Masih ingat ‘kan kemarin gimana hebohnya Nia Ramadhani dan geng-nya sampai pergi ke Singapura untuk nonton sekuel baru film Fifty Shade of Grey? Diadaptasi dari novel berjudul sama, kisah seorang gadis polos mengeksplorasi batasan seksualnya ini langsung jadi fenomena dunia. Mungkin itulah kali pertama gaya hidup Bondage & Discipline, Sadism & Masochism (BDSM), disoroti khalayak luas. Secara sekilas, BDSM lebih banyak dikenal sebagai bentuk penyimpangan seksual karena pelakunya menyukai tindak kekerasan ketika berhubungan intim. Tapi sebenarnya banyak hal yang belum diketahui orang awam tentang gaya hidup ini.
Banyak orang yang menjalani kehidupan seksual seperti ini, mengaku menemukan kebebasan tersendiri di luar norma yang biasa diterima masyarakat. Seperti kisah yang diangkat dalam film Fifty Shades of Grey, ada juga sejumlah orang yang menganggap BDSM itu romantis. Tentunya pembahasan masalah BDSM di Indonesia masih sangat jarang, bahkan pastinya tergolong tabu. Tapi jika kamu masih penasaran dengan pilihan gaya hidup yang diangkat dalam cerita Fifty Shades of Grey ini, baca deh ulasan Hipwee News & Feature ini.
BDSM bisa diartikan sebagai kegiatan alternatif seksual yang melibatkan suatu permainan peran, yaitu antara budak dan tuan
Dari arti kata per katanya saja sudah cukup menjawab apa sejatinya BDSM ini. Bondage berarti perbudakan, discipline menjadi disiplin, sadism atau sadis sebagai orang yang mendapat kepuasan seksual dengan cara menyiksa, dan masochism yaitu orang yang mendapat kepuasan seksual jika mengalami penyiksaan. Nampak tak masuk akal, tapi mereka yang melakukannya mengklaim bahwa aktivitas ini tak seseram dan seaneh yang orang awam bayangkan.
Ada sebuah roleplay (permainan peran) di sini, yakni satu orang sebagai tuan yang menjadi dominan dan budak yang menerima ‘penyiksaan.’ Si budak yang diposisikan sebagai individu yang kehilangan kuasa atas tubuh dan pikiran. Dan Si Tuan benar-benar memegang kontrol atau kendali atas semua kegiatan. Sekilas aktivitas satu ini nampak menakutkan dan sering disebut sebuah penyimpangan. Meskipun begitu, sebenarnya ada banyak aturan keamanan juga di dalamnya.
Dalam pelaksanaannya, Si Budak ‘disiksa’ dan dibatasi pergerakannya sehingga tidak berdaya. Duh begini kok ada yang mau ya?
Hambatannya bisa sesederhana dengan mengenakan pakaian sangat ketat atau korset. Bisa juga berupa sepatu highheels dengan ketinggian tungkak yang sangat tinggi hingga kaki si pemakai hampir membentuk sudut 90 derajat dengan lantai. Bahkan tidak jarang dengan menggunakan alat bantu yang super ekstrem macam tali, rantai dan borgol.
Setelah Si Budak tidak berdaya, Sang Tuan akan memberikan berbagai perlakuan sadis. Bisa dengan menggelitiki, menjepit bagian tubuh tertentu dengan bantuan alat, hingga memukul dan mencambuk. Intinya, BDSM menjadi serupa hobi bagi orang-orang yang menginginkan variasi lain dalam melakukan suatu hubungan seksual. Karena pasalnya, penikmatnya justru mengaku lebih terangsang ketika mendapat siksaan dari lawan mainnya.
Salah satu penyebab dari penyimpangan ini adalah trauma. Apa iya semua orang yang masa kecilnya diperlakukan dengan disiplin yang ketat dan keras, saat dewasa cenderung menyukai BDSM?
Mitosnya, semua yang berperan sebagai tuan atau pihak dominan pasti memiliki masa kecil yang abusive atau penuh kekerasan. Begitulah yang tergambar dalam novel dan film Fifty Shades of Grey. Christian Grey digambarkan sebagai tipe dominan karena memiliki trauma di masa kecilnya. Nah, trauma masa kecil ini lucunya dianggap sebagai ‘pembenaran’ secara psikologis untuk memicu seseorang agar jadi dominan di tempat tidur.
Sebaliknya, banyak orang menilai kalau semua yang menjadi budak atau pihak penurut cenderung orang-orang yang lemah dan memiliki harga diri rendah. Padahal, justru pihak inilah yang lebih kuat dan memegang kendali dalam BDSM. Sebab, hanya individu dengan mental kuatlah yang mampu melepas kontrol dan memberikan diri seutuhnya kepada pasangan dominannya. Tipe penurut memiliki pemikiran, jika didominasi dan menjadi tak terkontrol justru membuat mereka merasa sangat seksi.
Ada tiga level dalam BDSM, soft, medium dan hard. Masing-masing didasarkan pada seberapa ‘nikmat’ siksaannya
Untuk level soft, biasanya dilakukan para pemula atau orang yang baru mencoba BDSM. ‘Siksaan’ yang dilakukan biasanya hanya pada pembatasan gerak pasangan. Bisa hanya ditutup matanya dengan scarf atau diikat kedua tangannya. Tujuannya jelas untuk membuat dia yang berperan sebagai budak tidak berdaya, sehinggak pihak satunya bebas mengeksplorasi setiap jengkal tubuh pasangan tanpa perlawanan.
Pada level medium sudah mulai dikenalkan bentuk reward and punishment. Kalau si penurut gagal melakukan perintah si dominan, maka dia akan mendapat hukuman seperti dijepit bagian sensitifnya misalnya. Tapi kalau berhasil bisa diberi hadiah seperti berhak mendapatkan orgasme. Level terakhir ialah hard, tingkatan level hukuman dan hadiah di sini sudah lebih tinggi lagi. Hukumannya bisa sekstrim tamparan atau cambukan yang bisa melukai pasangan.
Posisi paling terkenal dalam BDSM ialah Hogtie, yaitu dengan kedua tangan dan kaki yang diikat. Tak melulu soal rasa sakit, aktivitas ini juga butuh percaya diri tinggi
Hogtie dilakukan dengan mengikat kedua tangan budak ke belakang menurun mendekati kaki. Sementara kaki juga diikat dalam posisi naik mendekati pantat. Selain itu, posisi tangan pun diikat pada sebuah tiang atau penyangga lainnya. Bayangkan saja, betapa sulitnya aktivitas seks yang satu ini. Butuh alat dan rasa percaya diri tinggi diantara para pelakunya. Sebab, mereka harus secara sadar dalam melakukan permainan ini, bukan terpaksa karena permintaan salah satunya saja.
BDSM pun tak melulu tentang rasa sakit, tapi tentang pertukaran posisi atau kekuatan antara si dominan dan penurut yang tak selalu melibatkan rasa sakit dan malu atau perasaan lainnya yang membuat pelakunya tidak nyaman. Lalu, kenapa rasa sakit jadi hal paling populer dalam aktivitas ini? Jawabannya satu, karena rasa nyeri atau sakit ini bisa memompa adrenalin kedua pelakunya. Utamanya bagi si penurut atau budak, rasa sakit justru menimbulkan sensasi lebih intens, termasuk kenikmatan.
Selain butuh kesadaran, dalam melakukan BDSM juga butuh keamanan. Sebelum melakukannya, dua pihak harus saling bersepakat dulu dan berani berkomitmen tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kalau si penurut sudah merasakan adanya kekerasan berlebih yang menyakiti dirinya, dia harus berani berkata tidak dan menyudahi permainan ini. Mengobrol juga jadi elemen penting sebelum dan sesudah melakukan BDSM. Uniknya lagi, BSDM ini tidak selalu berakhir pada hubungan seksual lho. Pasalnya proses ‘penyiksaan’ itu sendiri terkadang sudah bisa memuaskan.