Sedikit-sedikit konten/ Illusration by Hipwee via hipwee.com
“Wah enak ya jadi YouTuber, upload kehidupan sehari-hari bisa dapat uang,”
“Selebgram juga, satu unggah di Instagram Story bisa puluhan juta rupiah,”
Kamu sering nggak sih dengar pernyataan di atas? Di era sekarang fenomena menjadi seorang influencer di media sosial semakin marak diidamkan banyak orang. Apalagi, dengan sisi positif yang sering kali ditampilkan media soal figur publik ini. Tanpa melihat perjuangan di belakanganya, tak sedikit yang sudah terlanjur menilai kalau jadi influencer itu pasti isinya sederet keuntungan semua. Bukan cuma dalam bentuk uang, tapi juga ketenaran yang diterima.
Nah, makanya nggak heran kalau zaman sekarang orang berlomba-lomba menghadirkan konten untuk mendapat perhatian publik. Ada banyak cara yang dilakukan, mulai dari suguhan informasi menarik, hiburan, edukasi, sampai ada juga yang memilih melalui sensasi atau kontroversi. Banyak juga yang ‘nebeng’ kasus atau berita yang sedang naik karena banyak orang yang FOMO (fear of missing out). Bahkan, demi menuai perhatian, ada juga yang mengeksekusi acara settingan. Sedihnya, kadang konten-konten yang diunggah juga nirempati.
Sebenarnya seperti apa sih pola konten settingan? Lalu, kalau kita ingin mengunggah sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan, apa yang harus kita perhatikan supaya tetap pada batasan?
ADVERTISEMENTS
Banyak masyarakat yang ingin terkenal lewat media sosial. Punya platform sendiri memang lebih menguntungkan dari segala sisi
Keuntungan punya media sosial pribadi | credit: Adem AY on Unsplash
“Siapa pun bisa menjadi bintang di era digital,” anggapan tersebut agaknya sesuai dengan zaman sekarang. Jika dahulu menjadi seorang figur publik mesti melalui perantara televisi atau agensi, kini setiap orang bisa membangun citranya sendiri melalui media sosial pribadi. Julukan selebgram hingga seleb TikTok sudah menjadi ungkapan yang umum. Tak jarang mereka yang viral di media sosial akhirnya justru diajak berkolaborasi oleh media hingga didatangkan secara khusus pada program acara televisi.
Fenomena media sosial untuk meraup cuan sudah nggak lagi diragukan. Figur publik seperti Atta Halilintar, Ria Ricis, Arief Muhammad, hingga Rachel Vennya kini sudah tak asing terdengar di telinga warganet, padahal awalnya mereka berasal dari seleb media sosial.
YouTuber bahkan bisa menjadi profesi yang menjanjikan, dikutip dari Kompas, per Juli 2021 Atta Halilintar masuk ke dalam 5 besar YouTuber Indonesia dengan penghasilan tertinggi. Diperkirakan dengan jumlah subscriber 27,7 juta, penonton akumulatif mencapai 3,40 miliar, proyeksi pendapatan per bulan suami Aurel Hermansyah ini sekitar Rp140,65 juta- Rp2,24 miliar.
Belum lagi tren artis Tanah Air yang ikut mengembangkan kariernya di dunia digital. Pesohor seperti Raffi Ahmad, Baim Wong, Deddy Corbuzier, Andre Taulany, hingga keluarga Anang Ashanty turut meramaikan fenomena ini. Pada dasarnya mempunyai platform sendiri bagi artis memang lebih menjanjikan, mereka tak perlu terpaku pada aturan televisi yang mungkin membatasi. Pun mereka bisa mengatur waktunya sefleksibel mungkin.
ADVERTISEMENTS
Membuat konten viral menjadi salah satu cara warganet bisa mendapat ketenaran dalam jangka waktu yang cepat
Penggunaan media sosial bisa membuat seseorang kecanduan. Hal inilah yang kerap kali menjadi pemicu gangguan psikologis FOMO, kecenderungan seseorang untuk membuka media sosial secara berlebihan lantaran takut tertinggal informasi terbaru. Bahkan, seakan ‘gatal’ jika tidak mengupdate dirinya dengan tren yang sedang diperbincangkan banyak orang.
Alasan inilah yang membuat konten kreator berlomba menghadirkan informasi yang kerap trending supaya mendulang rasa penasaran warganet. Jika melihat polanya, konten settingan bisa dikategorikan menjadi rangkaian seperti ini.
Konten-konten/ Illustration by Hipwee
Pertama, konten pamer kekayaan. Sebenarnya hal semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di industri hiburan Hollywood. Banyak pro kontra yang dilontarkan justru membuat nama mereka semakin tenar. Tak sedikit yang suka lantaran penonton bisa merasakan apa yang nggak bisa digapai di kehidupan nyata, layaknya jalan-jalan ke luar negeri, punya barang branded, hingga koleksi beragam mobil sport.
Kedua, ada konten yang isinya bertengkar di media sosial. Hal kayak gini sering banget kita lihat, di mana selebritas memiliki masalah yang kemudian dibawa ke ranah publik. Konten seperti ini kemungkinan besar disukai, apalagi jika melihat mayoritas warganet kita yang suka kepo dengan urusan orang, bahkan ingin terlibat di dalamnya.
Belum lagi konten cari perhatian yang bikin penonton geleng-geleng kepala. Sudah tahu akan memicu kontroversi, tapi tetap diunggah yang penting engagement semakin tinggi. Selain itu, juga ada konten prank yang diketegorikan sebagai hiburan. Lihat saja video Baim Wong yang menyamar sebagai “gelandangan” dengan penonton lebih dari 10 juta atau Ria Ricis yang melakukan hal serupa yang mendulang views di atas 4,5 juta.
ADVERTISEMENTS
Sebenarnya publik sadar jika beberapa konten memang diatur sedemikian rupa, hanya saja konten ini tetap ditonton karena rasa suka
Publik tetap menonton karena suka | Credit: ROBIN WORRALL on Unsplash
Warganet Indonesia itu nggak naif banget kok. Mereka seringnya tahu konten yang menjerumus ke pola setting-an. Namun, beberapa justru terus menikmatinya karena suka. Apalagi, kalau sudah membahas glorifikasi kemiskinan rakyat kecil. Konten seperti ini kerap kali mengunggah perasaan mereka. Ada yang iba dengan keadaan tersebut, di sisi lain juga membuat penonton jadi bisa lebih bersyukur.
Sama halnya dengan konten prank yang membuat seseorang terhibur. Menurut penulis buku Humiliation (2011), orang itu suka menonton ekspresi malu, kikuk, dan bersalah dari korban prank. Sebab, mereka tak bisa memprediksi reaksi apa yang bakal muncul dan biasanya memberi efek penasaran.
ADVERTISEMENTS
Meski demikian, akan bahaya dampaknya jika ada konten setting-an yang mengesampingkan norma
Setiap isu sekarang ini dibuat sebagai konten, etis atau tidak dijadikan nomor dua. Meski dinilai kurang berkualitas, mereka tetap jalan yang terpenting pengunjung bisa terus bertambah. Publik tentu masih ingat dengan pemberitaan kepergian Vanessa Angel dan Bibi Andriansyah.
Kala itu, muncul beragam konten dari mulai yang pilu sampai persoalan paranormal pemanggil arwah. YouTube dengan akun KI SOLEH PET menunjukkan dua orang di dalam video yang mengatakan jika mendengar suara minta tolong dari Vanessa dan Bibi.
Video kontroversial tersebut dikecam, di sisi lain juga ditonton oleh puluhan ribu orang. Hingga akhirnya, mereka menghapus dan memberikan klarifikasi rasa penyesalan. Kendati demikian, unggahan tersebut menjadi contoh bahwa di era sekarang banyak orang yang mengedepankan ego dengan mengesampingkan norma yang ada.
ADVERTISEMENTS
Maka dari itu sebagai konten kreator perlu sekali untuk memberikan batasan sebelum mengunggahnya di media sosial
Batasan dalam embuat konten | credit: Cristina Zaragoza on Unsplash
Mengikuti arus yang sedang diperbincangan banyak orang memang berpotensi mendatangkan viewers dalam jumlah yang tinggi. Tapi, apa jadinya kalau hal tersebut dilakukan sampai mengesampingkan norma yang berlaku. Untuk itu, yuk coba perhatikan lagi setiap batasannya supaya nggak ada pihak lain yang dirugikan.
Jangan membuat konten nirempati
Saking kebelet tenarnya sekarang banyak konten yang bertujuan mendulang traffic saja. Namanya media sosial pasti sudah menyangkut banyak orang. Pengungah pun perlu hati-hati apalagi kalau ada sangkut pautnya dengan orang lain.
Meski pelajaran soal etika bermedia sosial nggak digaungkan secara masif, tetapi sudah sepatutnya kita bekali diri sendiri dengan ilmu tersebut. Misalnya hindari menyebarkan foto bencana yang nggak empatik, tidak selfie di tempat yang sudah dilarang, atau menghargai setiap privasi seseorang.
Stop mengunggah konten menyinggu SARA
Konten soal perbincangan agama seseorang, berapa penghasilannya, membandingkan warna kulit, bahasa yang digunakan, sampai menyudutkan suatu suku kerap ditampilkan. Namun, itu sama sekali nggak keren, lo. Pasalnya sudah menjadi hak mereka untuk memilih dan nggak menyebarkan secara publik. Dengan konten kreator terus mengoreknya sampai dalam tentu akan melanggar ranah pribadi mereka. Lagipula, dengan banyaknya perbedaan bukankan justru membuat hidup ini semakin indah?
Memfitnah termasuk hal yang dilarang
Baru-baru ini publik dihebohkan dengan nama Sara Wijayanto yang dicatut dalam sebuah video viral di YouTube. Di sana tertulis istri Demian Aditya melakukan pemanggilan arwah aktris Vanessa Angel dan Bibi Andriansyah. Namun hal itu dibantah oleh Sara, bahkan ia berniat membawanya ke jalur hukum atas tindakan pencemaran nama baik. Publik sepatutnya perlu memahami, konten yang memuat penghinaan atau pencemaran nama baik bisa diancam pidana penjara.
Ingat bahwa setiap tindakan di media sosial ada dampaknya
Sekarang ini ramai dengan fenomena konten kreator yang mengunggah cuplikan film dalam akun media sosial. Padahal, comot suatu karya itu perlu memerhatikan Hak Cipta. Apalagi kalau mengunggah film yang seharusnya memiki website resmi untuk ditonton.
Unggahan yang bernuansa menjiplak juga pelu dihindari, setiap bentuk karya seperti gambar, teks, ilustrasi, logo, hak paten, merek dagang, mereka jasa, foto, audio, video, musik higga seluruh hak atas kekayaan intelektual yang terkait mempunyai aturan hukum tersendiri.
Lagi pula, fenomena apa-apa dijadikan konten membuat publik jadi saru membedakan mana yang asli dan hanya pura-pura. Membuat konten merupakan karya yang bisa dilakukan oleh siapa pun. Namun, dalam pembuatan juga perlu memerhatikan kemanfaatan bagi orang lain, jangan justru merugikan salah satu tokoh untuk keuntungan semata.