Memarahi suami atau istri dalam tujuan yang baik seharusnya bukanlah perkara hukum yang berat. Namun, baru-baru ini muncul kasus seorang istri di Karawang, Jawa Barat yang dituntut satu tahun penjara karena memarahi suami yang pulang dalam keadaan mabuk. Valencya dituntut satu tahun penjara oleh jaksa dengan dakwaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap suaminya yang berinisial CYC. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Glendy Rivano mengkonfirmasi bahwa kasus itu masuk dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Tuntutan yang dibacakan oleh JPU, Kamis (11/11) di Pengadilan Negeri Karawang itu kemudian ditanggapi keberatan oleh Valencya. Dia merasa dikriminalisasi dan heran dengan tuntutan hingga satu tahun penjara. Terpukul dengan tuntutan yang dianggap tak masuk akal itu, kasus penuntutan satu tahun penjara ini berbuntut panjang dan akhirnya kini ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
ADVERTISEMENTS
Kasus berawal dari penelantaran istri dan anak, berbalik jadi laporan tuduhan kasus KDRT
Kasus ini berawal dari laporan Valencya terhadap suaminya (yang kini telah bercerai), CYC, atas kasus penelantaran istri dan anak. CYC kemudian menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Karawang. Namun, dia justru membalas melaporkan istrinya karena tuduhan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) psikis hingga menjadikan Valencya sebagai tersangka. Dalam persidangan pembacaan tuntutan Kamis lalu, Valencya dituntut satu tahun penjara.
ADVERTISEMENTS
Jaksa Agung memerintah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum melakukan eksaminasi khusus terhadap kasus ini
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menemukan dugaan pelanggaran sehingga dilakukan eksaminasi khusus. Eksaminasi khusus adalah pemeriksaan terhadap berkas perkara tertentu yang menarik perhatian masyarakat. Berdasarkan hasil eksaminasi khusus kasus ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum menyatakan bahwa dari tahap prapenuntutan sampai tahap penuntutan, baik dari Kejaksaan Negeri Karawang maupun Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dinilai tidak memiliki sense of crisis atau kepekaan.
Selain itu, pelanggaran ditemukan karena Kejaksaan Negeri Karawang dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tidak mengikuti pedoman dalam penuntutan, tak menjalani pedoman perintah harian Jaksa Agung, hingga pembacaan tuntutan yang ditunda selama empat kali. Oleh karena itu, Kejagung kemudian mengambil alih kasus tersebut.
ADVERTISEMENTS
Buntut kasus ini, tiga penyidik yang memeriksa Valencya dimutasi dan dinonaktifkan
Selain mengambil alih kasus, Kejagung juga melakukan pemeriksaan fungsional terhadap jaksa yang menangani perkara. Tiga orang penyidik yang menangani kasus Valencya kemudian menjalani pemeriksaan oleh Propam Polda Jabar. Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Erdi A Chaniago mengatakan keputusannya untuk memutasi ketiga penyidik dari Direktorat Kriminal Umum atas perintah dari Kapolda Jabar Irjen Suntana.
“Jadi penyidik yang memeriksa kasus Valencya per hari ini sudah dimutasikan, dalam rangka evaluasi, (diperiksa), oleh Propam Polda Jabar,” kata Kabid Humas Polda Jabar Kombes Erdi A Chaniago, Selasa (16/11).
Setelah pendalaman dan pemeriksaan kepada ketiga penyidik, tiga orang itu dikabarkan akan dinonaktifkan dalam rangka evaluasi. Sementara itu, Kejagung memutuskan menarik Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidium) Kejati Jabar dan memeriksa sembilan jaksa dari Kejati Jabar dan Karawang yang akan dilakukan oleh Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Jamwas).