Glorifikasi pernikahan artis | Credit: Hipwee via www.hipwee.com
Kehidupan selebritas bagi beberapa orang selalu menarik untuk dikulik. Apalagi, di zaman modern seperti sekarang ini, di mana seseorang bisa lebih mudah untuk mengakses segala informasi hanya dengan ketikan jari. Sebenarnya, sorotan masyarakat kepada pesohor merupakan hal yang lumrah dan natural. Apalagi, adanya kecenderungan manusia yang menaruh perhatian khusus pada sosok yang dianggapnya berada di puncak, dalam hal ini mempunyai popularitas lebih tinggi dibandingkan penikmat konten tadi.
Menurut Psikolog Evolusiner Daniel Kruger dari University of Michigan, orang suka mengamati perilaku individu yang dominan dalam kelompok mereka. Alasannya, mereka jadi bisa mempelajari apa yang dilakukan oleh tokoh yang dianggapnya berpengaruh, dengan harapan bisa menjadi bagian dari seseorang yang diikuti tersebut.
Fenomena obsesi terhadap kehidupan artis sudah berlangsung sejak lama. Namun, kini memang perlu diakui semakin santer. Jika biasanya kisah pesohor ditampilkan pada media arus utama, masyarakat sekarang sudah berbondong-bondong mencari berita artis dari berbagai sumber. Misalnya, dengan munculnya akun gosip di media sosial yang diikuti oleh jutaan orang. Padahal, belum tentu informasi yang disampaikan benar dan bisa dipercaya.
Masifnya pemberitaan artis membuat pola dalam penayangan di televisi juga berubah. Media berlomba menampilkan sesuatu yang belum muncul di permukaan dan dianggap ekslusif. Hal ini bisa ditemukan pada penayangan pernikahan artis. Namun, hal ini lambat laun justru bikin risih. Publik mempertanyakan “Apa sih, manfaat yang didapat penonton usai berhari-hari menyaksikan rangkaian hajatan artis secara live?”
ADVERTISEMENTS
Walau sebelumnya dianggap sakral, nyatanya banyak selebritas yang menyiarkan pernikahan mereka sejak lama
Esensi pernikahan sebenarnya | Credit: Nick Karvounis on Unsplash
Jika dahulu pernikahan selebritas digelar secara tertutup hanya untuk keluarga dan kerabat terdekat, kini justru bergeser menjadi tontonan jutaan masyarakat. Fenomena penayangan pernikahan artis di televisi sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Beberapa pasangan figur publik tersohor dunia sempat melangsungkan janji pernikahan secara live. Misalnya, pernikahan Princess Diana dan Prince Charles pada 1981, Gucci Mane dan Keyshia Ka’oir di tahun 2017, hingga Princess Margaret dan Antony Armstrong sebagai pasangan kerajaan pertama yang menampilkan royal wedding di televisi pada 1960.
Berkaca pada pernikahan Kate-William di 2011, barang-barang yang dikenakan pasangan tak butuh waktu lama langsung naik daun. Replika cincin, gaun, hingga cat kuku Kate Middleton di hari pernikahannya laku keras di pasaran. Belum lagi, penjualan produk Alexander McQueen melonjak 27 persen usai dikenakan pada hari spesial tersebut.
Pernikahan ekslusif yang ditampilkan pada episode khusus pernah dialami oleh Khloe Kardashian dan Lamar Odom pada 2009. Berdasarkan laporan CNN, pernikahan yang dihadiri 250 tamu tersebut telah disaksikan 3.2 juta pasang mata dalam episode “Keeping Up with the Kardashians”. Hal serupa juga dilakukan Kim Kardashian dan Kris Humphries, pernikahan mereka bahkan diliput khusus oleh E!. Acara yang menghabiskan 6 juta dollar tersebut, setidaknya telah dilihat oleh 10.5 juta penonton. Sayangnya, 72 hari usai melasungkan pernikahan, Kim dan Humphries justru memutuskan untuk bercerai.
Di Indonesia sendiri, penayangan pernikahan secara langsungpertama kali disinyalir oleh pasangan Eko Patrio dan Viona Rosalina pada 12 Oktober 2001. Acara yang disiarkan di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sempat bikin geger karena menggusur jadwal big match liga Inggris antara Liverpool dan Manchester United. Acara seperti ini nyatanya digemari oleh sebagian penonton tanah air.
ADVERTISEMENTS
Dalih penayangan pernikahan artis sebagai konten hiburan, benarkah demikian atau hanya pendobrak rating supaya tetap aman?
Berlomba menghadirkan pernikahan yang mewah | Credit: Hipwee
Kontra soal penayangan pernikahan secara live artis tanah air sempat ramai di media sosial Twitter. Saat itu, muncul poster rangkaian acara Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah yang rencananya digelar paralel hingga 4 hari. Proses lamaran, siraman, pengajian, sampai akad tak luput dari daftar. Warganet yang melihat jadwal tersebut merasa geram. Mereka menganggap jika hal ini terus menerus dilakukan, bukan tak mungkin semakin banyak yang meninggalkan program kreatif yang dibuat televisi nasional.
“Televisi hanya mengikuti kemauan pasar,” begitu jawaban yang kerap publik temukan.
Padahal, merujuk pada Pedoman Penyiaran pasal 11, disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib memerhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. Media mempunyai tanggung jawab sosial, bukan hanya memberikan apa yang diinginkan publik tetapi juga harus memberikan yang dibutuhkan, yakni konten edukasi.
Rating yang tinggi kerap menjadi godaan bagi pelaku industri kreatif. Berkaca pada pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina 2014, misalnya. Acara ini disiarkan oleh 2 stasiun televisi hingga hampir 24 jam mendapatkan rating tinggi selama penayangan. Belum lagi, pernikahan Ashanty dan Anang Hermansyah yang mendapatkan rekor MURI sebab disiarkan secara langsung 3 jam nonstop di salah satu televisi swasta. Terbaru, ada rangkaian pernikahan Rizky Billar dan Lesti Kejora yang memicu kontroversi sebab dinilai sebagai pembohongan publik.
Meski menuai banyak kritikan, nyatanya penayangan pernikahan artis sampai kini masih berlangsung. Mereka menggunakan jumlah pengikut selebritas untuk menaikkan rating tayangan dan mengesampingkan kemanfaatan untuk orang banyak.
ADVERTISEMENTS
Glorifikasi pernikahan artis pada akhirnya hanya menampilkan sebuah kemewahan. Perlu keterlibatan semua pihak supaya hal ini tak menjadi konsumsi masyarakat
Menggelar pernikahan secara mewah bukan keharusan | Credit: Marc A. Sporys on Unsplash
Tingginya rating acara pernikahan menunjukkan kuatnya magnet sosial di tengah masyarakat. Sebagian dari kita begitu antusias menyaksikan perhelatan “akbar” tersebut. Melihat segala hal yang menyenangkan hingga ritual serba mewah yang mungkin jarang kita lihat di kehidupan nyata menjadi suatu magnet sendiri. Padahal, banyak juga yang sadar bahwa acara ini tak ada pengaruhnya ke kehidupan yang sedang mereka jalani.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo sempat mengatakan sejauh ini sudah memberikan tiga sanksi berkaitan dengan acara live pernikahan artis. Namun, pihaknya hanya menjatuhkan sanksi administrasi. Kalaupun tayangan tersebut masih muncul, hal ini justru ditekankan pada kebijakan stasiun TV terkait.
“Kalau ditanya kenapa masih muncul, ya tanyanya, ke sana (stasiun TV). Karena sanksi yang bisa diberikan Undang-Undang dan P3-SPS itu sanksi administratif. Jadi kalau mau bertindak lebih jauh, nggak mungkin karena UU dan aturannya begitu,” tutur Hadi Purnomo dikutip dari pemberitaan Kompas.com.
Menurut jawaban yang disampaikan Wakil Ketua KPI, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa lembaga belum memiliki regulasi yang valid untuk memberhentikan suatu acara. Maka dari itu, perlu kesadaran dari media untuk memfokuskan pada kemanfaatan bukan keuntungan semata.
Pun jika hal ini dibiarkan terus menerus, bukan tak mungkin justru akan berdampak pada masyarakat. Misalnya, menciptakan fantasi berlebihan bahwa pernikahan “impian” itu mesti mewah, harus total karena dilakukan satu kali seumur hidup. Akhirnya, banyak yang melakukan segala cara untuk menyenangkan banyak orang, meminjam sana-sini hingga bekerja tak kenal waktu. Mereka terdoktrin menciptakan ekspektasi keluarga, tekanan lingkungan sosial, atau bahkan keinginan pasangan yang berharap pernikahannya seperti selebritas. Sedangkan, tak semua orang memiliki kondisi finansial yang serupa.
Memang betul kita bebas menentukan tontonan sesuai dengan preferensi, tapi kita juga perlu membatasi diri terhadap hal-hal yang bisa memberikan pengaruh yang kurang baik ke diri kita. Sementara media dan regulasi belum bisa diandalkan, yuk sama-sama mengurangi konsumsi keglamoran dari para artis yang disuguhkan media. Termasuk pernikahan yang jadi ditakar dengan nominal, padahal kan esensinya bukan seperti itu.