Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 merebak di Indonesia. Sejak awal, pemerintah telah menjalankan berbagai program termasuk untuk perlindungan sosial. Namun, bisa dibilang penyaluran program tersebut belum berjalan secara maksimal.
Untuk itu, pada tahun 2021 ini pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) bertekad untuk dapat menjalankan program perlindungan sosial yang inklusif, efektif, responsif sekaligus adaptif. Hal tersebut dipaparkan dalam webinar ‘Perlindungan Sosial dalam Respon COVID-19: Perlindungan dan Layanan Sosial yang Inklusif’ yang diselenggarakan oleh UNICEF pada Selasa (23/3/2021).
ADVERTISEMENTS
Integrasi data, kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan mitra Kemensos dan terobosan adalah kunci perlindungan sosial yang inklusif
Menteri Sosial Tri Rismaharini menyampaikan untuk dapat memastikan perlindungan sosial yang inklusif dibutuhkan setidaknya tiga hal utama, meliputi integrasi data, kolaborasi antara Pemerintah Daerah dan mitra Kemensos serta terobosan seperti untuk memastikan anak-anak bisa tetap aktif meski menjalankan sekolah dari rumah.
“Kita harus mencari terobosan supaya anak-anak bisa beraktivitas. Jangan sampai (pandemi) mengubah anak-anak kita menjadi individu yang egois karena kurangnya sosialisasi dengan teman-temannya,” kata Risma dalam webinar, Selasa (23/3/2021).
Lebih lanjut mengenai perlindungan sosial di tahun 2021, ia mengatakan kalau Kemensos dalam waktu dekat akan menyiapkan berbagai program. Di antaranya pengadaan kursi roda elektrik untuk mendukung aktivitas anak-anak dengan kebutuhan khusus, dan menyiapkan program berbasis sandiwara untuk mendukung pengetahuan dasar anak-anak.
“Saya ingin membuat semacam sandiwara yang bercerita tentang cara memelihara ikan atau membuat kue. Kemensos juga sedang menyiapkan kursi roda elektrik untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus,” lanjut Risma.
ADVERTISEMENTS
Tantangan dan upaya Kemensos untuk memastikan perlindungan sosial yang inklusif
Menyambung Risma, Direktur Jenderal Linjamsos, Pepen Nazaruddin menjabarkan tantangan yang tengah dihadapi untuk mewujudkan perlindungan sosial yang inklusif adalah perbaikan insfrastruktur untuk transaksi keuangan khususnya di daerah sulit, literasi keuangan dan perbaikan data.
“Integrasi data (memungkinkan) menjangkau penerima potensial, dan meningkatkan kemampuan pemerintah dalam hal verifikasi,” kata Pepen.
Di samping itu, ia menambahkan, Linjamsos akan tetap menjalankan program bantuan seperti perluasan sembako, peningkatan dan percepatan penyaluran bansos PKH, dan memastikan perlindungan sosial yang adaptif di seluruh siklus kehidupan tetap berjalan.
“Yang kita lakukan sebelum pandemi dan akan terus dilakukan adalah menerapkan skema perlindungan sosial yang adaptif di seluruh kehidupan. Artinya, dari mulai lahir sampai kemudian masuk lanjut usia masyarakat di-cover oleh program perlindungan sosial,” lanjutnya.
Sementara Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos, Kanya Eka Santi mengatakan ke depannya akan memastikan berjalannya arahan Mensos Risma, seperti menjadikan semua balai/loka rehabilitasi sosial sebagai representasi Kemensos, dan menyelenggarakan layanan rehabilitasi sosial yang terpadu dan terintegrasi dengan program Kemensos lainnya.
“(Selain itu) bersama UNICEF kami mengembangkan pedoman melindungi anak dari ancaman Covid-19 di level lembaga. Tujuannya sebagai acuan bagi pengurus, pengelola atau pengasuh dan anak-anak, dalam menjaga keselamatan dan kesehatan khususnya di masa darurat pandemi,” terang Kanya.
ADVERTISEMENTS
Layanan kesejahteraan sosial yang belum terintegrasi dan solusi dari level kabupaten
Bicara mengenai data yang belum terintegrasi dengan baik, Koordinator Program Covid-19, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Muchammadun mengatakan dampaknya telah terasa kepada sejumlah anak yang rentan di daerahnya. Untuk itu, ia menjelaskan kalau LPA NTB telah menjalankan beberapa inisiatif sebagai solusi.
“(Sebelumnya) 10 kabupaten di NTB belum memiliki layanan pemenuhan kesejahteraan sosial yang terintegrasi. Kami mengadakan pusat PKSAI bersama pihak-pihak terkait di lima kabupaten dan kota se-pulau Lombok dan provinsi,” jelas Muchammadun.
Melalui PKSAI, LPA NTB telah memfasilitasi sebanyak 5.089 anak rentan. Di samping itu, Muchammadun mengatakan, mereka telah menjalankan pelatihan untuk manajemen data dan manajemen kasus serta menganggarkan dana Rp1,3 milyar untuk operasional PKSAI, dan Rp8 milyar untuk perlindungan anak yang terintegrasi.
“Rekomendasi kami adalah penguatan integrasi layanan PKSAI dan penguatan peran desa sebagai community hub PKSAI dalam membantu kerentanan anak,” imbuhnya.
ADVERTISEMENTS
Temuan dan rekomendasi untuk perlindungan sosial di level provinsi dan kabupaten
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Senior sekaligus Pakar Ekonomi LPEM Universitas Indonesia, Prani Sastiono menjelaskan bagaimana program perlindungan sosial menjangkau perempuan dan anak di level provinsi dan kabupaten.
Dengan melakukan penelitian di empat provinsi meliputi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, Prani menemukan terjadi perbaikan dalam beberapa indikator perlindungan sosial, seperti terlihat pada kesejahteraan anak, penurunan pekerja anak, penurunan angka stunting, dan peningkatakan kepemilikan akte kelahiran.
Tapi meski dalam tiga tahun terakhir perlindungan sosial di empat provinsi tersebut mengalami perbaikan, Prani menekankan kepada stakeholder untuk tetap menaruh perhatian. Sebab, beberapa indikator di beberapa daerah tersebut tengah mengalami masalah.
“Seperti di NTB, indikator pendidikannya menggembirakan, tapi (angka) pernikahan anaknya mengkhawatirkan,” kata Prani.
Untuk itu ia memberikan lima rekomendasi untuk perlindungan sosial di level provinsi dan kabupaten, meliputi implementasi klasifikasi budgeting, menggunakan indikator kesejahteraan anak untuk me-review kebijakan pemda, memasukkan program perlindungan sosial anak ke dalam RPJMD, melakukan kerja sama domestik, dan meningkatkan kapasitas personel di daerah.