Kasus yang tengah menimpa Galih Ginanjar dan Fairuz, mantan istrinya, rupanya hingga saat ini masih menjadi topik panas yang menjadi perbincangan warganet di media sosial. Beberapa waktu yang lalu, pemberitaan tersebut mencuat setelah Ginanjar bersama dengan Rey Utami –dalam konten vlog miliknya– melakukan sebuah perbincangan. Dalam kegiatan itu, Rey menanyakan kepada Ginanjar perihal keputusannya berpisah dengan Fairuz.
Tidak diketahui apa alasannya, Ginanjar tiba-tiba mengungkapkan bahwa perceraiannya dengan Fairuz adalah karena selama mereka bersama, Ginanjar hanya disuguhi ‘ikan asin‘. Nggak cukup sampai di situ, ia bahkan mengatakan hal-hal tentang Fairuz yang sebenarnya bersifat privasi dan nggak selayaknya untuk dibicarakan di depan umum, apalagi melalui media sosial. Sebenarnya masalah ‘ikan asin’ ini nggak hanya ramai saat kasus ini aja lo, dulu ketika kasus “Agni UGM” pernah muncul juga tuh kata-kata ‘ikan asin’.
Ucapannya yang menyebut ikan asin dan perkataannya yang menyinggung hal pribadi tersebut sontak membuat marah warganet, nggak terkecuali juga pihak keluarga Fairuz. Publik menilai bahwa ucapannya tersebut nggak cuma bakalan melukai hati Fairuz, namun juga seluruh perempuan akan merasa direndahkan.
Kalau dicermati sebenarnya penggunaan kata ikan asin untuk merendahkan pihak perempuan ini sering banget lo terjadi, kenapa sih? Apa karena kalau laki-laki dianggap kucing liar terus perempuan dianalogikan sebagai ikan asin?!
Ikan sebagai perumpamaan yang ditujukan kepada perempuan untuk merendahkan ternyata nggak hanya kali ini saja terdengar. Tengok saja ke belakang tentang kasus-kasus yang berkaitan dengan pelecehan kepada perempuan, banyak banget ‘kan sebutan “ikan asin” itu ditujukan untuk mereka? Apa karena dalam hal ini laki-laki biasanya dianalogikan sebagai kucing liar lantas perempuan dianggap sebagai ikan asinnya?
Itu baru merendahkan dengan satu analogi saja lo, belum dengan yang lainnya, misalnya permen (candy), buah, dan lain-lain. Semua itu tetap bertujuan untuk satu hal: merendahkan perempuan. Menyedihkannya lagi ketika ternyata banyak juga dari kaum perempuan maupun kaum laki-laki yang tidak masalah jika mereka disamakan dengan benda-benda tersebut.
Masih ingat nggak dengan kasus Agni kemarin? Mahasiswi UGM korban pelecehan saat KKN itu juga dianalogikan sebagai ‘ikan asin’ lo…
Buat kamu yang mengikuti perkembangan kasus Agni kemarin, tentu tahu kalau ada pihak yang sempat mengomentari kasus Agni dengan pernyataan:
Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa jawa), pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan.
Kamu nggak aneh kok kalau merasa risi dengan ungkapan tersebut. Ya gimana nggak risi, masa iya perempuan disamakan dengan ikan asin, yang seolah-olah saat disantap “kucing” (atau dalam konteks ini laki-laki) nggak bisa melawan atau berontak? Kenapa juga analogi macam ini lebih banyak didiamkan dan dianggap normal di kehidupan masyarakat ya?
Mau sampai kapan manusia dianalogikan dengan istilah semacam itu? Apa memang relevan? Kayak kita ini nggak punya akal sehat dan perasaan aja~
Disadari atau tidak, menganalogikan manusia dengan benda-benda seperti ini sebenarnya adalah bentuk pemakluman kita terhadap pelecehan yang ada baik ke kaum perempuan maupun laki-laki. Tapi faktanya, hal itu tetap aja dilakukan oleh kedua belah pihak. Parahnya, fenomena seperti ini seperti menular, ketika satu orang memberikan pernyataan tersebut, di belakangnya akan ada orang lain yang bakal meng-iyakan.
Apakah fenomena analogi ikan asin ini akan berlangsung selamanya? Masa sih kalian santai-santai aja disamakan dengan benda-benda mati atau hewan di atas? Padahal ‘kan manusia punya akal sehat, punya perasaan, dan hal-hal lainnya yang nggak dimiliki oleh makhluk maupun benda-benda lain tadi.
Memang benar kata Aprilia Kumara dalam tulisannya di Mojok:
Hubungan manusia itu memang selalu merepotkan, tidak sesederhana analogi kucing dan ikan asin. Atau malah permen tanpa bungkus yang dirubungi lalat dan semut.
Sebab sebenarnya, merendahkan kaum perempuan dengan menyamakan mereka dengan benda-benda mati dan hal lain, sama saja kita merendahkan derajat ibu kita yang telah melahirkan kita ke dunia. Udah deh, mulai sekarang nggak perlu lah diterus-terusin kebiasaan yang kayak gitu. Nggak susah kok buat jadi orang yang bisa menghargai orang lain.