Baru-baru ini Indonesia geger dengan gugatan terhadap peraturan tentang kantor yang melarang sesama karyawannya menikah. Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan yang jadi masalahnya. Kamu dipaksa resign atau pindah kerja kalau kedapatan menikah dengan teman sekantor. Bagi para penggugat, pasal ini dirasa merugikan dan melanggar hak konstitusional setiap individu.
Padahal ketika hati sudah bicara, logika pun tak kan kuasa menahan perasaan. Mau sekuat apapun usahamu mengatur perasaan, semua akan sia-sia kala cinta mulai menyapa. Kata orang cinta memang buta. Ia datang tak melihat waktu, tak memandang tempat dan tak peduli kondisi. Kamu bisa saja jatuh cinta pada sosok yang baru kamu kenal ataupun teman yang sudah lama menemani.
Dengan melihat fakta bahwa cinta itu buta dan tak bisa diterka, lantas terselip satu pertanyaan. “Pantaskah perusahaan mengatur perasaan karyawannya?”
ADVERTISEMENTS
Perusahaan biasanya berdalih ini soal produktivitas. Namun bukankah sebenarnya bekerja dengan orang yang dicinta lebih bikin karyawan bersemangat?
Bagi orang yang jatuh cinta, larangan atas pernikahan teman sekantor ini adalah hal yang merugikan. Mereka menilai larangan tersebut melanggar konstitusi dan hak asasi manusia. Namun pihak perusahaan punya pandangan lain. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, aturan ini sama sekali tak ada kaitannya dengan HAM, hanya murni karena masalah produktivitas.
Sebuah kalimat yang lucu mengingat cara untuk meningkatkan dan menjaga produktivitas karyawan caranya tak cuma itu saja. Masih banyak jalan lain agar produktivitas karyawan terjaga. Bahkan kalau mau jujur, sejatinya bekerja bersama dengan orang yang dicinta justru akan bikin karyawan bahagia.
Menurut penelitian dari Scientific American, cinta membuat kreativitas kita lebih meningkat dan menurut University of Warwick, kebahagiaan karyawan dan produktivitas mereka itu sangat berhubungan. Yah memang sih menikah tak selalu isinya bahagia. Namun saat seseorang memutuskan untuk menikah dengan rekan kerjanya, mereka sudah memperhitungkan masalah ini. Kantor atau perusahaan sejatinya tak perlu khawatir lagi.
ADVERTISEMENTS
Meminta salah satu karyawan resign sebenarnya juga tak menyelesaikan masalah. Yang ada pekerjaan jadi tak terurus nantinya
Sebenarnya peraturan-peraturan yang diterapkan di banyak perusahaan ini bisa disebut peraturan yang lucu. Kantor tak melarang adanya cerita romantis antar karyawannya. Namun begitu ada yang memutuskan untuk serius menjalin hubungan pernikahan, kantor meminta salah satu untuk resign atau pindah kerja. Meski niatan aturan ini adalah demi melindungi keharmonisan dan produktivitas karyawan, namun kesannya malah jadi lucu karena tak memberi solusi dan justru menciptakan masalah baru lagi.
Sebagai karyawan, kamu dipaksa untuk memikirkan masalah ini berlarut-larut. Perkara siapa di antara kamu atau pasanganmu yang harus mengundurkan diri dari perusahaan hingga masalah kerjaan apa yang nantinya harus diambil setelah resign nanti. Alih-alih membuat karyawan betah bekerja, aturan ini yang ada justru akan memperlambat produktivitas mereka. Kalau sudah begitu, niatan awal demi menjaga produktivitas jelas gagal total.
ADVERTISEMENTS
Lagipula kita ini sedang bicara soal hati. Apapun cara melarangnya, semuanya akan percuma…
Kata orang, cinta itu buta. Kita tak bisa mengatur kepada siapa hati kita berlabuh nantinya. Ini perkara hati. Mau dilarang dengan cara apapun, cinta akan menemukan jalannya.
“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.” – Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan
Pasal tersebut adalah pasal yang jadi tembok penghalang antara cinta seseorang kepada rekan kerjanya. Harusnya sih tak perlu melarang juga. Larangan justu akan membuat hati tersiksa. Jika tak kuat menahan siksaan, bisa jadi karyawan akan jengah dan berpikir bahwa perusahaan semena-semena. Yang jadi pertaruhan nantinya adalah loyalitas karyawan. Belum lagi kalau karyawan dendam dan tak terima, suasana kantor yang bakal rusak nantinya.
Masalahnya, ini adalah perkara hati. Pendapat pribadi sih ini, namun semestinya perusahaan tak perlu mempersulit karyawannya yang ingin menikah dengan teman sekantor. Saat sudah memutuskan ingin menikah, mereka berdua pasti sudah berpikir matang-matang. Konsekuensinya juga sudah mereka pikir dengan seksama. Nah kalau nantinya ada masalah, yakin deh mereka akan bisa menyelesaikannya secara dewasa. Yah tapi balik lagi. Ini cuma opini seorang penulis yang pernah jatuh cinta sama teman sekantornya doang loh ya… Hehehe