Menjelang tahun baru 2021 kabar baik datang dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Alat pendeteksi Covid-19 bernama GeNose yang dibuat oleh para ahli UGM baru saja mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan siap dipasarkan. Terobosan ini jadi semacam titik terang penanganan pandemi yang lebih baik di tahun 2021.
Diberitakan dalam laman resmi UGM, ketua tim pengembangan GeNose, Kuwat Triyana mengatakan setelah dapat izin edar regulator dalam hal ini Kemenkes, GeNose akan bisa mulai membantu penanganan Covid-19 melalui screening cepat. Alat tersebut diyakini lebih dapat diandalkan dalam hal screening ketimbang PCR yang cukup mahal dan lambat dalam memproses hasil. Nah, lantas bagaimana cara kerja alat bikinan para ahli UGM ini? Berikut Hipwee telah rangkum penjelasannya.
ADVERTISEMENTS
GeNose mampu mendeteksi Covid-19 hanya dengan embusan napas. Hasilnya bisa diketahui dalam waktu tiga menit saja
Secara sederhana, GeNose merupakan sebuah alat berbasis teknologi kecerdasan buatan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi virus corona, dengan cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC) yang terbentuk lantaran adanya infeksi Covid-19 yang keluar bersama napas. Oleh sebab itu, orang yang akan diperiksa menggunakan GeNose terlebih dahulu harus menghembuskan napas ke dalam kantong khusus. Setelah itu, VOC yang didapat di dalam tabung akan diidentifikasi melalui sensor yang kemudian datanya akan diolah dengan bantuan kecerdasan buatan.
Nah, selain mampu mendeteksi Covid-19 hanya melalui embusan nafas, GeNose juga mengusung integrasi alat dengan sistem komputasi awan yang memungkinkan hasil diagnosis didapat secara real-time yakni sekitar tiga menit. Keunggulan lain GeNose, seperti telah disinggung di atas adalah lebih murah. Dibanding test PCR, biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan menggunakan GeNose hanya sekitar Rp15-25 ribu. Selain itu, pengambilan sampel tes yang hanya menggunakan embusan napas juga dirasa lebih nyaman dibanding usap atau swab.
Peneliti UGM yang terlibat dalam penelitian, Dian Kesumapramudya Nurputra seperti dikutip dari Kumparan, lebih lanjut menjelaskan GeNose dapat bekerja secara paralel melalui proses diagnosis yang tersentral di dalam sistem. Oleh karenanya, validitas data dapat terjaga untuk seluruh alat yang terkoneksi. Hal ini jadi penting karena GeNose artinya dapat digunakan dan dioperasikan oleh masing-masing tenaga medis, tapi datanya terkumpul secara pasti di satu tempat. Satu alat GeNose juga disebut mampu melakukan sekitar 120 pemeriksaan per hari dengan estimasi waktu pemeriksaan selama 2-3 menit.
ADVERTISEMENTS
GeNose dibuat berdasarkan pertanyaan apakah ada perbedaan bau napas dari orang terinfeksi Covid-19 dengan orang yang nggak terinfeksi
Pengajar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM, Bambang Nurcahyo Prastowo yang nggak terlibat dalam penelitian GeNose seperti dikutip dari Kumparan, mengatakan inisiatif pembuatan alat tersebut berangkat dari pertanyaan apakah bau napas orang yang terinfeksi Covid-19 berbeda dengan orang yang nggak terinfeksi. Nah, untuk menjawab itu, dibuatlah alat pembaca bau napas menggunakan sejumlah sensor gas.
Hasil dari alat yang belakangan dikenal dengan nama GeNose mengungkap napas orang terinfeksi Covid-19 memang bisa dibedakan dengan data orang yang nggak terinfeksi. Akurasi alat tersebut mencapai 97 persen, dengan uji profiling menggunakan 600 sampel data valid di Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid-19 Bambanglipuro, Yogyakarta. Selain itu, hasil perbandingan tes dari GeNose dan PCR juga memiliki 93 persen kecocokan. Artinya, hasil tes yang dikeluarkan GeNose punya akurasi yang nyaris sama dengan PCR.
ADVERTISEMENTS
Epidemiolog bilang GeNose nggak bisa digunakan untuk menggantikan PCR
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman seperti dilansir dari Kompas, mengapresiasi upaya merespons pandemi seperti dengan kehadiran GeNose. Namun, ia mengatakan dalam kondisi saat ini GeNose nggak bisa menggantikan tes PCR seutuhnya untuk mengetahui secara pasti kasus konfirmasi. Untuk itu, ia mengingatkan agar GeNose harus tetap dimonitor dan diperbaiki akurasinya kendati sudah mengantongi izin dari Kemenkes. Menurut Dicky, analisis terkait uji napas seperti diusung GeNose ini sangat kompleks, sebab terdapat ratusan komponen yang keluar dari mulut termasuk bakteri di saluran pernafasan.
“(GeNos) ini sifatnya untuk screening dini, seperti thermo gun cuma ini jauh lebih sensitif, tapi tidak bisa menggantikan PCR, rapid test antibodi atau antigen,” kata Dicky kepada Kompas.
Lebih lanjut Dicky menegaskan bahwa bagaimanapun PCR merupakan instrumen deteksi utama, baru kemudian rapid test antigen. Tapi setidaknya kehadiran GeNose ini bisa memudahkan screening dini dalam jumlah banyak dan murah, agar orang yang terindikasi positif melalui alat ini bisa langsung memastikan kondisinya dengan PCR.
Nah, saat ini GeNose telah masuk proses produksi massal gelombang pertama sebanyak 100 unit, dengan pendanaan dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemristek/BRIN). Satu unit GeNose diprediksi akan dijual seharga Rp40 juta, sementara untuk biaya tes menggunakan GeNose berkisar Rp15-25 ribu saja.
Dengan 100 unit pertama ini, Kuwat mengatakan bisa melakukan total tes kepada 12 ribu orang per hari apabila GeNose didistribusikan secara tepat sasaran, yakni di bandara, stasiun kereta, dan tempat keramaian lainnya seperti rumah sakit. Hingga akhir Februari 2021, ia menegaskan GeNose ditargetkan sudah tersedia sebanyak 1.000. Dengan ini artinya, Indonesia dapat menunjukkan jumlah tes Covid-19 per hari terbanyak di dunia yakni sebanyak 1,2 juta orang per hari.