Jagat maya lagi-lagi dihebohkan dengan kemunculan sebuah video yang merekam aksi seorang ibu memukuli anaknya di depan warnet dengan sebilah kayu. Kabarnya, emosi si ibu terpicu lantaran anaknya ketahuan bolos sekolah dan malah main ke warnet. Kejadian yang berlangsung Rabu (23/8) itu terjadi di Warnet Gunung Latimojong, Makassar. Setelah puas memarahi dan memukul anaknya, ibu itu langsung membawa bocah malang itu menggunakan sepeda motor.
Kita semua paham, kalau nggak ada orang tua yang nggak ingin memberikan yang terbaik buat anaknya. Termasuk menegur anak ketika berbuat salah. Terlepas dari pandangan tersebut, apakah lantas segala teguran termasuk melayangkan pukulan dan bentakan dari orang tua ke anak, dianggap wajar dan normal? Pernahkah para orang tua yang melakukan kekerasan fisik maupun verbal memikirkan kondisi psikologis anaknya?
ADVERTISEMENTS
Kejadian di atas nggak cuma terjadi di Indonesia. Di India, sebuah video viral karena menunjukkan kekasaran seorang ibu saat mengajarkan pelajaran ke anaknya
Mungkin masih banyak lagi kejadian serupa di atas yang nggak tersebar di dunia maya. Bahkan mungkin kekerasan macam itu banyak terjadi di sekitarmu. Yang jelas, nggak hanya di Indonesia aja banyak orang tua yang memilih mendidik anaknya dengan cara kekerasan. Di India, sebuah video viral dan mengundang kemarahan publik karena menunjukkan kekasaran seorang ibu ketika mengajari buah hatinya. Dalam video terlihat jelas kalau si anak menangis dan merasa tertekan ketika ibunya terus menuntutnya mengulangi apa yang sudah diajarkan. Bahkan di akhir video, si anak terlihat salah mengucap yang membuatnya ‘dihadiahi’ tamparan di pipi oleh ibunya.
ADVERTISEMENTS
Miris ya, padahal kebiasaan di atas nggak lantas bisa bikin anak jadi pribadi lebih baik lho. Sebaliknya, anak bisa tumbuh jadi pribadi yang emosional
Apa lagi alasan orang tua melakukan hal tersebut kalau bukan agar anaknya jadi orang lebih baik? Kapok sih mungkin iya, tapi anak justru malah bisa jadi pribadi yang lebih emosional. Secara nggak sadar mereka akan merekam setiap perlakuan orang tuanya kepadanya dan menirunya di kehidupan sehari-hari. Mereka akan tumbuh jadi sosok yang mudah marah, egois, dan sulit mengendalikan diri.
ADVERTISEMENTS
Bahkan nggak menutup kemungkinan anak malah lebih cepat stress dan depresi dibanding seusianya yang dibesarkan dalam lingkungan penuh kasih sayang
Sebuah studi yang dipublikasikan di Jurnal Child Development, mengungkapkan bahwa anak yang dibesarkan di tengah keluarga dengan kultur keras akan lebih mudah mengalami depresi dibanding mereka yang tumbuh di keluarga penuh kelembutan dan kasih sayang. Keinginan untuk memperbaiki perilaku si anak, malah nggak akan terwujud kalau orang tua lebih banyak menggunakan cara yang keras. Tentu saja ini juga akan berpengaruh pada interaksi sosialnya di lingkungan.
ADVERTISEMENTS
Di saat anak dan remaja seharusnya punya kebebasan berekspresi, mereka yang sering dibentak atau dimarahi malah jadi nggak percaya diri dan takut bersosialisasi
Melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal saja sudah salah, apalagi kalau dilakukan di depan umum. Kebiasaan ini cuma akan membuat si anak malah jadi nggak percaya diri dan takut bersosialisasi lho. Keseringan dipersalahkan ini juga akan membuat anak kehilangan inisiatif karena takut salah. Ini yang kemudian mendorong anak tersebut nggak PD di hadapan banyak orang. Kasihan sih kalau sampai kebebasan berekspresinya terbatasi karena sering dibentak dan dimarahi.
ADVERTISEMENTS
Nggak cuma berdampak buruk pada kesehatan mental, membentak atau memukul juga bisa memusnahkan sel otak anak lho
Sepertinya nggak ada yang bisa dibenarkan sedikitpun tentang mendidik anak dengan cara kekerasan. Karena selain berdampak pada kesehatan mental, nyatanya kesehatan fisik juga bisa terpengaruhi lho. Meski nggak secara langsung tampak mata, tapi bentakan, pukulan, atau bentuk kekerasan lain ini bisa memusnahkan lebih dari 1 miliar sel otak anak pada saat itu juga.
Riset soal ini pernah dilakukan Lise Eliot, seorang profesor di bidang Neuroscience asal Amerika. Risetnya menemukan bahwa suara keras dan bentakan yang keluar dari orang tua dapat merusak atau menggugurkan sel otak anak yang sedang berkembang. Hal ini yang kemudian akan berpengaruh pada sifat si anak ketika dewasa. Anak tersebut akan banyak melamun dan lebih lambat memahami sesuatu, akibat sedikitnya sel-sel otak yang aktif dari seharusnya. Nggak cuma itu, fungsi organ anak seperti hati dan jantung juga akan terganggu lho.
ADVERTISEMENTS
Saat anak melakukan kesalahan, para orang tua sebaiknya mengingat kembali alasan dulu memutuskan membangun rumah tangga. Ya kan sudah jadi risiko juga
Kalau nggak mau punya anak yang jangan nikah! Ini nih yang sering dilupakan banyak orang tua. Memiliki anak dengan segala risiko yang ada sudah seharusnya jadi pertimbangan saat mereka memilih untuk membangun rumah tangga. Bahkan nggak sedikit ibu ketika marah, melontarkan ucapan penyesalan sudah melahirkan anak tersebut ke dunia. Padahal baik orang tua kan nggak bisa milih mau melahirkan anak yang seperti apa, pun sebaliknya. Ada baiknya saat marah, para orang tua mengingat kembali kalau perilaku anaknya itu sudah jadi salah satu risiko yang dihadapi. Bukannya menyesali, harusnya sih mereka menghadapi dengan sikap positif.
Sebaiknya orang tua mengutamakan sikap lemah lembut dalam mendidik dan membesarkan anak, termasuk ketika anak berbuat salah
Seperti yang sudah dibilang di atas. Nggak ada yang bisa dibenarkan dari kekerasan, apapun bentuknya. Di dunia ini, nggak ada anak yang nggak berbuat salah. Entah sengaja ataupun nggak, sudah jadi kewajiban orang tua untuk meluruskan. Tentu aja dengan cara yang selembut mungkin. Ajarkan gimana seharusnya anak bersikap, dengan baik dan perlahan. Masih di riset yang sama yang dilakukan Lise Eliot, belaian lembut dari orang tua ke anak akan membentuk rangkaian sel otak yang begitu indah.
Dua insiden di atas, menjadi catatan penting buat para orang tua dimanapun. Iya, kita semua paham kalau mereka melakukannya untuk kebaikan si anak juga. Tapi kalau nyatanya malah banyak keburukannya, buat apa terus dibiasakan? Toh, kalau di masa depan kesehatan mental anak terganggu, yang susah juga orang tuanya kan?