Langit mendung memayungi Jakarta sejak Sabtu siang (7/12/2019). Meski telat datang, musim penghujan tetap milik bulan Desember. Sedikit khawatir tak bisa menikmati jalannya hari dengan maksimal, saya tetap berangkat menuju Lapangan Panahan Senayan, Jakarta, tempat dilangsungkannya Joyland Festival 2019.
Sejak awal deretan penampil diumumkan, festival musik yang terakhir diselenggarakan pada tahun 2013 ini berhasil membuat tak sabaran. Ditambah ‘kebaruan’ yang mereka usung dengan menghadirkan pangung standup comedy dan area pemutaran film dalam sebuah festival musik, membuat rasa penasaran makin kuat. Pengalaman seperti apa yang akan didapatkan?
ADVERTISEMENTS
Lima area yang dikonsep sedemikian rupa untuk penghiburan selama dua hari
Setiba di kawasan Senayan, saya lega. Mendung hanya sedikit membasahi Lapangan Panahan. Seketika memasuki area festival, aroma rumput segar menyambut. Di sebelah utara dari pintu masuk, berdiri Joyland Stage sebagai panggung utama. Sementara Lily Pad Stage di sebelah timur dan White Peacock Stage di sebelah selatan. Di samping Lily Pad Stage terdapat Shrooms Garden sementara jauh di seberangnya Cinerillaz. Lima area ini akan menghibur pengunjung Joyland Festival 2019 selama dua hari.
Festival hari pertama dibuka oleh penampilan Mad Madmen di Lily Pad Stage yang saya lewatkan penampilannya. Setelahnya Ardhito Pramono di Joyland Stage. Mendekati lagu penghabisan Ardhito, pengunjung belum begitu ramai. Mungkin karena mendung yang masih membayangi langit Jakarta. Sebab jika mau berkaca pada Joyland Festival terdahulu, deretan penampil yang diusung tak perlu diragukan pengunjung kualitasnya. Pada tahun ini Joyland Festival menetapkan misi untuk menampilkan musisi berkualitas ke hadapan pendengar lebih luas.
ADVERTISEMENTS
Joyland Festival 2019 berhasil mencapai misi menghadirkan penampil berkualitas
Merujuk pada misi tersebut, Joyland Festival saya anggap berhasil. Melalui festival ini banyak musisi bagus yang luput dari jangkauan saya mencuat sebagai bagian dari wawasan. Contohnya Poem Modulation yang tampil di Lily Pad Stage hari pertama. Dengan bebunyian unik nan berisik, dipadu dengan pembacaan puisi yang manis, mereka berhasil menyingkap mendung.
Atau Yves Tumor. Produser musik elektronik asal Amerika ini nyatanya baru saya dengar. Tampil pada malam hari pertama, aksi panggungnya cukup gila untuk pengalaman perdana mendengarkan musiknya. Tata lampu panggung nan redup nyaris gelap, musik yang mendentum dan Sean Bowie yang aktraktif menguasai panggung, cukup sebagai alasan untuk mengulik lagunya di platform streaming musik.
Tapi yang tak kalah unik dan menarik hati dari Joyland Festival 2019 adalah keberadaan White Peacock Stage. Di sana Reda Gaudiamo, Frau dan Nonaria bersenandung akrab. Kesan intim mencuat seketika pintu ruangan kecil berpendingin udara itu ditutup. Pada hari pertama, Reda menampilkan story telling berteman gitar kecil. Sementara Frau menyuguhkan repertoar singkat di atas liris dan jenaka permainannya. Meski sedikit bentrok dengan penampilan Sir Dandy di Lily Pad Stage, tarian jemari Frau tetap ciamik di atas tuts. Penonton penuh sehingga pendingin udara seakan tak berguna.
Selanjutnya penampilan Mondo Gascaro dengan dua legenda musik jazz Indonesia juga menambah kesan pada festival ini. Rien Djamain dan Oele Pattiselanno bersanding dengan Mondo di Lily Pad Stage, membawakan beberapa lagu yang sudah bisa disebut tembang kenangan. Salah satunya ‘Sabda Alam’ ciptaan Ismail Marzuki yang dipopulerkan oleh Rien Djamain & Jack Lesmana Combo. Tembang ini sempat pula dibawakan dalam album (self titled) oleh band White Shoes and the Couples Company yang tampil di panggung sama menjelang tengah malam hari pertama.
ADVERTISEMENTS
Tak peduli pada kenyataan esok adalah Senin, pengunjung hari kedua lebih ramai
Hari kedua, Minggu (8/12/2019), pengunjung lebih ramai. Seakan tak peduli pada kenyataan esok adalah Senin, sementara festival ini bakal bergulir hingga pukul 00.30 WIB. Deretan penampil internasional di hari kedua pun agaknya menjadi salah satu alasan. Anna Of The North yang lincah berlarian menghampiri tiap sudut panggung; Hatchie yang seakan membawa saya menikmati Cocteau Twins dan The Sundays secara bersamaan; dan Frankie Cosmos yang menghibur dengan jagat raya kecilnya.
Sementara White Peacock Stage dengan kehangatan yang sama di hari kedua, menampilkan Nonaria bersama Ariyo Zidni yang membacakan cerita jenaka dengan senandung lagu. Anak-anak mengisi saf depan bersama para orang tua.
Adapun kehadiran standup comedy di Shrooms Garden, cukup efektif memberikan energi positif untuk pengunjung yang rehat. Hanya saja, materi para komika yang cenderung vulgar sepertinya bisa jadi bahan evaluasi di tahun berikutnya mengingat festival ini juga dinikmati oleh kanak-kanak.
Sementara Cinerillaz tak kalah menyenangkan. Karya-karya yang dikurasi oleh Anggun Priambodo berhasil memberi wawasan baru terhadap film. Ada film yang meminjam sudut pandang merpati, hingga yang eksekusinya masih menggunakan film 16mm. Cukup aneh tapi layak disimak untuk kita yang biasa hanya menonton film bioskop.
ADVERTISEMENTS
Pengunjung yang rebahan dan ondel-ondel yang hadir di tengah kerumunan
Pemilihan lokasi yang tepat nyatanya berpengaruh pula kepada pengalaman musikal. Rerumputan Lapangan Panahan memungkinkan penonton rebahan atau sekadar selonjoran menikmati para penampil. Para penampil pun agaknya tak keberatan dengan kesan santai para penonton ini. Juga kehadiran water station di beberapa sudut area Joyland Festival layak dapat apresiasi. Pengunjung bebas isi ulang botol minum mereka. Langkah konkret yang bisa ditiru festival lain, alih-alih hanya menggalakkan penggunaan botol minum isi ulang kepada para pengunjung.
Selain itu, hal unik yang juga subtil pada festival ini adalah keterlibatan seniman dalam penyelenggaraan. Jika pada umumnya kehadiran instalasi dari para seniman yang terlibat disimplifikasi untuk sekadar pemanis swafoto, berbeda dengan yang dilakukan Ruth Marbun. Seniman yang terlebih dahulu berkecimpung di dunia fashion ini menghadirkan ondel-ondel yang hilir mudik berinteraksi dengan pengunjung. Alih-alih menggangu kekhusyukan menikmati festival, ondel-ondel yang hadir di tengah kerumunan malah mengajak pengunjung untuk berpikir ulang akan posisi ikon budaya Betawi ini di tengah kehidupan modern.
Menjelang penghabisan, Efek Rumah Kaca sebagai kurator Lily Pad Stage tampil sebelum ditutup oleh Barasuara di Joyland Stage. Lagi-lagi kejutan dihadirkan Cholil dkk, di atas panggung. Najwa Shihab bergabung membacakan sebuah sajak yang selanjutnya disambung lantunan lagu ‘Seperti Rahim Ibu’. Penonton khidmat.
Mendekati penghujung malam, sebagian pengunjung sudah berangsur pulang. Namun Barasuara tetap energik menuntaskan malam. Iga Massardi, punggawa Barasuara, bahkan mengapresiasi para pengunjung yang masih bertahan dengan seloroh. “Semoga tiap-tiap dari kalian dapat toleransi dari bosnya kalau (besok) telat, ya. Atau yang mahasiswa dapat toleransi dari dosennya,” ujar Iga.
Barasuara menutup Joyland Festival 2019 dengan lagu ‘Guna Manusia’. Bersamaan dengan itu, pengalaman musikal pengunjung di penghujung tahun sepertinya akan menggumpal menjadi kerinduan. Kerinduan akan penggarapan sebuah festival yang matang, nyaman, dan ramah untuk semua penikmat musik lintas usia.