â kayaknya implementasinya bakal sulit
Peraturan tentang sampah elektronik ini memang ada, namun tak bisa diandalkan karena penegakan hukumnya diberbagai negara pun kurang. Dalam laporan tersebut, dikatakan kalau inovasi yang cepat dan penurunan biaya telah meningkatkan akses ke produk elektronik dan teknologi digital. Manfaatnya pun makin banyak dan mudah digunakan siapa saja. Di sisi lain, undang-undang tentang e-waste seperti di Uni Eropa misalnya, berbunyi kalau 85 persen semua limbah elektronik yang dihasilkan di Uni Eropa harus didaur ulang pada 2019. Tapi target itu dianggap percuma lantaran masih banyak orang-orang yang hobi mengoleksi barang bekas tanpa digunakan lagi.
Kalau konsumsi terhadap barang elektronik terus bertambah dan tak ada penerapan solusi yang benar, maka generasi selanjutnya akan mendapat limbah yang makin banyak. Limbah elektroniknya tak bisa dihancurkan, beracun dan semakin menumpuk. Btw, kamu sendiri kalau ada barang elektronik yang tak terpakai lagi gimana?