Dalam setiap pesta demokrasi seperti pilkada serentak bulan Februari ini, masalah golput merupakan salah satu kekhawatiran yang selalu menghantui. Menurut data yang dihimpun KPU dalam pemilu legislatif tahun 2015 lalu, tingkat partisipasi pemilih yang terdaftar sebesar 70%. Lalu ke mana yang 30%?
Seperti yang diketahui bersama, ‘golongan putih’ atau ‘golput’ adalah kelompok yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu. Alasannya jelas beragam. Tapi kalau melihat konteks sejarah, golput pertama kali muncul di Indonesia dari gerakan kelompok muda yang merasa aspirasi politiknya tidak terwakilkan oleh kandidat-kandidat dalam pemilu 1971. Kelompok muda yang saat itu digalang oleh tokoh seperti Arief Budiman dan Imam Waluyo, mengajak orang-orang untuk mencoblos bagian kosong atau putih dari surat suara. Maka dari itu gerakan ini kemudian dikenal sebagai golongan putih.
Jika aslinya gerakan ini justru mewakili aspirasi politik yang kuat untuk menentang pilihan yang ada, tapi tidak bisa ditampik banyak yang mengaku golput saat ini lebih karena mereka sama sekali tidak peduli akan proses politik. Berangkat dari rasa penasaran akan pandangan anak muda tentang golput, kali ini Hipwee merangkumnya lewat testimoni dari 9 anak muda ini. Yuk disimak bersama!
ADVERTISEMENTS
1. Golput adalah pilihan pribadi. Tidak ada alasan untuk golput bila memang calon yang tersedia memenuhi kriteria
“Setiap orang itu bebas menentukan hak politiknya, tidak ada satu pun yang bisa memaksa. Jadi menurut saya, golput juga termasuk hak politik. Saya tidak terus-menerus menjadi golput. Ketika ada pasangan kandidat yang menurut saya pantas dipilih, kenapa nggak?” – Rabia, 24 tahun, pekerja LSM –
ADVERTISEMENTS
2. Selama bukan karena males atau sibuk, golput juga punya pesan dan tak selalu berarti abai pada politik
“Aku sih nggak merasa golput salah. Itu pernyataan bahwa aku nggak mau menjadi bagian dari kebijakan seorang kandidat yang aku rasa nggak punya kecakapan buat memimpin. Kalau aku maksa diri buat pilih ‘terbaik di antara terburuk’, aku seperti ngasih persetujuanku ke kandidat ini, ngasih dia anggapan bahwa dia udah bener karena dia dapat vote yang tinggi. Tapi, ketika ada banyak orang yang nggak milih, itu suara buat bilang ke kandidat yang akhirnya terpilih bahwa dia masih punya banyak kekurangan, bahwa masyarakat belum percaya sama dia, dan dia mesti berusaha memperbaiki itu. Nggak setuju sih kalau dibilang golput itu apatis. Kepedulian politik nggak bisa dijudge cuma dengan selembar kertas pemilu.” – Intan, 23 tahun, freelancer –
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
3. Memilih calon pemimpin tentu harus melihat kemampuannya. Kalau memang tidak ada yang kompeten, untuk apa memaksa
“Karena ini negara demokrasi, jadi setiap orang berhak untuk golput. Jadi nggak salah kalau golput. Aku pribadi pernah dapet duit dari beberapa calon waktu pilkada di daerahku. Dari 2 calon, dua-duanya ngasih duit. Tapi dua-duanya menurutku bukan calon pemimpin yang baik. Nah, menyikapi itu aku tetep datang ke TPS dan nyoblos dua-duanya… Hahaha” – Bima, 23 tahun, Mahasiswa tingkat akhir –
ADVERTISEMENTS
4. Fenomena golput sudah ada sejak pemilu di era orde baru, sebagai protes atas proses yang dianggap bersih
“Menurut gue sih nggak masalah, ya. Justru, semakin banyak orang yang golput, itu semakin baik. Soalnya, ini bisa jadi bahan pertimbangan buat orang-orang yang nggak mau naik, tapi sebenarnya punya kapabilitas dan akseptabilitas sebagai pemimpin. Sepakat dengan masyarakat tahun 69 atau 71 itu (gue lupa, pas pemilu pertama). Mereka nggak mau milih karena calonnya nggak ada yang bener. Kasus paling nyata, banyak orang milih Jokowi, karena nggak mau milih Prabowo. Banyak orang milih Hillary, karena nggak mau milih Trump. Jadi, mereka memilih bukan karena kesadaran akan kemampuan calonnya, tetapi milih karena ketakutan apriori. Buruk sih menurut gue. Haha” – Sukab, 24 tahun, jurnalis –
5. Satu suara bisa menentukan masa depan negara. Secara umum, banyaknya yang abstain menunjukan rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilihan pemimpin-pemimpin negara
“Kalau menurut aku golput nggak bener sih. Ya mungkin karena calon-calonnya nggak selalu sesuai sama ekspektasi. Tapi setidaknya ada yang lumayan mendekati, kalaupun memang pada akhirnya nggak punya pilihan setidaknya datang saja sih ke TPS supaya suaranya nggak dipakai orang lain buat dicurangin.” – Nissa, 31, karyawan swasta –
6. Secara hukum, golput memang tidak melanggar pasal-pasal pidana. Tapi hati-hati, mengajak orang lain untuk abstain bisa berujung penjara
“Yang tidak boleh itu mengajak orang lain untuk golput, apalagi dengan tindakan pemaksaan/kekerasan. Tindakan mengajak/provokasi orang lain untuk golput ini yang setau saya bisa dipidanakan. Tapi menurut saya, senyampang kita masih bisa menilai dan menimbang program para calon, lebih baik kita tidak golput. Golput itu keputusan akhir bagi orang yang malas berpikir, malas membenturkan gagasan-gagasan, malas berdebat, dan akhirnya abstain. Kalau saya, senyampang punya kesempatan, waktu, dan hak untuk memilih, maka saya akan tetap memilih. Tidak golput. Yang saya pilih adalah calon yang menurut saya programnya rasional, track recordnya bukan yang paling buruk dibanding yang lain calon yang meskipun kurang oke tapi masih bisa berdialog, serta punya gagasan dan visi kemajuan bagi masyarakat.” -Taufiq, 25 tahun, karyawan swasta –
7. Namun, para golputers pun harus siap dengan risikonya. Abstain tidak menyelesaikan masalah dan justru memberi kesempatan sembarang orang naik ke tampuk kekuasaan
“Kalau pertanyaan bener apa nggak, ya nggak bener sih karena tiap warga itu berhak dan sebenarnya wajib berpartisipasi dalam demokrasi. Meski banyak kejadian di mana kandidat politik nggak mutu atau nggak bener (sistem rekrutmennya korup atau alasan lain), tidak berpartisipasi atau sengaja abstain itu nggak bakal nyelesein masalah. Idealnya sih memang kalau ada calon yang diyakini harusnya didorong. Atau sekalian aja nyalon sendiri bagi yang punya aspirasi politik besar. Sayangnya kebanyakan masyarakat malah jadi nggak peduli terhadap proses politik, tapi baru koar-koar ketika pemimpin terpilihnya ternyata nggak mutu. Jadi ya kalau misal pemilu harus milih, pilihlah lesser of the two evils alias yang lebih mendingan.” – Nana, 27 tahun, content editor –
8. Tidak hadir dalam proses pemilihan bisa berarti juga membuka pintu bagi orang-orang yang ingin meraih jalan pintas menuju kemenangan. Setidaknya, jangan biarkan suaramu disalah gunakan
“Bener atau nggak mah kan relatif. Haha. Cuma menurut gue jangan sampai nggak dateng ke TPS. Karena suara lo bisa aja dipakai sama oknum-oknum tak bertanggung jawab. Kalau nggak ada calon yang menurut lo cocok, tetap aja datang ke TPS trus coblos kertas suara tapi tidak sesuai dengan ketentuan pencoblosan. Kan ada tuh ketentuannya mesti coblos apanya atau suara nggak dianggap sah. Yang penting jangan absen sih. Kalau gue.” – Shelli, 26 tahun, karyawan swasta-
9. Membicarakan solusi, memilih untuk abstain memang tidak menyelesaikan apa-apa. Tapi semuanya kembali pada diri sendiri, sebab protes bisa dilakukan dengan berbagai cara
“Meski nggak nyelesaiin masalah, tapi tidak memilih juga merupakan penggunaan hak pilih” – Bram, 25 tahun, karyawan swasta –
Menjadi warga negara demokrasi memang seharusnya dibekali dengan pengetahuan politik yang mumpuni. Sayangnya, masih banyak pemilih yang sebenarnya tidak tahu apa-apa soal politik ataupun calon yang ditawarkan. Oleh karena itu pintu berkembangnya money politics terbuka lebar. Atau meski tanpa kemampuan, dia yang sudah terkenal atau mungkin punya modal tampang bisa saja mendulang kemenangan.
Golongan putih bisa muncul karena berbagai hal. Pertama, kurangnya informasi mengenai proses pemilihan. Kedua, sikap apatis pada segala hal berbau politik sebab politik sudah diidentikan dengan hal-hal negatif. Ketiga, sikap skeptis dan rasa putus asa karena percaya memilih ataupun tidak memilih kondisinya bakal sama saja. Maka dari itu walaupun alasannya beragam, tingginya angka golput bisa dilihat sebagai warning atas kondisi politik yang memprihatinkan.
Nah kalau menurutmu bagaimana, guys?