Belakangan, saya sering dibuat penasaran, sebenarnya pemerintah tuh rajin buka media sosial nggak sih? Apakah mereka mengikuti pemberitaan di media-media massa selama ini? Kok kayaknya sambatan dan jeritan hati warganet di linimasa nggak pernah digubris ya? Soalnya dari kebijakan-kebijakan yang muncul, semacam nggak mempertimbangkan suara-suara dari mayoritas masyarakat gitu. Atau mungkin mereka tahu, tapi memilih tidak peduli? Ups…
Seperti tagar #IndonesiaTerserah kemarin, yang merupakan cerminan kekecewaan dan perasaan hopeless yang luar biasa dahsyat dari seluruh lapisan masyarakat, terutama tenaga medis, terhadap penanganan Covid-19 di Indonesia. Belum lega dengan tagar tersebut, baru-baru ini juga ramai tagar #IndonesiaAbnormal, yang (lagi-lagi) muncul sebagai ungkapan kekecewaan dan ketidaksetujuan masyarakat terhadap rencana pemerintah menerapkan tatanan kehidupan baru (new normal), di tengah situasi yang masih bikin ketar-ketir ini.
Keseriusan pemerintah semakin terpampang nyata kala Jokowi terlihat meninjau stasiun MRT di Jakarta dan mal di Bekasi beberapa waktu lalu, untuk memastikan kalau tempat-tempat itu memang siap menghadapi new normal. Tapi bentar deh, istilah ‘new normal’ kedengarannya memang keren, ya tipikal pemerintah yang hobi pakai istilah gaul lah. Tapi memangnya mayoritas masyarakat udah paham betul? Mari kita bahas lebih dalam biar kita semua tahu kalau rencana ‘new normal’ pemerintah itu justru ibarat menumbalkan orang-orang dengan imun lemah dan minim akses ke fasilitas kesehatan. Huhuhu…
Seperti yang sudah dibilang Pak Presiden sebelumnya, beliau dan jajarannya memaknai tatanan kehidupan baru itu sebagai cara untuk berdamai dengan virus corona. Iya, dan mereka mengajak kita semua untuk mencoba hidup berdampingan sama virus mematikan itu. Rada gemes sih ya diajak berdamai sama virus yang nggak terlihat dan jelas-jelas belum ada obatnya ini.
Di era new normal versi pemerintah, kegiatan ekonomi akan dibuka kembali, pusat perbelanjaan, sekolah, perkantoran, akan beraktivitas seperti sediakala. Bedanya sama dulu, nantinya akan diterapkan protokol kesehatan ketat, sampai-sampai pemerintah juga mengerahkan ribuan personel TNI dan Polri untuk berjaga. Tapi inti dari itu semua pemerintah lebih memilih mencegah ekonomi ambruk, dibanding mencegah virus corona.
Merencanakan kehidupan new normal memang nggak sepenuhnya salah. Beberapa negara bahkan sudah melonggarkan kebijakan lockdown dan kembali membuka pusat-pusat bisnisnya. Tapi, mereka baru berani melakukannya setelah kasus Covid-19 di sana menunjukkan penurunan. Kurva cenderung melandai, malah ada yang udah turun. Intinya wabah sudah berada di bawah kontrol. Itu jadi salah satu syarat WHO bagi negara yang memang pengin membuka perekonomiannya kembali.
Selain itu, syarat kedua adalah sistem kesehatan harus siap menghadapi lonjakan kasus seandainya karantina wilayah dilonggarkan. Ketika, negara harus punya sistem yang kuat yang bisa mengawasi, mendeteksi, dan menangani kasus baru serta melacak siapapun yang melakukan kontak dengan pasien positif.
Kalau ngomongin kurva nasional, garisnya masih terus naik. Setiap hari ada penambahan kasus baru. Menurut para ahli, bahkan kita belum berada di puncak kurva lo! Untuk kasus di Jakarta, kurvanya memang mulai mendatar, tapi belum turun. Kalau pun menurun, sementara jumlah orang yang dites nggak ditingkatkan, justru datanya dipertanyakan. Kapasitas tes di Indonesia juga termasuk rendah banget. Harusnya sih kita belum boleh pede walaupun angka kasus nantinya melambat.
Ehm.. kalau fasilitas kesehatan, kayaknya juga masih jauh dari yang disyaratkan ahli. Mereka bilang kita mesti punya kapasitas rawat inap lebih besar dari jumlah pasien Covid-19 yang dirawat saat ini dan di masa depan. Tenaga medis juga mesti luar biasa banyak dan kuat. Faktanya, udah banyak tenaga medis kewalahan. Padahal bisa aja gelombang kedua justru terjadi lebih masif setelah new normal diberlakukan.
Ya gitu deh. Susah buat nggak sakit hati sekaligus insecure melihat kinerja pemerintah menangani virus corona di Indonesia. Semacam kita udah mempercayakan nyawa kita ke mereka, kita udah percaya buat berlindung ke “orangtua” kita itu, tapi mereka malah begitu~ Pengin banget rasanya mengadu ke badan HAM Internasional atau apa gitu, yang minimal bisa puk-puk kita deh 🙁