Walaupun sama-sama berada di Asia, Indonesia dan Korea Selatan punya prinsip dan budaya terkait pernikahan yang berbeda. Saat banyak anak muda di negara kita memutuskan untuk menikah dan melanjutkan keturunan, lain halnya dengan di Korsel. Sebagian besar pemuda-pemudi di sana lebih memilih melajang saja. Bahkan di sana secara terang-terangan muncul gerakan feminis bernama “4B”. Cewek-cewek yang tergabung dalam gerakan ini menolak menikah dengan beragam alasan.
Kecenderungan ini membuat Korsel terancam “minus” secara demografi. Sebab kalau nggak ada yang mau menikah dan mempunyai anak, jumlah penduduknya bakal terus menipis. Korsel akan dipenuhi orang-orang tua dan kehilangan generasi yang produktif. Memang, bagaimana sih penganut gerakan 4B ini memandang sebuah pernikahan? Dan kira-kira apa ya solusi dari pemerintah? Yuk, simak selengkapnya.
Di Korea Selatan, muncul kelompok feminis radikal bernama “4B”. Mereka menolak untuk berkencan, menikah, melakukan hubungan seksual, dan mempunyai anak
“Saya wanita normal yang nggak lagi tertarik buat menjalin hubungan dengan pria. Soalnya menurut saya, wanita bakal mengalami lebih banyak kerugian daripada keuntungan kalau menikah,” kata Bonnie Lee, wanita berusia 40-an tahun di Korsel, seperti dikutip dari New Straits Times.
Lee bukanlah satu-satunya perempuan yang pesimis pada pernikahan. Bersama sekitar 4.000 perempuan Korsel lainnya, mereka bergabung dalam kelompok feminis radikal bernama “4B” atau “Four Nos”. Mereka memegang prinsip no dating, no sex, no marriage, no child-rearing yang berarti nggak mau berkencan, berhubungan seks, menikah, dan merawat anak. Para perempuan ini menolak untuk mengikuti tuntutan sosial di masyarakat. Sebab, tuntutan tersebut dinilai kurang menguntungkan atau kurang sesuai bagi mereka.
Para perempuan di Korea Selatan enggan menikah karena takut dikekang beban ganda. Sebab menjadi ibu sekaligus pekerja adalah hal yang sangat berat
Walaupun lebih maju dari Indonesia, ternyata perempuan di Korsel tetap dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga. Hal tersebut dibuktikan melalui survei pada tahun 2006. Dilansir dari Salon, 46% perempuan Korsel berusia 25-54 tahun akhirnya menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Para istri ini melakukan lebih dari 80% pekerjaan rumah tangga, sedangkan suaminya hanya melakukan kurang dari 20%. Padahal banyak di antara perempuan itu yang harus bekerja di luar rumah juga.
Dilansir dari Korea Herald, ada seorang wanita di Korsel bernama Kim Eun-jin yang menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita karier. Setiap hari dia harus bangun pukul 04.30 untuk berangkat kerja dan pulang pukul 20.30. Sebab dia harus melakukan perjalanan panjang yang melelahkan. Setelah sampai di rumah, Kim masih harus mengurus kedua anaknya dan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Rutinitas tersebut membuatnya sangat kelelahan.
“Kalau saya bisa menjalani kehidupan lain, saya ingin hidup sebagai wanita lajang. Sebetulnya saya nggak menyesal karena udah menikah. Tapi saya nggak ingin mengulanginya lagi. Sebab menurut saya, terkadang menjadi ibu rumah tangga sekaligus pekerja itu sangat sulit,” jelas Kim.
Gaji yang pas-pasan juga membuat anak muda di Korea Selatan memilih jadi jomlo daripada menikah. Membiayai diri sendiri aja sulit, gimana mau membiayai keluarga?
Dilansir dari Tirto, upah tahunan di Korsel pada tahun 2017 hanya berjumlah 35,5 juta won atau $31.650. Gaji yang pas-pasan itu membuat para anak muda di Korsel enggan untuk menikah. Sebab biaya pernikahan semakin nggak masuk akal. Biaya sewa gedung, katering, hadiah untuk mertua, dan berbagai kebutuhan lainnya sulit dijangkau dengan gaji mereka. Dampaknya, 20% gedung pernikahan di Seoul kini gulung tikar.
Akibat anak-anak mudanya enggan menikah, Korea Selatan bisa mengalami penurunan populasi secara drastis. Diperkirakan negara ini bakal dipenuhi orang-orang yang sudah tua
Jumlah pernikahan di Korsel pada tahun 1996 mencapai 434.900. Jumlah tersebut menurun jadi 257.600 pada satu dekade lalu. Tingkat kesuburan di Korsel juga turun menjadi 0,98 pa tahun 2018. Jumlah tersebut jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi agar tetap stabil. Akibatnya, diperkirakan penduduk Korsel yang saat ini berjumlah 55 juta bakal turun mejadi 39 juta pada tahun 2067. Saat itu, setengah dari populasinya bakal berusia 62 tahun atau lebih. Gawat juga ya! Bisa-bisa Korsel kekurangan tenaga produktif.
Untuk menanggulanginya, pemerintah Korea Selatan berusah menggelar ajang perjodohan dan memberi subsidi pada pasangan yang mempunyai anak
Sejumlah pemerintah lokal menyelenggarakan sosialiasi dan acara perjodohan. Sejak tahun 2005, pemerintah juga telah mengeluarkan 36 triliun won untuk membantu pasangan yang baru mempunyai anak. Ada subsidi pengasuhan anak sebesar 300.000 won per bulan dan berbagai insentif lainnya untuk keluarga muda. Sayangnya, upaya tersebut dinilai belum memberi dampak yang signifikan. Sebab keengganan untuk menikah telah berakar kuat di benak anak muda Korsel.
Kira-kira, gimana ya nasib Korea Selatan di masa depan? Padahal kalau suatu negara ingin terus maju, ‘kan harus didukung juga dengan sumber daya manusia yang memadai. Apa jadinya kalau beberapa tahun ke depan, para pekerja yang sekarang sudah pada pensiun, sedangkan mereka banyak yang nggak punya keturunan. Hmm… apakah pemerintah bakal “impor” tenaga kerja?