Baru-baru ini seorang politisi Malaysia menuai kontroversi setelah mengatakan korban perkosaan sebaiknya menikahi pemerkosanya. Kompas melaporkan bahwa politisi bernama Shabudin Yahaya, seorang anggota dari koalisi Barisan Nasional menganggap jika korban menikahi pemerkosanya, masa depannya akan lebih terjamin. Setidaknya secara finansial. Namun tetap saja menikahkan korban dan pelaku pemerkosaan tidak akan menyelesaikan masalah. Boro-boro menyesaikan masalah, solusi macam ini justru terkesan bodoh, konyol, dan tentunya sama sekali tidak adil bagi korban.
Mirisnya meskipun tahu bahwa solusi itu tidak benar, nyatanya memang ada sejumlah kasus perkosaan yang akhirnya berujung seperti itu. Agar tak menanggung malu dan tak menjadi aib keluarga, korban perkosaan ada yang rela dinikahkan dengan pelakunya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Apa iya tidak ada solusi yang lebih baik dibandingkan lebih mendzalimi orang yang jadi korban tindak kriminal? Yuk bahas bareng sama Hipwee News & Feature.
Pemerkosaan itu kasus kriminal, tanggung jawabnya harus diselesaikan di pengadilan. Bukan dengan ‘cuma’ menikahi si korban
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” KUHP Bab XIV pasal 285.
Dari ayat KUHP tersebut, sebenarnya sudah bisa disimpulkan bahwa pemerkosaan adalah tindakan bejat yang sudah termasuk dalam ranah kriminal. Kutipan salah satu pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XIV mengenai kejahatan terhadap kesusilaan tersebut adalah landasan yang kuat bahwa setiap kasus perkosaan harusnya ditangani secara hukum. Bukan dengan cara menikahkan korban dengan pelakunya seperti yang diusulkan anggota DPR Malaysia itu.
Menikahkan korban dengan pelaku mungkin akan menghindarkan masalah jangka pendek seperti menutupi aib keluarga. Namun dalam jangka panjang, menikahkan korban dan pelaku pasti akan menimbulkan masalah baru.
Melegalkan cara penyelesaian kasus perkosaan dengan menikahkan pelaku dan korban sama halnya dengan memberi lampu hijau untuk perkosaan. “Perkosa aja, toh ntar kalau dinikahi bisa damai kan” gitu kasarnya
Meskipun sudah banyak yang tahu bahwa menikahkan korban dan pelaku perkosaan tidak akan menyelesaikan masalah, namun masih saja ada orang yang menyarankannya. Padahal kalau mau berpikir logis, menyarankan agar korban dan pelaku perkosaan dinikahkan sama halnya dengan memberi saran “kalau cintamu ditolak, perkosa saja!” atau seakan memberi lampu hijau “perkosa aja, toh kalau mau dipidana tinggal dinikahin aja”
Meski tak secara langsung menyarankannya, namun bisa saja loh hal tersebut terjadi. Kalau pada akhirnya korban dan pelaku perkosaan akan dinikahkan, hal ini akan sangat rawan untuk dimanfaatkan! Negara-negara seperti Lebanon, Maroko, Turki, India, Denmark dan bahkan di Indonesia sendiri banyak oknum pemerkosa yang lolos dari jeratan hukum cuma karena mereka bersedia menikahi si korban. Hal seperti ini tak boleh lagi dibiarkan atau bahkan sampai jadi budaya.
Tak ada jaminan dengan menikahi si korban maka semua masalahnya terselesaikan. Banyak kasus setelah menikah, korban malah disiksa
Bayangan bisa hidup tenang dan bahagia setelah dinikahkan memang faktanya cuma sekadar angan. Alih-alih dinafkahi dan dibahagiakan, korban perkosaan justru kerap mendapat siksa dari sang suami yang notabene adalah pemerkosanya kapan waktu itu. Bahkan, baik siksaan seksual, fisik maupun verbal yang dilancarkan jauh lebih hebat dari saat memperkosa dulu. Berlindung di balik statusnya sebagai suami yang sah, si pemerkosa merasa punya hak untuk berbuat sesukanya.
Bahkan ada juga yang sampai bunuh diri karena saking tak kuat hidup berdua dengan orang yang pernah menghancurkan masa depannya. Kalau begitu, menikahi korban bukan solusi
Tak jarang pada akhirnya banyak korban perkosaan yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya meski sudah dinikahi oleh si pelaku. Mereka tak kuat menanggung siksaan batin berupa aib dan malu. Pun demikian juga dengan siksaan fisik dan seksual yang terus diberi oleh si pelaku perkosaan yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Kasus paling menggemparkan dunia terjadi di Maroko pada tahun 2012 silam. Seorang gadis 16 tahun bernama Amina Filali bunuh diri dengan menenggak racun setelah ia tak kuasa menahan siksaan dari sang suami yang notabene adalah pemerkosanya beberapa bulan lalu. Tak cukup di situ, banyak kasus serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Korban perkosaan dipaksa menikahi pemerkosanya dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri karena tak kuat menahan siksa. Dengan banyaknya kasus serupa, seharusnya dunia sudah bisa membuka mata soal bodohnya ‘solusi’ ini!
Biar bagaimanapun juga, kasus perkosaan adalah kasus pidana. Hukumannya penjara hingga 12 tahun lamanya kalau di Indonesia. Jika dengan menikahi korban lantas kasusnya selesai begitu saja, sama artinya kita menganggap sebegitu ringan dan murah kehormatan seorang wanita! Kalau misal saudara atau gadis yang kamu sayang menjadi korbannya, apa iya kamu akan merelakan kasusnya hilang begitu saja? Tentu tidak!