Beberapa waktu yang lalu kita digegerkan oleh aksi coret-coret sekelompok orang yang gak bertanggung jawab di Gunung Fuji. Coretan bertuliskan “CLA-X INDONESIA” (baca: Klaten, Indonesia) yang tertoreh di atas batu ini terutama memalukan karena gunung, sebagaimana sungai, adalah bagian alam yang dianggap sakral dan mulia dalam budaya masyarakat Jepang. Yang lebih ironis lagi, kejadian pencoretan ini terjadi tak lama setelah pemerintah Jepang menyepakati rencana bebas visa bagi warga negara Indonesia.
Dalam artikel ini, Hipwee akan mencoba mengupas soal vandalisme serta dampaknya bagi masyarakat dan pelakunya. Semoga bisa mengajakmu untuk berpikir lebih jauh, ya.
ADVERTISEMENTS
Pertama, apa itu vandalisme?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Vandalisme (n): 1 perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dsb); 2 perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.
Vandalisme sendiri berasal dari kata Vandal, sebutan bangsa Romawi kuno kepada sebuah suku di Jerman yang memiliki kebiasaan merusak dan menistakan dengan kejam segala karya yang indah dan terpuji. Dalam artian modern, vandalisme adalah segala bentuk perusakan (memecahkan, menghancurkan, mencoret-coret) properti milik pribadi maupun umum tanpa adanya konsesi (kerelaan atau persetujuan) dari pemilik properti.
Di Indonesia sendiri – dengan menyesal – kita bisa dengan mudah menemukan jejak-jejak perilaku vandal hampir di setiap sudut jalan.
ADVERTISEMENTS
Perusakan yang dilakukan oleh massa: ‘vandalisme’, bukan ‘anarkisme’
Lewat media, kamu bakal dengan mudah menemukan berita-berita aksi perusakan yang dilakukan oleh sejumlah orang pada saat terjadi demonstrasi, mobilisasi massa (misalnya kampanye) atau kerusuhan. Media dan masyarakat sering menggunakan istilah anarkisme untuk aksi perusakan seperti ini. Padahal, pengertian “anarkisme” seperti dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
Anarkisme (n): ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang
Sebagian perilaku vandal bisa menjadi perwujudan dari aspirasi anarkis jika tujuan pelakunya adalah menunjukkan sikap anti terhadap negara. Tapi, nggak semua vandalisme bertujuan seperti ini. Sebagian orang melakukan perusakan hanya karena ingin merusak aja.
Contohnya: banyak bilik telepon umum kini tidak bisa dipakai lagi karena dipecahkan kacanya, diputus gagang teleponnya, atau dicorat-coret bilik birunya. Apa iya ini adalah perwujudan perlawanan terhadap negara?
Aksi-aksi vandal juga bisa kita lihat pada beberapa aksi sweeping ormas yang mengatasnamakan agama, perusakan kantor TVOne Juli 2014 lalu, serta perusakan fasilitas umum oleh demonstran saat demo buruh di Tangerang Desember tahun 2013 lalu.
ADVERTISEMENTS
Baliho Caleg di pohon-pohon: pelanggaran hukum yang dibiarkan begitu saja.
Indonesia baru aja merayakan pesta demokrasi, yaitu pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Masih terekam jelas di ingatan kita ketika baliho-baliho yang memamerkan wajah caleg itu dipakukan dan diikatkan ke pohon-pohon. Kesel banget gak sih?
Padahal, pasal 17 ayat 1 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013 udah menegaskan bahwa:
alat peraga kampanye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.
Jadi, baliho-baliho yang dipasang di pohon-pohon peneduh di pinggir jalan jelas melanggar hukum dan merupakan vandalisme terhadap properti milik masyarakat. Sayangnya, seperti halnya coret-coret. kita masih seringkali membiarkan begitu aja aksi vandal ini.
ADVERTISEMENTS
Memasang stiker di kendaraan atau rumah orang tanpa izin itu bentuk vandalisme juga lho!
Mungkin kamu pernah punya pengalaman memoles kendaraan pribadi kamu di salon aksesoris kendaraan atau datang ke tempat rekreasi terkenal seperti Taman Safari atau Seaworld. Nah, ternyata banyak pengunjung yang jadi “korban”. Kendaraan mereka tahu-tahu ditempeli stiker tanpa izin.
Meski tingkat pengrusakan yang terjadi lebih kecil, kejadian seperti ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk vandalisme juga. Stiker-stiker itu mengotori properti milik pribadi yang sudah kita rawat baik-baik. Kita pasti kesal banget waktu tahu kendaraan kita yang mulus malah dikotori stiker. Kenapa stiker itu gak dikasih ke kita aja sih? Biar kita yang memutuskan dimana tepatnya stiker itu mau kita tempelkan.
ADVERTISEMENTS
Aksi coret-coret: keren atau kampungan?
Grafiti adalah bentuk vandalisme yang paling umum terjadi, sehingga aksi vandalisme per se lebih sering diasosiasikan dengan grafiti. Grafiti ini bisa dengan mudah kita temukan di sudut-sudut kota. Perhatikan aja dinding-dinding bangunan di sekitar tempat tinggalmu: kamu pasti akan dengan mudah menemukan coret-coretan obskur yang dibuat menggunakan cat semprot kalengan. Di sekolah atau kampus, bangku-bangku gak luput dari aksi grafiti.
Dalam beberapa kasus, grafiti dan mural memang bisa menjadi salah satu ekspresi seni yang keren dan kritis (seperti yang Hipwee ulas di artikel ini). Grafiti yang dieksekusi dengan baik bisa menjadi karya seni yang mengagumkan, bahkan menjadi ciri khas atau kebanggaan sebuah kota. Hipwee bukan hendak mengkritisi grafiti semacam itu. Yang ingin Hipwee sorot disini adalah grafiti yang asal-asalan, yang gak menggugah sedikitpun cita, dan gak memicu pemikiran apapun di kepala orang-orang yang melihatnya.
Kita udah muak ngeliat coret-coretan gak penting ini. Rambu lalu lintas, dinding sekolah, jembatan, bahkan tempat-tempat bersejarah gak luput dari kelakuan alay ini. Coretan ini acap kali berupa nama geng atau suporter klub sepak bola tertentu. Sementara di tempat-tempat wisata, coret-coretan ini didominasi tulisan alay semacam: “Anu was here” atau “Anu chayank kamuh celamanya”. Lah, kalau kamu memang sayang sama dia sih nggak apa-apa, tapi kenapa kita harus tahu juga? Kisah kamu nggak cukup menarik buat kita untuk peduli ;(
ADVERTISEMENTS
Kenapa aksi vandalisme itu sama sekali gak keren
Di bawah ini akan Hipwee jabarkan kenapa aksi-aksi vandalisme di atas itu lebih banyak nggak kerennya daripada sisi positifnya:
1. Vandalisme jelas mengganggu kenyamanan dan merugikan orang lain.
Apa yang kamu rasakan kalo tembok rumahmu dicoret-coret, tamanmu diinjak-injak, kaca mobilmu dipecahin, atau sepeda motormu dirusak orang? Jelas perasaan gak nyaman dan sakit hati. Belum lagi kalau mengingat bahwa kamu juga harus keluar uang untuk memperbaiki kerusakan yang tidak kamu sebabkan sendiri. Jadi sebelum kamu mau melakukan aksi vandal, pikirkan dulu akibatnya pada orang atau khalayak ramai yang propertinya kamu rusak.
2. Vandalisme merusak lingkungan dan melukai perasaan mereka yang ingin menikmati alam
Kita semua udah dianugerahi alam yang begitu indah untuk kita jaga. Sedih dan miris rasanya melihat gunung dicoret-coret, sementara tanamannya dicabuti hanya demi kesenangan pribadi dan ajang pamer. Please, tunjukkan rasa terima kasihmu dengan menjaga kelestariannya dan gak melakukan perusakan dan coret-coret. Ingat: jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu.
3. Vandalisme bukan hanya mempermalukan dirimu sendiri, tapi juga komunitasmu, almamatermu, dan bangsamu.
Seperti yang disinggung di awal tulisan ini, perbuatan vandal yang terjadi di Gunung Fuji bukan hanya membuat pelakunya dihujat, tapi juga mencoreng nama baik traveler Indonesia dan juga bangsa Indonesia pada umumnya. Nggak mau ‘kan bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang kampungan?
Apapun bentuknya, vandalisme adalah perbuatan kekanak-kanakan dan bentuk pelampiasan emosi yang nggak elegan. Vandalisme membuat pelakunya menjadi tampak udik, minim kesabaran, dan nihil rasa peduli terhadap lingkungan dan orang lain. Semoga kita cukup cerdas dan bertenggang rasa untuk tidak melakukan aksi-aksi vandal seperti di atas, ya.