Linimasa media sosial kemarin dan hari ini dipenuhi oleh gambar dan komentar mengenai dua pria ini. Dua orang pria berbeda ras yang tampak akrab — mesra malah. Mereka kelihatan berpegangan tangan di kereta, kemudian mengungkapkan rasa sayang lewat gestur tubuhnya.
Berbagai komentar pun bermunculan, menyauti tindakan 2 cowok yang kemudian diketahui berasal dari Thailand ini. Mulai dari yang mempertanyakan kewarasan Mas-mas bule berjambang yang memang unyu itu…
“Ih, kok bulenya mau sih sama dia?”
“Yaelah, mending sama gw aja kali bulenya. Daripada sama dia.”
Sampai komentar kejam dan jemawa macam,
“Dih, tampang kayak papan penggilesan begitu dapet bule lucu?”
“Daripada sama tampang ba** gitu, bagusan gue ke mana-mana!”
Bukan, ini bukan soal mengomentari apakah hubungan kedua pria itu sesuai dengan norma. Atau apakah komentar kejam yang bermunculan disebabkan oleh kecenderungan homophobic yang masih kita punya.
Hipwee justru ingin mengajakmu sedikit merenungi hal yang lebih mendasar. Soal bagaimana kita memandang diri kita lebih dari yang lain, hanya lewat sejenak pandang di layar datar. Tentang kepercayaan diri yang terlampau besar, sehingga membuat kita merasa pantas berkoar-koar. Guys, memang kita sudah se-oke itu ya?
ADVERTISEMENTS
Komentar ringan macam “Di Situ Saya Merasa Sedih” tidak sepenuhnya sederhana. Ada manusia bernyawa yang kita komentari di seberang sana
Sayangnya mas-mas Asia berkulit sawo matang itu bukan lukisan Monalisa yang akan tetap tersenyum walau dikomentari sesukanya. Walau rambut blonde-nya terlihat mentereng di mata, dan menurut beberapa dari kita kurang sesuai dengan kulit cokelatnya, dia bukanlah objek dua dimensi yang tak merasa apa-apa jika ada orang yang mengomentari penampilannya.
Kemudahan mengomentari sesuatu via media sosial kerap membuat kita lupa. Orang yang pakai baju kuning mudah saja kita bilang mirip Pikachu, mereka yang lengannya kelihatan besar di foto Instagram atau di postingan Path kita cap kegemukan, mereka yang check in di Path dengan orang berbeda tiap harinya kita anggap murahan.
Padahal, kita tahu apa?
Di sinilah titik kita sering lupa. Merasa sudah tahu seluruh kepribadian orang, seluruh rekam jejak dalam hidupnya, hanya dengan mengamati aktivitas media sosialnya. Padahal orang yang kita komentari itu bukan makhluk tembus pandang yang bisa diketahui seluruh hidup lewat binari data. Tak peduli sekepo apapun kita pada seseorang, ada sisi dalam hidupnya yang tidak bisa kita ketahui sepenuhnya.
Saat telah mengenal dia sebagai manusia, mendengar dia bicara, memahami alasan dan berbagai argumennya — barulah kita boleh merasa mengenalnya.
ADVERTISEMENTS
Menuding alay pada orang yang bahkan belum kita kenal sebenarnya membuat kita jadi manusia paling jahat di dunia. Apa bedanya dengan memaksa semua orang jadi serupa?
Selama ini kita berkoar-koar agar bisa diterima sepenuh hati sebagai manusia. Bahkan pada pasangan tersayang pun kita meminta untuk selalu diterima apa adanya. Kamu, saya, kita, adalah orang yang sama yang sering posting quotes macam:
“Be yourself. Because everybody else is taken.”
Kita adalah orang-orang dengan kepercayaan diri besar yang tak ingin disamakan dengan orang lain di dunia. Kita selalu ingin jadi spesial, mendapatkan exposure besar karena keunikan dalam diri — sedikitpun tak pernah kita ingin merasa disamai.
Kalau begini, kenapa sekarang kita ribut mengomentari orang yang memilih jalan hidup berbeda dan memiliki penampilan yang tak serupa? Bukankah picik sekali jika perbedaan yang membuat kita naik pitam — sementara kita tak pernah ingin jadi seragam?
ADVERTISEMENTS
“Mending dia sama aku saja.” dan “Bagusan gue ke mana-mana” sepatutnya membuat kita bertanya: NGANA SUDAH SEPANTAS APA?
Oh come on. Waktu kita dengan lantang mengomentari penampilan orang, sebenarnya apa yang kita pikirkan? Rasa insecure karena merasa kalah saing dengan orang yang kita anggap tidak sepadan, atau justru merasa jemawa karena bangga sebab merasa punya kelebihan?
Sesungguhnya sata hal-hal seperti itu datang, seharusnya kita berhenti sejenak untuk bertanya.
Kenapa kita bisa merasakan hal macam itu dengan begitu mudahnya? Sudah pantaskah kita? Atau kita justru harus banyak berkaca sebagai manusia?