Baru bulan Maret 2017 ini, perusahaan sport internasional Nike, memperkenalkan produk ‘Nike Pro Hijab‘ khusus bagi perempuan Muslim yang aktif berolahraga. Terutama di level kompetisi olahraga profesional, kewajiban untuk menutupi aurat sayangnya masih dipandang sebagai keterbatasan yang membatasi potensi atlet-atlet perempuan yang menggunakan hijab atau jilbab. Buktinya setelah sekian lama, baru pada tahun 2017 ini ada ‘terobosan’ fashion khusus perempuan Muslim dalam dunia sport internasional.
Adanya produk seperti ‘Nike Pro Hijab’ ternyata baru langkah pertama, masih banyak yang kurang bisa menerima atau bahkan sampai mendiskriminasi pemakai hijab dalam berbagai pertandingan olahraga profesional. Salah satunya dapat terlihat dari kisah Zahra Lari yang diangkat oleh CNN. Mahasiswi berusia 22 tahun yang berasal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), ini adalah atlet perempuan ice skating pertama di dunia yang berkompetisi secara profesional di level internasional dengan menggunakan hijab. Zahra juga menjadi atlet pertama dari Semenanjung Arab yang bertanding dalam kompetisi ice skating internasional.
Kisah Zahra untuk memperjuangkan komitmen terhadap keyakinannya sekaligus mengejar mimpinya jadi atlet ice skating dunia ini inspiratif banget lho guys! Yuk simak bareng Hipwee News & Feature!
ADVERTISEMENTS
Ice skating memang terlahir dan berkembang dari kultur negara-negara ‘Utara’ yang dingin dan bersalju. Tapi di zaman di mana segala hal sudah jadi global, kayaknya siapapun berhak deh mendapat kesempatan
Publik dunia baru saja dikejutkan dengan keputusan UEA, yang notabene negara Muslim beriklim gurun dengan suhu rata-rata 360 Celsius, untuk bergabung dengan International Skating Union (ISU). Memang tidak lazim bagi negara seperti UEA bergabung dengan organisasi internasional karena itu berarti menunjukkan komitmen bahwa UEA akan ikut serta bertanding dalam kompetisi ice skating internasional. Cabang olahraga yang didominasi negara-negara Eropa dan negara empat musim seperti Jepang atau Korea Selatan.
Keputusan UAE itu tak bisa dilepaskan dari sosok Zahra Lari, perempuan yang sejak kecil sudah bermimpi menjadi atlet ice skating setelah menonton film ‘Ice Princess‘. Mimpi yang bagi sebagian besar perempuan di negara-negara seperti UEA masih dianggap mustahil hingga saat ini. Bukan hanya karena kulturnya tidak sesuai — meskipun ice skating ring pasti sudah ada hampir di semua negara di dunia, tetapi juga karena penampilan Zahra yang berhijab. Semua pihak yang terlibat dalam olahraga ini, baik dari organisasi internasional, wasit, pelatih, atlet lainnya, sampai bahkan penonton dan fans ice skating, seakan-akan tidak tahu bagaimana harus bereaksi melihat atlet berhijab di lapangan es.
ADVERTISEMENTS
Zahra Lari, ice skater asal dari Uni Emirat Arab, berusaha sekuat tenaga untuk mendobrak batasan tersebut. Ia ingin membuktikan hijab bukanlah halangan baginya untuk berkompetisi di level internasional
“Ayah saya merasa bahwa hal itu terlalu bertentangan dengan tradisi dan budaya normal kita bagi seorang gadis untuk berkompetisi dalam olahraga,” cerita Zahra sebagaimana dilansir oleh CNN.
Perjuangan Zahra untuk mendapat pengakuan bermula di lingkungan terdekatnya. Seperti mungkin kebanyakan orangtua lain di UEA, ayah Zahra pada awalnya menentang keras keinginan putrinya untuk berkompetisi di pertandingan-pertandingan ice skating. Meski terus menekuni olahraga yang dicintainya sejak kecil, Zahra sebenarnya memutuskan untuk tidak ikut berpartisipasi dan bertanding di kompetisi untuk menghargai ayahnya. Namun melihat antusiasme Zahra yang tidak pernah luntur, akhirnya hati ayahnya luluh dan Lari diperbolehkan aktif berkompetisi dalam lomba-lomba lokal. Ayahnya kini bahkan menjadi pendukung nomor 1 Zahra!
Setelah berhasil meyakinkan ayahnya, Zahra kini harus meyakinkan seluruh dunia bahwa atlet berhijab pun layak mendapat tempat dalam dunia ice skating internasional. Perjuangan yang nyatanya sangat tidak mudah karena memang tidak bisa dimungkiri estetika penampilan adalah elemen penting dalam penilaian olahraga ini. Zahra yang tampil berbeda dengan hijab-nya, perlu berjuang agar dapat diterima dalam kompetisi internasional.
ADVERTISEMENTS
Fashion dan hijab Zahra menimbulkan banyak perdebatan di kalangan profesional. Bahkan awalnya, ada juri yang menganggap ‘modifikasi’ pakaian Lari sebagai pelanggaran aturan
Karena keyakinannya, Zahra memang membuat pilihan berbeda dengan kostum yang ia pakai bertanding. Disamping hijab yang selalu menutupi mahkota kepalanya, gadis ini juga mengganti pilihan kain yang biasanya see-through seperti Lycra menjadi bahan yang lebih tebal seperti Opaque. Fashion yang juga populer dengan sesama atlet ice skating dari negara-negara Muslim lainnya. Namun ternyata pilihan fashion tersebut dipermasalahkan ketika masuk ranah kompetisi internasional.
Pada tahun 2012, Zahra menjadi perempuan Arab pertama yang berkompetisi di salah satu pertandingan internasional yaitu Piala Eropa di Canazei, Italia, dengan menggunakan hijab. Dalam kompetisi tersebut, skor atau nilai Zahra bahkan sampai dikurangi karena para juri menganggap kostumnya menyalahi aturan. Zahra sendiri mengaku tidak sakit hati terhadap keputusan juri itu karena ia paham betul bahwa ini pertamakalinya juri-juri tersebut melihat atlet berhijab berkompetisi.
“Saya benar-benar tidak memiliki perasaan negatif terhadap keputusan ini. Wasit pada saat itu belum pernah melihat seseorang berkompetisi dengan hijab sehingga mereka benar-benar tidak tahu bagaimana mencetak angka kepada saya.”
ADVERTISEMENTS
Zahra paham bahwa dunia butuh waktu untuk bisa menerima atlet berhijab di lapangan es. Namun perlahan tapi pasti, ia membuka pintu bagi semua orang tanpa terkecuali untuk bermimpi tinggi
Setelah pengalaman pahit di kompetisi internasional pertamanya, Zahra tidak menyerah. Ia aktif berkampanye di dalam lingkup International Skating Union (ISU) dengan tujuan supaya organisasi internasional ini mengatur khusus persamaan hak maupun kebijakan anti-diskriminasi terhadap atlet berhijab. Zahra juga menunjukkan langsung pada petinggi ISU mengapa penggunaan hijab itu tidak akan menyalahi aturan teknis maupun melanggar batasan lain. Perjuangan tersebut sedikit demi sedikit membuahkan hasil.
Meskipun belum ada aturan spesifik mengenai dilema ini, di kompetisi Nebelhorn Trophy yang diadakan di Jerman pada bulan September 2017 lalu, hijab Zahra mulai ‘diterima’. Panitia, sesuai arahan ISU, diminta tidak mengkategorikan hijabnya sebagai pelanggaran. Zahra juga sudah diperbolehkan berkompetisi di qualifying games untuk Olimpiade Musim Dingin 2018, walaupun akhirnya gagal lolos. Meski hanya selangkah demi selangkah, perjuangan Zahra berada di ‘jalan’ yang benar. Bahkan peraturan yang sifatnya lebih permanen dan inklusif saat ini kabarnya sedang digodok.
Olahraga itu memang harusnya milik semua. Semoga kisah Zahra yang pantang menyerah ini bisa jadi inspirasi bagi siapapun yang merasa tidak diterima atau tidak memiliki tempat di dunia. Meskipun awalnya tampak mustahil, kalau terus dicoba, pasti ada jalan guys!