Bila kamu pernah menonton film yang dibintangi oleh Rupert Friend, 5 Days of War, pasti sudah tahu bahwa film itu berdasarkan dari kisah nyata. Menyoroti perang di Ossetia Selatan tahun 2008, yang sering disebut perang Rusia – Georgia. Dalam perang ini, Ossetia Selatan yang ingin melepaskan diri dari Georgia untuk bergabung dengan Ossetia Utara yang sekarang sudah jadi bagian dari Rusia. Karenanya Rusia secara aktif membantu kelompok separatis Ossetia Selatan untuk mengklaim wilayahnya.
Meski pihak Georgia dan Rusia sudah mencapai perjanjian gencatan senjata pada bulan Agustus 2008, perang ini tentunya masih berbekas di hati rakyat sipil yang terhimpit di area konflik. Bukan hanya bekasnya, petani Georgia bernama Dato Vanishivili nyatanya masih hidup bagai dalam peperangan hingga saat ini. Petani berumur 82 tahun ini secara tidak langsung telah menjadi tahanan di rumahnya sendiri selama 5 tahun lamanya. Sebagaimana dilansir CNN, perluasan batas kekuasaan tentara separatis dan Rusia menyebabkan rumah Vanishivili yang berada di ujung Georgia tiba-tiba diklaim sebagai wilayah Rusia sejak tahun 2012 lalu.
“Seumur hidupku, (tanah) ini adalah Georgia dan sekarang ini milik Rusia?”
Hanya meninggalkan rumahnya sebentar untuk mengurusi sesuatu di desa sebelah, Vanishivili begitu kaget ketika mendapati rumahnya sudah dipagari dan diklaim sebagai wilayah Rusia
Apakah kamu anak rantau? Coba bayangkan saat kamu pulang kampung setelah bertahun-tahun bekerja di kota, rumah yang kamu rindukan sudah bukan lagi wilayah negara yang sama. Untuk ke sana pun kamu tak bisa ‘selonong boy’ saja, karena harus punya paspor dan visa. Kira-kira itulah yang dialami oleh Dato Vanishvili. Lima tahun yang lalu setelah pergi sebentar ke desa tetangga, Vanishvili mendapati rumahnya sudah dipagari dengan kawat berduri dan menjadi bagian dari teritori Rusia.
“Mereka bilang: Ini adalah wilayah Rusia, jadi kalau kamu tidak mau di Rusia, tinggalkan tempat ini.” Tutur Vanishvili. “Aku dari Ossetia Selatan, di Georgia. Aku Vanishvili, seorang warga negara Georgia!”
Tak bisa keluar dari halaman rumahnya, petani ini tiba-tiba harus menghadapi pilihan sulit: kehilangan rumah atau kehilangan negara
Secara administratif, Vanishvili memang merupakan warga negara Georgia. Namun saat ini dirinya terpenjara di rumahnya sendiri yang dipagari kawat berduri. Dilema menghampirinya antara meninggalkan rumah atau meninggalkan negara. Saat ini Vanishvili terasing dari teman, negara, dan keluarganya. Tanpa makanan listrik atau pun perlengkapan untuk menghadapi musim dingin yang menggigit. Tentara Rusia tidak memperbolehkannya keluar dan Vanishvili pun khawatir tidak akan diperbolehkan kembali ke rumahnya lagi bila dia keluar.
“Aku terjebak di sini. Jika aku melintas, mereka akan menahanku dan aku harus membayar denda. Mereka selalu mengawasiku.”
Sesekali, tetangganya di Georgia minta tolong untuk meletakkan bunga pada nisan kerabat yang berada di dekat wilayah rumahnya dan membawakannya bahan makanan sebagai bentuk terima kasih. Namun Vanishvili merasa kondisinya semakin mengkhawatirkan.
“Mereka tidak membiarkanku pergi. Aku terjebak di sini. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak punya makanan, roti, aku tidak punya apapun. Apa yang harus kulakukan? Bunuh diri?”
Dato Vanishvili bukan satu-satunya. Warga biasa yang tinggal di sepanjang perbatasan konflik itu dihantui perasaan was-was tiap harinya karena Rusia bisa saja menetapkan teritori baru
Selain Vanishvili, ada Merab Mekarishvili yang propertinya terbagi dua. Rumahnya berada di teritori Ossentia Selatan dan tanah keluarganya berada di Georgia. Mekarishvili juga diberi pilihan untuk menjadi warga negara Ossentia Selatan atau meninggalkan rumah. Nasib yang sama juga dialami oleh Tamara Qoreli, yang rumahnya berada di antara pos perbatasan Georgia dan Russian Checkpoint.
Untuk orang Georgia, Vanishvili dan mereka yang hidup di ‘no-man’s land’ adalah korban dari ‘Creeping Border’ atau daerah kekuasaan Rusia yang makin hari makin meluas di wilayah-wilayah bekas Uni Soviet seperti Georgia ini. Uni Eropa menyebutnya dengan Russian Borderization, yaitu penetapan batas-batas terbaru dari teritori Rusia sebagai respon dari kasus Ossetia Selatan. Dalam garis batas yang baru itu, Rusia membangun pos-pos pemantau dan pangkalan militer. Anehnya, garis batas itu setiap tahunnya selalu maju ke depan, memakan daerah-daerah pertanian dan bahkan pedesaan. Inilah yang terjadi pada Dato Vanishvili dan lain-lain.
“Banyak orang yang tidak tahu di mana garis batas itu.” Kata Kestutis Jankauskas, kepala misi monitoring Uni Eropa. “Batas itu ditetapkan secara praktis, namun tidak resmi. Ini adalah batas negara yang sangat cair.”
Sampai saat ini, belum ada tanggapan baik dari Kremlin atau pun pemerintah Georgia. Sementara bagi orang-orang yang tinggal di dekat garis batas Rusia selalu diliputi kecemasan perang akan datang kembali. Yah, semoga segera ada solusi atas konflik politik dunia ini dan rakyat sipil tak lagi jadi korbannya.