‘Panas’-nya persaingan politik di negeri ini tampaknya kembali memakan korban. Bukan cuma sebatas soal pose jari atau perseteruan di grup WA keluarga, kejadian yang baru saja terjadi di Gorontalo ini lebih menyayat hati. Hanya karena beda pilihan politik, dua kuburan di desa setempat harus dibongkar dan dipindahkan dari tempat semula. Pemindahan itu disebabkan oleh perselisihan antara pemilik lahan dengan keluarga yang berbeda pilihan calon legislatif (caleg) DPRD dalam pemilu 2019 ini. Cuma gara-gara beda pilihan caleg DPRD, ketenangan mereka yang sudah meninggal pun harus terusik.
Keprihatinan atas kejadian memilukan ini juga diungkapkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam keterangan tertulis (13/1), Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas, bahkan menyebut peristiwa ini ‘mengoyak dan mematikan rasa kemanusiaan‘. Jangan sampai deh pesta demokrasi tahun 2019 ini justru memecah belah bangsa dan hubungan keluarga ya…
ADVERTISEMENTS
Cuma karena beda pilihan politik antar keluarga, dua kuburan kakek dan cucu di Gorontalo dibongkar dan dipindahkan. Sang kakek sudah dimakamkan 26 tahun lalu, sedangkan cucunya meninggal setahun lalu
Dua kuburan yang dipindahkan adalah kuburan atas nama Masri Dunggio yang telah dimakamkan 26 tahun lalu dan cucunya Sitti Aisya Hamzah yang baru dimakamkan setahun lalu. Dilansir dari Detik, kedua kuburan ini terletak di halaman belakang milik Awano yang sebenarnya masih ada hubungan sepupu dengan almarhum. Perselisihan terjadi karena keluarga Masri tidak mendukung calon anggota DPRD yang didukung Awano yaitu calon anggota DPRD Bone Bolango dari Partai Nasdem bernama Iriani atau Nani. Nani sendiri diketahui sebagai adik ipar Awano.
ADVERTISEMENTS
Perselisihan ini sebenarnya sudah dimediasi oleh pihak desa sejak akhir 2018, tapi tidak berhasil. Kalau sudah begini, politik tampaknya benar-benar bisa membutakan akal sehat dan hati nurani
Perselisihan politik yang memuncak dan berujung ke pemindahan makam ini sebenarnya telah dimediasi oleh pihak desa setempat yaitu Desa Toto Selatan di Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, sejak Desember 2018 yang lalu. Kepala Desa Toto Selatan, Taufik Baladraf sudah mengundang kedua belah pihak ke balai desa untuk diajak berdamai. Pada kesempatan itu, Taufik juga menekankan bahwa hak pilih itu adalah hak semua orang dan tidak bisa dipaksakan.
Namun karena sudah tersulut emosi, proses mediasi itu gagal. Meski sebagaimana dilansir dari Kumparan, Awano menyebut tidak pernah melontarkan perintah memindahkan kuburan, Pihak keluarga Masri sudah terlanjur sakit hati dan memilih memindahkan makam keluarganya asal diberi waktu. Kedua makam itu akhirnya dipindahkan ke lokasi yang berdekatan dengan diiringi isak tangis keluarganya.
ADVERTISEMENTS
Keprihatinan ini juga diungkapkan PBNU yang menyebut peristiwa di Gorontalo ini ‘mematikan rasa kemanusiaan‘ dan mengimbau masyarakat untuk tidak menghalalkan segala cara demi kekuasaan politik
“Politik yang seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan justru mematikan rasa kemanusiaan itu sendiri,” ujar Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas seperti dikutip dari laman NU Online.
Tanggapan Robikin tersebut tampaknya bisa mewakili keprihatinan kita semua. Robikin juga menilai peristiwa yang menurutnya mengoyak rasa kemanusiaan itu, berakar dari banyaknya orang yang mau menghalalkan semua cara demi meraih kekuasaan politik. Baik dalam bentuk politisasi agama dan penyebaran fake news maupun hoaks.
“Seakan tak peduli dampak yang ditimbulkan. Hubungan kekerabatan pecah, persahabatan retak, tetangga dikategorikan sebagai lawan. Semua disandarkan satu hal: kesamaan pilihan politik,” ujar Robikin.
Padahal politik dan pemilu itu sifatnya hanya sementara dan terus berubah lo. Masa sampai harus memecah belah kelurga, persahabatan, dan negara. Kita agaknya perlu meresapi nasihat Robikin untuk menyikapi tahun politik 2019 di bawah ini. Jangan sampai terpecah, kita harus bisa melewati pesta demokrasi dengan damai untuk bersatu kembali lebih kuat ke depannya.
“Sebagai pesta demokrasi pemilu, seharusnya menjadi kegembiraan nasional. Layaknya pesta yang tak perlu ada satu pun gelas pecah,” tambah Robikin.