Pandemi sudah berlalu selama kurang lebih dua tahun lamanya. Sejak itu, orang-orang banyak yang kemudian melakukan aktivitas di rumah. Akan tetapi, semua itu sepertinya tak menghalangi para penjahat melakukan tindak kekerasan seksual. Berdasarkan data yang kami peroleh dari Rifka Annisa, lembaga non-pemerintah yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, pada tahun 2020 pengaduan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak justru lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Fakta itu cukup mengejutkan kita semua, seakan-akan kita tidak bisa ‘lari’ dari masalah tindak kekerasan. Bahkan di media sosial sekalipun, tindak kekerasan bisa terjadi. Kita kemudian bertanya-tanya apa sebenarnya yang salah dari negara kita sampai membuat kasus-kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual, semakin marak terjadi. Rupanya, belum adanya payung hukum yang tegas menangani kasus kekerasan seksual jadi salah satu alasannya.
ADVERTISEMENTS
Setiap tahunnya, jumlah pelaporan dari berbagai tindak kekerasaan berbasis gender sebenarnya tidak pernah sedikit
Kita mungkin baru menyadari kalau Indonesia memang sedang darurat kekerasan seksual di akhir tahun 2021. Padahal, sebenarnya setiap tahunnya kasus kekerasan banyak sekali terjadi. Hanya saja memang nggak semua terungkap ke publik demi menjaga privasi para korbannya.
Tahun 2020, jumah pelayanan pendampingan terhadap perempuan dan anak-anak yang dilakukan Rifka Annisa tercatat sangat tinggi dengan total 341 kasus. Dari total tersebut, menurut Unit Layanan Data Program Pendampingan Rifka Annisa, 150 diantaranya adalah Kekerasaan Terhadap Istri (KTI), 55 Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), 33 perkosaan, 34 pelecehan seksual, 30 Kekerasaan Dalam Keluarga (KDK), 10 kasus trafficking, dan 2 kasus lainnya.
Sementara untuk tahun 2021 yaitu sepanjang Januari hingga Desember 2021, lembaga ini mengadakan layanan pendampingan untuk klien prempuan dan anak sejumlah 204 orang. Dengan rincian, 109 KTI, 34 KDP, 7 kasus perkosaan, 36 pelecehan seksual, 16 KDK, 1 kasus lainnya, dan 1 kasus unidentified.Â
ADVERTISEMENTS
Bukan hanya itu saja, kekerasan lewat platform online pun mengalami kenaikan. Mirisnya, kebanyakan korbannya remaja
Media sosial memang membuka begitu banyak peluang, tapi juga ada semakin banyak risiko yang mengintai. Termasuk perilaku berbahaya seperti bully atau pelecehan seksual. Bahkan banyak yang tidak sadar jadi korban atau bahkan pelaku, di tengah-tengah banyaknya dan mudahnya meninggalkan komentar, likes, atau memviralkan sesuatu.
Selain perincian data terkait jenis-jenis kekerasaan, Rifka Annisa juga mulai mendata Kekerasaan Berbasis Gender Online (KBGO) atau kekerasaan yang terjadi di platform online pada tahun 2021. Dari total 17 kasus KBGO yang didampingi Rifka Annisa, 13 diantaranya adalah pelecehan seksual dan 4 KDP. Hampir keseluruhan korban berasal juga dari kalangan remaja. Sebanyak 13 korban adalah remaja akhir atau mereka yang berumur 18-25 tahun, 2 remaja awal yang berumu 12-17 tahun, dan 2 korban dewasa awal yang berumur 26-35 tahun.
ADVERTISEMENTS
Meskipun kasus banyak terjadi, tapi pengumpulan bukti kasus kekerasan seksual sulit dilakukan
Kasus kekerasan seksual yang sampai terungkap di media sosial mungkin baru akhir-akhir ini terlihat. Padahal sebenarnya kita seringkali menghadapi kasus kekerasan seksual yang sulit untuk dibawa ke jalur hukum. Hal itu karena pengumpulan bukti kasus yang sulit dilakukan para korban. Bayangkan saja, di saat kondisi tubuh dan mental sedang terluka akibat tindak kekerasan, mereka diminta mengumpulkan bukti-bukti kejahatan. Sebaliknya, karena ketidaktahuan korban, mereka seringkali justru menghilangkan dan menghapus bukti karena ketakutan yang melanda. Padahal, alat bukti itu menjadi kunci proses hukum bisa berjalan.
ADVERTISEMENTS
Macam-macam hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku kekerasan seksual beragam, tapi cukup berbelit
Semakin banyaknya kesadaran tentang perilaku kekerasan seksual, khususnya di media sosial, tampaknya membaha progres yang cukup baik untuk para penegak hukum. Mereka sudah berani menjatuhkan sanksi pidana maksimal, terutama untuk kasus kekerasan terhadap anak. Itu bisa terjadi karena adanya Undang-Undang Perlindungan Anak. Pelaku yang unsur pidananya terpenuhi bisa dijatuhkan sampai 15 tahun penjara. Dengan bukti minim, kasus yang serupa bisa jadi hanya divonis minimal 5 tahun penjara.
Mirisnya, Undang-Undang Perlindungan Anak itu hanya berlaku untuk usia 0-18 tahun. Di usia lebih dari 18 tahun, para korban akan kesulitan melakukan proses hukum, kecuali tindak perkosaan. Bahkan perkosaan pun harus jelas unsur pidananya, yakni pemaksaan dan ancaman dan satu kali kejadian pemerkosaan. Padahal, ada banyak kasus pemerkosaan yang bisa terjadi lebih dari tiga kali. Itulah mengapa korban seringkali kesulitan menempuh jalur hukum. Selain kasus pemerkosaan, kasus kekerasan seksual hanya bisa diproses jika menyeret Undang-Undang lainnya, seperti UU ITE. Namun, hukuman yang dijatuhkan tidak akan setimpal dengan tindakan keji yang dilakukan para pelaku.
Itulah kenyataan yang dihadapi para korban kekerasan seksual di Indonesia. Harapannya, Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa segera disahkan sehingga korban bisa mendapatkan payung hukum yang lebih kuat. Bagaimana menurutmu, SoHip?