Siapa sih yang tidak tahu kalau bangsa Indonesia ini terdiri berbagai macam suku, ras, dan agama? Dan pastinya semua rakyat negeri ini juga tahu dan hafal di luar kepala arti semboyan nasional kita ‘Bhinneka Tunggal Ika‘. Semboyan memang selalu lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Namun setelah mendengar berita viral belakangan ini tentang seorang pelukis di Yogyakarta yang ditolak tinggal di sebuah wilayah hanya karena perbedaan agama, kita jadi tak habis pikir dan menduga jangan-jangan banyak orang Indonesia lupa bagaimana memaknai hidup di negara yang punya semboyan ‘berbeda-beda tapi tetap satu’ ini.Â
Mungkin sebagian besar dari kamu sudah mendengar kisah Slamet Jumiarto. Sebagaimana dilansir dari Kompas, Slamet ditolak pindah ke Dusun Karet, Bantul, Yogyakarta, oleh warga setempat hanya karena ia bukan seorang muslim. Di daerah itu, ternyata ada semacam kesepakatan warga untuk hanya menerima mereka yang seiman atau muslim saja. Meskipun kasus intoleransi (mirisnya) terjadi bukan hanya sekali dua kali ini saja, tetap saja kebanyakan orang kaget ada aturan ‘segamblang’ ini.
Nah update terbaru, kasus ini kabarnya dapat diselesaikan secara damai. Larangan bagi non-muslim di dusun tersebut juga dilaporkan sudah dicabut alias dihilangkan. Tapi bagaimana ya cerita lengkapnya?! Yuk simak bareng….
ADVERTISEMENTS
Kasus ini berawal ketika Slamet berencana pindah ke rumah kontrakan barunya di Dusun Karet, Bantul, Yogyakarta. Ketika ia mengurus administrasi warga baru, ternyata ditolak hanya karena perbedaan agama
Slamet Jumiarto, seorang pelukis asal Semarang yang telah menetap cukup lama di Yogyakarta, mengalami penolakan oleh warga Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta ketika hendak pindah ke rumah kontrakan barunya di wilayah tersebut. Slamet yang penganut Katolik dan istrinya yang memeluk agama Kristen, ditolak oleh pejabat RT setempat atas dasar perbedaan agama mereka dengan agama yang dianut warga sekitar yaitu Islam. Padahal sewaktu Slamet dan pemilik rumah bersepakat tentang rumah kontrakan tersebut, perihal perbedaan agama tidak pernah disebutkan.
Sebelum akhirnya terjadi penolakan pada tanggal 30 Maret 2019 lalu, Slamet juga mengaku telah membayar sewa kontrakan selama satu tahun.
Ternyata penolakan itu berasaskan kesepakatan warga yang telah dibuat sejak tahun 2015. Dalam kesepakatan tersebut disebutkan bahwa hanya muslim yang boleh tinggal di Dusun Karet, pendatang baru pun harus muslim
Sebuah aturan yang dikeluarkan lembaga pemasyarakatan desa atau Pokgiat, menjadi dasar pelarangan Slamet dan keluarga untuk pindah ke Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul. Aturan yang bernomor Pokgiat/Krt/Plt/X/2015 tentang persyaratan pendatang baru di Dusun Karet, memang disebutkan bahwa pendatang baru harus pemeluk agama Islam sesuai dengan kepercayaan warga dusun tersebut.
Dilansir dari Tempo, Ketua Pokgiat Dusun Karet, Ahmad Sudarmi menjelaskan aturan yang disepakati warga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat itu, semata-mata hanya bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan keamanan warga. Ahmad juga mengaku tidak tahu jika aturan warga tersebut termasuk diskriminatif dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Tidak terima, Slamet pun melaporkan kejadian ini ke berbagai pihak. Awalnya ia sempat ditawari ‘jalan tengah’ untuk tinggal di sana selama 6 bulan sebelum pindah, Slamet menolaknya dengan alasan itu juga penolakan halus
Tidak terima dengan penolakan warga tersebut, Slamet berinisiatif melaporkan kejadian ini ke berbagai pihak seperti Sekretaris Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang akhirnya juga diteruskan ke Sekda Bantul. Slamet dan perwakilan warga akhirnya dipanggil untuk oleh Pemkab Bantul untuk mediasi. Masih menurut laporan Kompas, dalam mediasi itu, sempat muncul usulan ‘jalan tengah’ dari perwakilan warga supaya Slamet bisa tinggal 6 bulan di dusun tersebut. Usulan itu ditolak oleh Slamet karena menurutnya itu hanyalah bentuk penolakan halus belaka.
Slamet bersedia pindah, asalkan seluruh biaya sewa 1 tahun plus renovasi rumah diganti dan juga larangan bagi non-muslim di dusun itu dicabut. Per 1 April kemarin, aturan tersebut sudah dihilangkan
Slamet kemudian menyatakan ia bersedia pindah jika semua tuntutannya dipenuhi. Pertama ia menuntut penggantian semua biaya yang telah dikeluarkan, baik sewa kontrakan selama satu tahun maupun biaya renovasi rumah, dan juga kedua yang lebih penting adalah pencabutan aturan desa yang dianggapnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan Pancasila.
Setelah berdiskusi, pada tanggal 1 April 2019 kemarin, kelompok warga akhirnya bersepakat untuk mencabut aturan yang sifatnya diskriminatif itu. Bahkan berdasarkan keterangan Bupati Bantul Suharsono, masih dikutip dari Kompas, perangkat desa yang membuat larangan bagi non-muslim itu juga sudah minta maaf. Suharsono juga kembali menekankan komitmen bahwa di wilayahnya seharusnya tidak boleh ada diskriminasi.
ADVERTISEMENTS
Beruntung polemik ini bisa selesai dengan damai lewat dialog dan diskusi. Semoga ke depannnya, kita semua bisa semakin meresapi dan benar-benar menjalankan semboyan Bhinneka Tunggal Ika negeri ini
Satu hal yang mungkin bisa kita syukuri dari kasus ini adalah bagaimana semua orang mau berdialog dan bermusyarwarah untuk mencapai kesepakatan damai. Slamet Jumiarto sendiri menjelaskan dirinya bersikeras memperjuangkan pencabutan larangan non-muslim ini karena tidak mau ada korban-korban lain yang harus mengalami kejadian seperti dirinya. Ia juga tidak mau mempertebal cap intoleransi bagi kota Yogyakarta.
Pejabat daerah Bantul sampai Menteri Agama pun ikut buka suara dan memperingatkan bahwa tidak boleh ada larangan diskriminatif yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan Pancasila. Baik itu yang bentuknya kesepakatan warga atau aturan Pokgiat.
Kita semua perlu benar-benar berkaca sih dari kasus ini. Ternyata memang masih banyak bentuk intolerasi-intoleransi yang selama ini mungkin kita hiraukan atau mirisnya dianggap normal. Padahal bisa jadi yang dibutuhkan untuk memperbaikinya hanyalah keterbukaan untuk saling berdialog dan bermusyarah lo.