Seni hidup dengan barang bekas | Illustration by Hipwee
Penggunaan barang bekas sering dikaitkan dengan ketidakmampuan seseorang membeli suatu barang dalam kondisi baru. Padahal, tak sedikit juga yang memilih menggunakan barang bekas selagi barang tersebut masih layak pakai dan bisa memenuhi kebutuhan. Sayangnya, karena stigma tadi, banyak masyarakat yang enggan membeli produk bekas karena takut mendapatkan stigma sebagai ‘orang yang nggak mampu’.
Ironis, karena saat ini volume sampah di dunia semakin tinggi, sedangkan barang yang didaur ulang masih sangat sedikit jumlahnya. Dengan adanya konsep penggunaan barang bekas, seharusnya bisa menekan laju bertambahnya volume sampah di dunia karena barang yang ‘dianggap’ sudah tak terpakai dan ingin dibuang bisa kembali dimanfaatkan.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 67,8 juta ton sampah pada tahun 2020. Sebanyak 37,3% sampah di Indonesia berasal dari aktivitas rumah tangga. Sumber sampah terbesar berikutnya berasal dari pasar tradisional yaitu sekitar 16,4%. Sebanyak 15,9% sampah berasal dari kawasan. Lalu, 2,69% sampah berasal dari limbah tekstil berupa kain.
Meski persentasenya tak setinggi limbah rumah tangga, limbah tekstil tetap menjadi penyumbang sampah di Indonesia dan dunia. Sampah tekstil yang sulit didaur ulang bisa mencemari aliran sungai dan ekosistem laut. Apalagi, ditambah dengan tren fast fashion yang membuat perputaran tren pakaian menjadi lebih cepat dan otomatis produksinya lebih tinggi.
Untuk mengimbangi arus tren fast fashion, sebagai konsumen kita bisa mengambil langkah untuk lebih bijaksana dalam berbelanja. Seperti yang dilakukan oleh salah satu teman saya, Berliani yang mulai beralih membeli dan mengenakan baju bekas yang ia peroleh dari thrift shop.
ADVERTISEMENTS
Berliani mulai mengenal dunia thrifting melalui temannya. Ia menjadi tertarik karena kualitas bahannya yang masih bagus
Photo by Becca McHaffie on Unsplash
Awal mula Berliani mengenal industri pakaian bekas justru melalui temannya. Setelah melihat langsung, ia pun semakin tertarik untuk membeli pakaian dari thrift shop karena kualitasnya yang masih bagus. Berliani atau yang sering disapa Berlin ini sudah aktif membeli pakaian bekas sejak tahun 2018. Biasanya ia mengunjungi toko yang menjual pakaian bekas secara langsung.
“Awal mula kenal dunia thrifting ini justru dari temanku. Sudah sejak tahun 2018 aku aktif membeli pakaian dari beberapa toko pakaian bekas, tapi semenjak pandemi belum pernah beli lagi karena ya mau ke mana juga kan? Toh, masih pandemi,” ujar Berlin.
Tak hanya memerhatikan model dan kualitas, Berlin juga sempat menyoroti isu eksploitasi buruh yang terjadi di industri tekstil. Ia juga merasa tren fast fashion yang perputarannya cepat membuat orang selalu ingin membeli pakaian baru yang sesuai tren. Akibat perputaran tren yang cepat, volume sampah fesyen pun semakin meningkat.
“Miris juga ketika tahu banyak sekali sampah dari industri fashion yang sulit didaur ulang dan berakhir menjadi sampah. Sedangkan, banyak juga masyarakat yang dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah masih kesulitan untuk mendapatkan pakaian yang layak pakai,” tutur Berlin.
Ia pun merasa tak menyesal berbelanja pakaian bekas karena ia bisa turut berkontribusi untuk mengurangi jumlah sampah di dunia.
ADVERTISEMENTS
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Berliani sebelum membeli baju bekas. Ia baru akan membeli baju jika baju lamanya telah rusak
Photo by Hannah Morgan on Unsplash
Saat ini Berlin baru menerapkan penggunaan barang bekas dari segi pakaian saja karena ia termasuk orang yang jarang membeli fashion item lain seperti sepatu. Berlin mengaku belum menemukan toko yang menjual furnitur dalam keadaan bekas dan kondisinya masih bagus, sehingga ia masih menggeluti dunia thrifting pakaian bekas saja. Ia juga mempertimbangkan banyak hal sebelum benar-benar membeli pakaian baru.
“Setiap pengin beli baju baru, aku akan mempertimbangkan banyak hal. Aku bakal nanya dulu nih ke diri sendiri, kira-kira aku benar-benar butuh pakaian baru nggak sih? Kalau memang pakaian yang lama sudah rusak biasanya aku baru beli lagi,” ujarnya.
Selain mempertimbangkan kebutuhan, Berlin juga membeli pakaian dengan model yang ‘timeless’ dan warna-warna basic seperti hitam, putih, dan biru dongker supaya bisa dipakai kapan pun. Ia pun tak mengikuti tren warna lilac karena menurutnya warna tersebut akan hype sementara. Selama pandemi, ia juga mulai jarang membeli baju karena merasa kebutuhan pakaiannya sudah terpenuhi dan masih bisa dipakai.
ADVERTISEMENTS
Berliani tetap memilih untuk melanjutkan hobinya mengenakan pakaian bekas walaupun masih kerap dianggap ‘sebelah mata’
Photo by Peter Livesey on Unsplash
Berlin menceritakan pengalamannya saat pertama kali membeli baju dari thrift shop. Respons keluarga dan teman-temannya pun cukup baik. Bahkan, ada beberapa teman yang meminta rekomendasi tempat untuk membeli pakaian bekas.
“Dulu waktu aku SMP pernah diajak papa ke toko thrift shop gitu, tapi dulu belum ngeh kalau itu toko yang jual pakaian bekas. Respons keluarga terutama papa saat tahu aku beli pakaian bekas sudah nggak kaget sih. Mereka justru memberikan tips untuk memilih pakaian saat thrifting.” ungkapnya.
Berlin juga mengaku bahwa teman-temannya juga merespons baik, bahkan ada yang minta rekomendasi tempat-tempat yang jual pakaian bekas. Meskipun begitu, tetap ada juga yang memandang ‘sebelah mata’ saat tahu ia memakai pakaian bekas. Untungnya, Berlin bisa menanggapi dengan santai. Pasalnya, pilihan hidup setiap orang bisa berbeda.
ADVERTISEMENTS
Mengenal dunia thrifting dari sang teman, rupanya Berliani juga menjadikan temannya sebagai inspirasi dalam dunia fesyen
Photo by Daniela Dávila on Unsplash
Berlin memang nggak begitu mengikuti para seleb Instagram atau influencer yang juga memiliki hobi thrifting. Ia justru menjadikan temannya sebagai inspirasi dalam mengenakan pakaian bekas. Menurut Berlin, temannya ini merupakan anak dari keluarga yang kondisi ekonominya menengah ke atas, tapi ia lebih suka berbelanja pakaian bekas. Selain itu, temannya juga pandai dalam mix and match outfit sehingga pakaian yang dikenakan terlihat apik.
ADVERTISEMENTS
Ia berharap agar semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk mengenakan pakaian bekas karena bisa membantu mengurangi jumlah sampah di dunia
Photo by Francois Le Nguyen on Unsplash
Berlin berharap dan ingin agar masyarakat bisa lebih terbuka dengan dunia thrifting. Selain itu, ia juga berharap agar nggak ada lagi ‘stigma buruk’ terhadap mereka yang memilih mengenakan pakaian bekas agar lebih banyak orang lagi yang tertarik untuk mengenakannya.
“Aku berharap semoga lebih banyak lagi orang-orang yang terbuka dengan dunia thrifting karena nggak semua pakaian bekas itu identik dengan kusam dan jelek kok. Masih banyak sekali pakaian bekas yang kualitasnya nggak kalah dengan baju baru. Seenggaknya kita bisa berkontribusi untuk mengurangi jumlah sampah di dunia. Aku juga berharap semoga nggak ada lagi stigma buruk terhadap pakaian bekas, jadi penggunanya bisa semakin banyak,” pungkas Berlin.
Permasalahan sampah memang sedang menjadi perhatian dunia karena jumlahnya yang semakin meningkat setiap tahunnya. Sebagai konsumen, kita juga bisa turut berkontribusi untuk menjaga lingkungan melalui penerapan belanja yang lebih bijaksana, salah satunya lewat penggunaan dan pemanfaatan barang bekas.