Ingar bingar penyelanggaraan ujian nasional 2017 yang kini bernama Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), diwarnai dengan berita sedih dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Amelia Nasution (19), seorang siswi SMK 3 Padang Sidempuan akhirnya meninggal dunia pada 10 April lalu karena menenggak racun rumput. Setelah dirawat selama 9 hari, nyawa siswi kelas XII itu tidak dapat terselamatkan. Yang lebih memprihatinkan adalah motivasi di balik aksi nekatnya bunuh diri dengan meminum racun. Amelia diduga depresi setelah berusaha mengungkap aksi kecurangan oknum guru sekolahnya yang berusaha membocorkan soal UNBK.
Bukannya dipuji atas keberaniannya, Amelia tampaknya malah mendapat ancaman karena mengumbar kecurangan tersebut. Menurut Kompas, guru berinisial E tersebut bahkan menakut-nakuti Amelia dan dua temannya yang juga terlibat dengan hukuman penjara dan denda sebesar 750 juta. Sedangkan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Sumatera Utara mengaku tidak ada kebocoran soal di sekolah itu dan bahkan menyebutkan bahwa alasan Amelia bunuh diri adalah masalah keluarga, seperti lansiran Tirto. Tapi tentu saja itu berbeda dengan cerita yang sudah ramai dibicarakan di media sosial. Kasus ini sampai membuat Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendy memerintahkan stafnya untuk menyelidiki kebenaran kasus itu.
Sampai saat ini benar atau tidaknya kasus kecurangan guru SMKN 3 Padang Sidempuan saat UNBK ini, masih perlu ditinjau lebih lanjut. Dugaan intimidasi yang dilakukan pihak sekolah juga masih perlu dibuktikan. Tapi bila benar, maka Amelia menambah daftar orang yang berusaha mengungkap kebenaran tapi justru berakhir tragis dan bahkan sampai kehilangan nyawa.
Semuanya berawal dari postingan Amelia di media sosialnya. Nadanya tajam, mengungkap dugaan kecurangan dalam ujian nasional
Diulas oleh Beritasatu, dalam sebuah postingan Facebook, Amelia mengungkap bahwa guru E memberikan kunci jawaban UNBK kepada murid bernama Y, yang adalah anaknya sendiri. Hal ini dituturkan juga oleh teman Amelia, bahwa saat UNBK anak guru diberi kunci jawaban sementara mereka tidak. Akibat postingan ini, Amelia dan kedua temannya, Idda Annur dan Rini Afrianti, dipanggil oleh beberapa guru. Dalam panggilan itu, mereka mengaku diintimidasi sampai diancam akan dipidanakan dengan UU ITE dan harus bayar denda 750 juta. Diduga karena intimidasi inilah, Amelia tertekan dan akhirnya nekat minum racun tanaman.
Bila terbukti benar, tentu ini adalah cacat dalam dunia pendidikan kita. Anak yang berusaha membongkar kecurangan justru berakhir mengenaskan. Pendidikan yang seharusnya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, justru membuat siswanya kebingungan. Apalagi, kasus Amelia ini bukan yang pertama.
Persoalan kecurangan dalam ujian ini sepertinya sudah diwajarkan. Masih ingat kisah Alif dan Ibunya yang diusir dari kampung karena tak mau beri sontekan?
‘Yang jujur malah babak belur‘, mungkin itulah yang tepat untuk menggambarkan kisah Bu Siami dan Alif, siswa kelas 6 SD di Surabaya. Mengetahui anaknya dipaksa pihak sekolah untuk memberikan sontekan saat ujian, Bu Siami berusaha meluruskan persoalan hingga melaporkannya ke pihak berwajib. Buntut dari kasus ini, tiga guru yang memaksa Alif dicopot, dan Bu Siami sekeluarga diusir warga. Lho kok bisa?
Masalahnya, warga ogah dituduh menyontek massal karena pengawas ujian membiarkan. Mereka juga menganggap Siami dan Alif membesar-besarkan masalah dan mencoreng nama baik sekolah maupun desa karena melaporkan kecurangan yang dialami anaknya. Seolah merasa apa yang diperjuangkannya benar, perwakilan warga desa itu menuntut tiga guru yang dicopot kembali mengajar dan Bu Siami mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Lho, ini yang salah siapa yang disuruh tanggung jawab siapa sih?
Prihatin akan budaya kecurangan yang sama, membuat Andri Rizki Putra pilih drop out dari sekolahnya. Anak-anak seperti ini sebenarnya justru patut dibanggakan bukan?
Soal kecurangan di sekolah memang bukan lagi rahasia. Ironis sekali karena sekolah juga mengajarkan bahwa menyontek adalah perbuatan tercela. Kondisi yang memprihatinkan inilah yang membuat Andri Rizki Putra memilih tak sekolah. Saat SMP, Andri melihat bahwa demi reputasi sekolah, kecurangan saat ujian nasional dihalalkan. Kalau kita biasanya cuek aja dengan dalih ‘ yang penting bukan gue yang nyontek‘, Rizki tidak demikian. Kecewa dan protes pada sistem yang sudah membudaya ini, Rizki memilih putus sekolah dan ujian paket C. Nyatanya, putus sekolah tidak membuat mimpinya padam. Rizki bisa kuliah di Universitas Indonesia dan sekarang melanjutkan sekolah ke universitas paling top sedunia Harvard University.
Kasus Novel Baswedan yang sedang bergulir ini juga bisa kita jadikan cerminan. Sebesar apakah kecurangan yang sedang berusaha dibongkar, sampai hidupnya diincar?
Meski tak berhubungan dengan dunia pendidikan, apa yang baru-baru ini dialami oleh Novel Baswedan layak kita jadikan cerminan budaya pengungkap kebenaran di Indonesia. Banyak dugaan bahwa penyidik KPK tersebut diserang dengan air keras karena kasus e-KTP yang dia tangani. Seperti yang kita tahu bersama, kasus yang bahkan dilabeli megakorupsi itu menyeret nama-nama orang penting di Indonesia.
Menjadi anggota KPK yang tugasnya membeberkan dan menangkap pelaku kecurangan memang penuh risiko. Mirisnya bukan hanya mereka yang bergulat mengungkap kebenaran di level sistem negara, bahkan murid-murid yang sekadar tidak ingin menyontek pun bisa kehilangan nyawa. Susah banget ya jadi orang jujur di negara ini!
Sayangnya, kejujuran di negeri ini agaknya mahal sekali. Apakah karena kita sudah terlalu menutupi kebohongan kecil dengan kebohongan lainnya hingga mengakar jadi budaya?
Sudah jelas bahwa sejak TK pendidikan mengajarkan bahwa menyontek itu perbuatan curang. Barangkali, materi soal kejujuran juga jadi salah satu bahan di ujian nasional. Tapi apa yang terjadi di dunia nyata memang membingungkan. Barangkali di negeri ini kejujuran memang teramat mahal harganya, sehingga orang yang jelas-jelas mempraktikan pelajaran budi pekerti justru apes jadinya.
Budaya mencontek dianggap sudah wajar, bahkan ada oknum pendidik yang sengaja mempraktikkannya demi ‘prestasi’ atau ‘ranking’ sekolah. Seperti warga yang menganggap Siami dan Alif yang lebay dan mencoreng nama baik karena melaporkan kecurangan yang katanya sudah ‘biasa’ dan ‘direstui’ oleh semua kalangan.
Bukan hanya mental, barangkali sistem pendidikan kita pun turut menyumbang budaya kecurangan. Segalanya dilakukan demi selamat saat ujian nasional
Lalu mengapa kecurangan saat ujian masih saja terjadi? Padahal sejak masa ebtanas hingga UNBK, format ujian nasional terus dikembangkan. Soal pun kini bukan hanya satu jenis, melainkan ada 5 kode soal yang berbeda. Soal ujian nasional ini sepertinya jadi masalah yang lebih pelik dari kelihatannya. Meski 3 hari UN tidak lagi jadi penentu 3 tahun masa sekolah seperti dulu, sistem ujian nasional masih saja jadi momok yang menakutkan bagi siswa. Sementara untuk pihak sekolah, kelulusan siswa saat UN juga bermakna reputasi.
Barangkali karena tekanan yang besar inilah yang membuat baik siswa ataupun sekolah melakukan segala cara, termasuk membiarkan kecurangan demi kecurangan terjadi.
Jangan terlalu heran dengan berita korupsi yang berseliweran di koran. Karena nyatanya kecurangan kecil sudah diwajarkan sejak di bangku sekolahan
Awalnya hanya menyontek saat ujian. Alasannya, ah nggak apa-apa, toh semuanya nyontek juga. Lalu saat sudah besar, korupsi mulai dilakukan. Alasannya masih sama, toh banyak pejabat lain yang korupsi juga. Korupsi dianggap sebagai bagian budaya, dan biasa dilakukan oleh orang yang punya kuasa, mulai dari kelas receh sampai kelas tinggi. Selama kecurangan di sekolah masih terus ‘dilegalkan’ dengan sistem, sementara institusi yang diandalkan justru terkesan tutup mata, selama itulah mental curang membudaya. Jadi, jangan heran bila kasus-kasus korupsi ini sulit banget ditumpasnya.
Barangkali kita semua pernah berbuat curang saat ujian. Sekali atau dua kali, kita pernah melirik diam-diam jawaban teman atau membuat sontekan dan menyembunyikannya di tempat aman. Tapi kita harus tahu bahwa perbuatan ini tidak bisa diwajarkan atau dianggap lumrah. Sama seperti ‘budaya’ korupsi harus diberantas, ‘budaya’ nyontek juga sama.
Yuk kita doakan kedamaian untuk Amelia Nasution dan ketabahan untuk keluarganya.