Seakan sudah menjadi rahasia umum, akhir-akhir ini tayangan televisi dipenuhi oleh tayangan sinetron India. Sebut saja Mohabbatein, Anandhi, dan Lonceng Cinta. Bukan hanya para ibu rumah tangga, agaknya para remaja dan dewasa muda pun cukup banyak yang tertarik menikmatinya.
Dari sekian banyak sinetron India tersebut, rata-rata menyuguhkan cerita cinta romantis yang memiliki garis besar cerita yang sama yaitu tentang perjodohan dan pernikahan usia dini. Tentu saja hal ini berangkat dari kenyataan yang terjadi di negeri Bollywood itu. Nah tapi jangan terlalu jauh melihat ke India, pasalnya 5 daerah di Indonesia juga punya angka tinggi terkait dengan hal ini. Berikut fakta tentang pernikahan dini di bumi pertiwi.
ADVERTISEMENTS
1. Indramayu di Jawa Barat dikenal sebagai daerah yang masyarakatnya menikah di usia belia. Kalau dulu masalah tradisi, sekarang akibat pergaulan yang kebablasan
Di Indramayu, kamu akan banyak menemukan gadis belia usia 13-15 tahun yang sudah nampak sibuk menggendong buah hatinya. Kasus pernikahan di bawah umur memang sebagian besar terjadi di wilayah pedesaan. Kalau dulu tradisi dan desakan ekonomi yang menjadi alasannya, kini lebih dikarenakan masalah pergaulan bebas. Selain Indramayu, Cianjur dan Garut juga mengalami ‘masalah’ pernikahan dini yang sama tingginya di provinsi Jawa Barat.
Dilansir dari Koran Sindo, dari sekitar 46 juta jiwa penduduk Jabar, 11 juta diantaranya merupakan generasi muda. Sementara itu, pernikahan dini yang tercatat di Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Pada 2014 ada 429 perkara, sedangkan selama 2015 terdapat 459 perkara. Kalau bahkan di usia seperempat abad, perempuan di kota metropolitan masih memikirkan masalah pendidikan dan pekerjaan, di usia belasan gadis-gadis Indramayu sudah sibuk dengan bayi dalam gendongan.
ADVERTISEMENTS
2. Belasan ribu kepala keluarga (KK) di Kabupaten Lebak, Banten pun masih melakukan pernikahan dini. Beberapa siswi bahkan memilih putus sekolah demi dinikahkan orang tuanya
Kasus anak putus sekolah alias tidak menuntaskan pendidikan sekolah dasarnya karena menikah sudah tak asing lagi di dengar di Lebak, Banten. Rendahnya pendidikan dan lilitan kemiskinan dituding sebagai penyebab maraknya tren pernikahan usia dini di sana.
Saking mengkhawatirkannya, pemerintah daerah kini telah menerbitkan peraturan daerah (Perda) Nomor 02 tahun 2010 tentang pendidikan selama 12 tahun. Perda ini sejalan dengan program Lebak Pintar yang lebih dulu dicanangkan sebelumnya. Tujuannya satu, supaya masyarakat Kabupaten Lebak ke depannya mengenyam minimal pendidikan tingkat SLTA. Dan kasus pernikahan dini bisa lebih diminimalisir lagi.
ADVERTISEMENTS
3. Di Bangkalan-Madura, menikah muda juga dianggap lazim dan sudah membudaya. Demi menjaga tradisi, banyak yang melangkah ke pernikahan meski belum merasa siap
Alasan yang sering digunakan untuk ‘melegalkan’ pernikahan dini di Pulau Garam ialah untuk mengikat keluarga yang jauh. Termasuk juga faktor membalas atau membayar hutang budi. Pernikahan usia belia di Madura juga kerap diawali dengan perjodohan sesuai kesepakatan kedua orangtua. Jadi kamu salah kalau mengira perjodohan hanya terjadi di sinetron India saja. Karena faktanya, di negaramu sendiri pun ada.
Padahal, perjodohan yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya akan menimbulkan dampak buruk bagi psikologisnya saja tapi juga kesehatannya. Ancaman depresi pun seringkali tak bisa dihindarkan. Walau pernikahan usia dini di Madura tinggi, namun ternyata tingkat perceraian di sana juga masuk kategori tinggi. Bukankah ini semacam jadi alasan untuk tak lagi meneruskan tradisi?
ADVERTISEMENTS
4. Sebuah pulau di Sulawesi Selatan yang bernama Kodingareng juga punya tradisi nikah muda. Tujuannya sederhana, agar ada yang membantu orang tua wanita dalam menjaga putrinya
Pulau yang satu ini terletak tak jauh dari kota Makassar. Menariknya, usia dalam menjalankan pernikahan akan ditentukan dengan tanggal pertama seorang anak perempuan mengalami menstruasi. Ketika orangtua mengetahui hal ini, mereka akan buru-buru mencarikan pasangan dan kemudian menikahkan anak gadisnya itu.
Hal ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa anak gadis di pulau tersebut susah menjaga diri. Karena itulah, jika telah bersuami maka akan mengurangi ‘beban’ orangtua dalam menjaga anak gadisnya. Menikahkan mereka, hingga saat ini dirasa menjadi solusi yang tepat. Dan menariknya lagi walau sudah dinikahkan, orangtua juga memberikan pengetahuan tentang KB supaya tidak memiliki anak di usia yang masih terlalu muda.
ADVERTISEMENTS
5. Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah pun memiliki ‘masalah’ serupa. Di level nasional, daerah ini merupakan daerah dengan angka perkawinan dini yang tinggi
Sejak tahun 2014 hingga 2015 lalu, angka pernikahan dini di Palu berjumlah 103 dengan usia 19 dan 18 tahun ke bawah. Sementara tahun 2015 berjumlah 113. Padahal, bukankah idealnya laki-laki menikah pada usia 25 tahun dan perempuan 21 tahun? Faktor kemiskinan disebut sebagai alasan utama, ditambah lagi maraknya pergaulan bebas di sana.
Saking tingginya angka pernikahan dini ini, kemudian membuat Pemkot Palu menandatangani MoU pengurangan angka pernikahan dini dengan Presiden RI dalam rangkaian peringatan hari anak Nasional 23 Juli 2016 lalu. Sejatinya, menikah di usia kurang dari 18 tahun memang sebuah realita yang harus dihadapi, utamanya pada mereka yang hidup di negara berkembang.
ADVERTISEMENTS
6. Dan provinsi dengan angka pernikahan dini tertinggi di Indonesia adalah Kalimantan Selatan. Mencapai 51/1000 penduduk, atau cukup jauh di atas angka rata-rata nasional
Sejatinya, angka rata-rata pernikahan dini nasional ialah 40/1000 penduduk. Di Kalimantan Selatan sendiri, kondisi ekonomi seringkali dijadikan alasan, termasuk juga masih banyaknya pasangan suami-istri yang memiliki anak hingga empat orang lebih. Di provinsi ini, Kabupaten Tanah Bumbu merupakan daerah yang paling tinggi jumlah pernikahan dininya, yaitu mencapai 85/1000 penduduk.
Selain angka yang tinggi, usia rata-rata pernikahan dini yang dilangsungkan di Kalimantan Selatan berkisar antara 10-14 tahun. Tentu saja pernikahan dini ini banyak melibatkan kaum perempuan yang tinggal di pedesaan, dengan pendidikan yang relatif rendah. Berdasar sensus yang dilakukan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kasus pernikahan dini di pedesaan jumlahnya dua kali lipat dari di kota.
Siapapun pasti sepakat, bahwa pernikahan anak ini merupakan masalah yang sangat serius. Nantinya, kaum wanita dan anaklah yang akan menanggung resiko dalam berbagai aspek. Erat kaitannya dengan pernikahan yang tidak diinginkan, hubungan seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia yang sangat muda, juga meningkatnya resiko penularan infeksi HIV serta penyakit menular seksual lainnya.
Definisi usia anak dalam UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 19 ayat 1 ialah seseorang yang usianya belum masuk 17 tahun. Sedangkan menurut UU Perkawinan No.1 tahun 1972, menjelaskan batas usia minimal menikah bagi perempuan 16 tahun dan lelaki 19 tahun. Masalah pernikahan dini juga merupakan masalah sosial dan ekonomi yang diperumit dengan budaya serta tradisi dalam kelompok masyarakat tertentu. Butuh perhatian dan upaya yang ekstra dari pemerintah untuk benar-benar menyelesaikan masalah ini.