Sejujurnya aku bingung ketika Managing Editor kami memintaku untuk menulis sebuah tulisan pribadi semacam ini. Ya bukannya gimana-gimana, aku bingung harus nulis apa! Mau nulis prestasi juga paling banter prestasiku cuma juara lomba “kepruk kendil” pas Agustus-an (itu lho, lomba memecahkan kendi atau plastik yang diisi air). Mau nulis kisah inspiratif yang memotivasi juga sendirinya selalu kesulitan nyari motivasi buat bangun salat subuh di pagi hari.
Namun, kejadian yang sekarang lagi marak terjadi di negara ini menggugah ingatanku saat masih belajar di madrasah dan nyantri dulu.
Itu loh, kasus-kasus semacam urusan hate speech yang didasari UU ITE, saling ejek di media sosial lah, saling meng”kafir”kan lah. Hal-hal semacam itu makin hari makin sering kita temui di negara tercinta ini. Dan sejujurnya aku kok jadi takut ya dengan fenomena ini. Bukan apa-apa, yang ramai bikin opini seperti itu justru golongan yang mengaku dirinya islami.
Aku dibesarkan di keluarga yang bisa dibilang cukup agamis. Lingkungan sekitar rumah juga lumayan religius. Maklum, rumahku cuma berjarak nggak sampai 100 meter dari sebuah pesantren. Karena itu sejak kecil aku ‘dipaksa’ belajar agama oleh keluarga. Mulai dari ngaji kitab kuning hingga belajar tadarus sudah jadi makanan sehari-hari.
“Namun entah kenapa kok saat sudah gede dan melihat kondisi sosial yang isinya sekarang saling caci, kok aku merasa gagal sebagai orang islam, ya?”
Dulu saat belajar di pesantren dan madrasah, selain masalah ibadah ada dua hal utama yang sampai sekarang masih kuingat. Pertama, aku ingat betul bahwa di pesantren dulu yang paling utama bukan masalah ceramah, khotbah atau proses belajar yang di kelas. Iya, ilmunya memang penting. Namun lebih dari sekadar ceramah, proses mengajari yang sesungguhnya berada di luar jam kelas. Caranya? Ya melalui contoh dan teladan yang ditunjukkan.
Aku diajari bahwa kita harus bersifat ramah pada sesama saat proses belajar di kelas. Nah ketika di luar kelas, ustaz-ustaz yang mengajariku juga memberi contoh bahwa mereka memang berprilaku ramah. Kalian pasti tahu betul soal anjuran dalam Islam yang mengatakan bahwa “Lebih baik diam daripada berujar yang jelek-jelek”. Nah di luar kelas para ustadz juga mempraktekkannya. Ini menurutku proses belajar-mengajar yang sesungguhnya.
Pelajaran kedua adalah jangan pernah menyalahkan orang lain, apalagi sampai meng”kafir”kan. Aku ingat betul ustaz yang mengajariku dulu pernah bilang:
“Lha njenengan sinten kok wani men ngafir-ngafirno menungso? Njenengan kan sanes Tuhan. Kafir atau tidak itu urusan Allah nanti yang menilai”
(Lha kamu siapa kok berani ngatain orang lain kafir? Kamu bukan Tuhan. Urusan kafir atau tidak itu biar Allah yang menilai)
Hasilnya? Kalimat itu benar-benar terpatri dalam diriku sampai sekarang. Makanya aku dan beberapa temanku yang sama-sama pernah belajar di madrasah bareng dulu heran dengan kondisi saat ini. “Kok bisa segampang itu ya ngatain orang lain kafir?” Padahal ‘kan kita dan mereka bukan Tuhan. Selama kita masih makhluk ciptaan Tuhan, kita tak punya hak untuk melabeli orang lain dengan julukan kafir.
Nah, kembali ke kondisi Indonesia saat ini. Kalau kamu buka media sosial, Facebook, Instagram atau apa lah, kamu pasti gampang menemukan fenomena nyinyir dan kata “kafir” gampang terlontar. Bahkan yang melontarkan kalimat-kalimat tersebut ada lho yang dipandang sebagai pemuka di tengah masyarakat.
“Yang orasi dengan berteriak penuh semangat soal ‘kafir’ dan menyebar kebencian adalah sosok yang diakui masyarakat lho.” Harusnya sih apa yang mereka ucapkan itu bisa dipertanggungjawabkan. Wong nyatanya banyak orang yang percaya. Tapi kok hatiku sama sekali nggak tergerak, ya? Ini yang salah isi dan cara orasinya, atau hatiku saja yang sudah membatu, atau ini salah pemerintah? (Yang terakhir ini ngasal sih, biar banyak aja pilihannya. Heuheu)
Kalau mau jujur-jujuran sih aku sedih, galau, bimbang, gamang. Lha didikan yang kuterima dari ustaz-ustaz selama ini mengajariku soal keharusan untuk menjaga perilaku dan mengutamakan hidup damai dengan sesama manusia. Mulai dari keharusan menjaga perilaku hingga kata-kata. Nah, kalau begitu ‘kan aing jadi bingung ya saat melihat fenomena di Indonesia saat ini. Dilema, nih…
“Ji, ingat ya. Hargai pendapat orang lain. Kamu juga cuma manusia, mereka pun sama. Tidak ada yang berhak menjatuhkan status salah atau benar kepada orang lain. Itu hak prerogatif Allah yang nggak bisa kita campuri,” kata Ustaz Habib — Guru ngaji, sekaligus guru agama pertamaku pas MI dulu.
Yah… Beruntung sih pernah belajar di madrasah dan nyantri sebentar. Paling tidak meski bingung dan galau soal kondisi Indonesia saat ini, aku masih punya pegangan biar nggak asal ngikut doang. Heuheu
ADVERTISEMENTS
#HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu
Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!