Fenomena “Jilboobs” memenuhi linimasa media sosial beberapa hari terakhir. Kompilasi foto wanita berjilbab dengan dada yang “terekspos” jadi pembicaraan khalayak ramai. Berbagai pendapat pun bermunculan. Mulai dari yang tidak mengindahkan, menanggapi dengan candaan kasar, hingga yang keras menentang.
Wanita kembali jadi pihak yang disalahkan dalam kasus ini. Mereka yang memilih mengenakan jilbab namun masih memperlihatkan dadanya dianggap lalai dan layak jadi bahan pembicaraan. Tapi apa benar hanya mereka yang patut disalahkan? Adakah sisi lain yang perlu kita pertimbangkan?
ADVERTISEMENTS
Latar Belakang Perintah Menutup Kepala Dan Menjulurkan Kain Menutupi Badan Adalah Untuk Melindungi Wanita
Kewajiban berjilbab diyakini oleh umat Muslim sebagai hal yang mutlak. Di surat Al-Ahzab ayat 59 Allah memerintahkan Nabi Muhammad menyampaikan kewajiban menutup aurat kepada wanita Muslim:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang yang Mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini muncul karena saat istri-istri Rasul keluar rumah untuk buang hajat, banyak orang-orang munafik yang menyakiti dan mengganggu mereka. Ketika ditanya oleh Nabi Muhammad orang-orang munafik tersebut menjawab,
“Kami hanya mengganggu hamba sahaya (budak) saja”
Kemudian turunlah ayat diatas. Dengan tujuan utama agar wanita-wanita Muslim bisa dibedakan dari budak. Dan agar mereka bebas dari gangguan yang merendahkan.
ADVERTISEMENTS
Adaptasi Jilbab Di Berbagai Belahan Dunia Tidak Lagi Terhindarkan
Jilbab pertama kali berkembang dan dikenakan oleh wanita-wanita muslim di Jazirah Arab. Kondisi Arab yang panas dan berdebu membuat burqa (jilbab yang menutup seluruh badan, hanya menyisakan sekat kecil yang masih menggunakan kain menyerupai kasa di bagian mata) banyak digunakan. Burqa paling banyak dikenakan oleh kaum Pashtun di Afghanistan.
Di jazirah Arab lain yang kuat dengan Wahabisme-nya, penutup kepala yang dikenakan wanita muslimnya pun berbeda. Niqab, jilbab yang menutupi seluruh badan namun menyisakan celah terbuka di bagian mata, jadi pakaian yang banyak digunakan.
Berbeda juga dengan Turki. Di negara yang berbatasan dekat dengan Eropa ini gaya menutup kepala yang dikenal dengan “hijab” berkembang. Hijab adalah kain yang dililitkan di kepala untuk menutupi telinga dan leher seseorang. Hijab masih memperlihatkan muka seorang wanita dan terkadang tidak menutup dada.
Dari penjelasan diatas bisa diketahui bahwa penutup kepala bagi wanita Muslim terus berkembang, disesuaikan dengan kondisi sosial, politik dan iklim sebuah negara. Jilbab memang sebuah produk busana yang muncul karena perintah religius, tapi unsur penyesuaian budaya juga sangat kuat melekat didalamnya.
ADVERTISEMENTS
Di Indonesia, Jilbab Berkembang Sebagai Bentuk Politik Identitas
Di negara kita, jilbab punya jalan masuk yang panjang dan berliku. Jilbab pernah dengan bebas dikenakan oleh wanita muslim di Indonesia pada tahun 1400M hingga tahun 1900 awal. Tengok saja beberapa pejuang wanita kita seperti Nyai Ahmad Dahlan, Cut Nyak Dien, Teungku Fakinah dan H.R Rasuna Said.
Rahmah El Yunisiyyah adalah wanita asal Sumatera Tengah yang tidak bisa dipisahkan dari proses perjuangan kebebasan penggunaan jilbab di Indonesia. Pada tahun 1935 dalam Kongres Kaum Perempuan di Batavia, Rahmah memperjuangkan penggunaan jilbab bagi perempuan Indonesia. Beliau memang dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi kaum perempuan.
Jilbab mulai dengan cepat masuk dan berkembang di Indonesia pascarevolusi Iran tahun 1979. Orde Baru sempat jadi tantangan bagi kebebasan penggunaan jilbab di tanah air. Saat itu jilbab dianggap sebagai simbol perlawanan bagi rezim yang otoriter.
Pemahaman jilbab sebagai simbol perlawanan membuat penguasa yang saat itu banyak didominasi pihak militer khawatir. Dampaknya, selama masa Orde Baru kebebasan penggunaan jilbab bagi wanita muslim mengalami represi oleh negara. Jilbab sempat dikaitkan dengan sayap politik ekstrem, yang dianggap dapat membahayakan stabilitas nasional.
Pada 17 Maret 1982 pernah dikeluarkan SK Menteri Pendidikan yang melarang penggunaan jilbab di sekolah. Surat Keputusan ini akhirnya dicabut pada tahun 1991 karena aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh mahasiswa muslimah dari berbagai wilayah di Indonesia.
Jilbab di Indonesia berkembang pada mulanya sebagai bentuk politik identitas yang dilakukan oleh wanita Muslim. Dalam konteks ini identitas harus dipahami sebagai sebuah konsep yang terus berkembang. Identitas bukanlah sesuatu yang didapatkan sejak lahir dan bertahan seumur hidup.
Dengan jilbab, wanita muslim ingin menegaskan identitas agama mereka di ruang publik. Melalui jilbab pula wanita muslim memperjuangkan hak berdaulat atas tubuh mereka sendiri. Dari fakta dan pemahaman diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kebebasan mengenakan jilbab yang bisa dimiliki perempuan Indonesia hari ini didapatkan lewat jalan terjal yang tidak pantas dianggap remeh.
ADVERTISEMENTS
Jilboobs: Pelecehan Bagi Jilbab Dan Wanita
Jika ditilik dari etimologinya “jilboobs” adalah gabungan dari kata “jilbab” dan “boobs” (payudara wanita, diartikan dari bahasa Inggris informal). Orang Indonesia memang layak mendapat gelar paling kreatif dalam menciptakan istilah dan akronim. Wanita yang dijuluki jilboobs adalah mereka yang mengenakan penutup kepala atau jilbab tapi masih mengenakan pakaian yang membentuk payudara.
Kata “boob” sendiri secara formal datang dari kata serapan Bahasa Spanyol dalam Bahasa Inggris yang berarti umpatan untuk “orang yang bodoh”. Baru pada tahun 1930-an novelis Henry Miller menggunakan kata “boobies” dalam novel The Tropic of Cancer:
“She was lying in the ground with the boobies in her hands.”
Konteks dalam cerita di novel tersebut menggambarkan ada seorang wanita yang berbaring di taman dengan anak perempuan kecil ditangannya. Boobies, kemudian diartikan sebagai cara anak kecil mengucapkan sesuatu yang berhubungan dengan payudara ibunya.
Menggabungkan kata “jilbab” dan boobs saja sudah cukup insulting. Dalam konteks penggunaan kata, terutama di Indonesia, boobs sering diasosiasikan sebagai bentuk objektifikasi terhadap payudara wanita.
Belum lagi saat kita melihat gambar yang beredar luas di internet. Wanita-wanita berjibab yang payudaranya terlihat dengan jelas diperlakukan seperti data binari semata. Mereka dijadikan objek pemuas mata, objek makian dan candaan. Padahal mereka juga punya nama, punya perasaan dan punya cerita masing-masing di balik jilbabnya.
Jilboobs, yang belakangan sering dijadikan bahan bercandaan dan jadi sumber kenyinyiran, sebenarnya adalah bentuk penghinaan besar terhadap kedaulatan tubuh wanita. Orang bisa dengan mudah mengolok dan menilai wanita yang fotonya terpampang jelas di depan mata. Orang tak pernah merasa wajib untuk mengakui bahwa wanita tersebut adalah pribadi manusia yang utuh, bukan cuma potongan gambar.
Fenomena jilboobs juga secara tidak langsung merendahkan makna dari perjuangan menuju kebebasan berjilbab di Indonesia. Identitas yang ingin dibangun sebagai wanita Muslim yang berdaulat kini terdistorsi oleh berbagai stigma miring.
ADVERTISEMENTS
Bukankah Jilbab Sepatutnya Membebaskan?
Bukankah sejak awal jilbab memang dimaksudkan untuk menjaga kehormatan wanita? Bukankah dengan berjilbab sepatutnya wanita menjadi terlindungi dari berbagai gangguan?
“Tapi kan memang jilboobs itu pakai jilbabnya gak benar. Gak syar’i! Masih memperlihatkan bentuk badan!”
Memang, wanita-wanita yang fotonya dikumpulkan (beberapa bahkan tidak disensor mukanya) itu belum mengenakan jilbab yang menutup dada. Tapi apakah layak mereka kita perlakukan sebagai makhluk dua dimensi dalam media pixel yang tidak memiliki perasaan dan layak dihujat sebagai “lonte” atau “calon penghuni neraka“?
Tanpa bermaksud membela dan mendukung penggunaan jilbab yang dinilai kurang syar’i, kita perlu kembali mengingatkan diri sendiri bahwa para jilboob-ers itu juga manusia yang punya ceritanya masing-masing. Keputusan mengenakan jilbab adalah komitmen besar yang tidak layak dicemooh.
Paling tidak mereka sudah mencoba.
Kesalahan dalam proses belajar adalah hal yang harus dimaklumi, bukan? Justru yang tidak boleh kita anggap biasa adalah ketika orang asing dengan mudah mengeluarkan umpatan pada pribadi yang sedang berusaha berbenah menjadi lebih baik.
Ketika kita bisa mengutuk wanita-wanita yang belum menjulurkan penutup kepalanya sampai ke dada, kenapa masyarakat kita tidak bisa menujukan kutukan yang sama ke pelaku yang dengan isengnya mengumpulkan foto-foto mereka? Apakah hanya wanita yang harus berusaha menjaga diri, sementara lelaki bisa dengan enaknya tidak punya kewajiban menjaga mata?
Tuntutan agar wanita yang berjilbab segera mengenakan pakaian longgar dan menutup dadanya sepatutnya dibarengi dengan perbaikan mental masyarakat kita. Sampai kapanpun tubuh wanita akan tetap terlihat berlekuk. Tidak peduli seberapa tebal lapisan pakaian yang dikenakannya.
Selama lelaki tidak bisa menjaga pandangannya, selama wanita belum berhenti dipandang sebagai makhluk berdada mancung yang layak dinikmati tubuhnya oleh khalayak — fenomena macam jilboos ini tidak akan pernah berakhir. Dan wanita akan kembali jadi korbannya.
Sebagai wanita yang berjilbab, fenomena jilboobs ini membuat saya berpikir:
“Jika yang berjilbab saja bisa dengan mudah dilabeli, bagaimana dengan wanita yang tidak berjilbab? Haruskah kita mulai menggunakan celana besi dan membebat dada agar rata supaya bisa hidup aman?”
Saya sungguh berharap pikiran saya itu salah dan picik.
Salam Hangat,
Nendra
(Dulunya jilboobs, sekarang sedang berjuang untuk tidak lagi jadi jilboobs)