Warganet Indonesia | Credit: Hipwee via www.hipwee.com
Perkembangan teknologi yang modern membuat penggunanya ikut meningkat. Di Indonesia, masyarakat semakin melek dengan media sosial meski jumlahnya masih di bawah negara maju seperti China dan Amerika Serikat. Kehadiran warganet Indonesia terbilang nggak bisa diabaikan begitu aja, banyak polemik yang kemudian menjadi sorotan akibat aktivitas warganet kita lo. Pasalnya, kalau warganet sudah kompak bekerja sama, dampaknya beuhh.
Sebenarnya hal ini sudah menjadi rahasia umum, mengingat negara kita memiliki populasi yang tinggi. Berdasarkan laporan teranyar We Are Social, perusahaan Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, per Januari 2021 pengguna aktif media sosial di Indonesia dilaporkan mencapai 170 juta. Mayoritas mengaksesnya melalui perangkat mobile, seperti smartphone. Mereka juga menyebut jika orang-orang di sini kerap menghabiskan waktu 3 jam 14 menit per harinya untuk berselancar di internet.
Kuantitas yang tinggi mampu memberikan keuntungan sekaligus keresahan. Kalau nggak diimbangi dengan sikap yang bijak justru bisa menjadi bumerang. Kamu mungkin masih ingat beberapa ‘dosa’ warganet kita yang memicu kontroversi, dari mulai caci maki pengantin gay di Thailand, menghujani komentar di akun BWF, serbu Levy Rozman atau GhotamChess hingga ia menggembok akunnya, sampai membuktikan titel “Netizen Paling Nggak Sopan” di Asia Tenggara lewat akun Microsoft.
ADVERTISEMENTS
Di samping cap yang kurang mengenakkan, kompaknya warganet +62 di platform digital sebenarnya punya kekuatan
Kekuatan warganet Indonesia | Credit: Camilo Jimenez on Unsplash
Dengan jumlah pengguna media sosial yang cukup besar, warganet kita bisa mendominasi jagat dunia maya. Hal ini terbukti ketika Indonesia menjadi pasar kedua aplikasi TikTok pada 2020, tepat di bawah Amerika Serikat. Maka nggak heran ya, kalau fenomena yang sedang trending bisa menjadi trendsetter untuk publik luar.
Masifnya pengguna media sosial di Indonesia membuat seseorang lebih mudah untuk dikenal secara luas. Lagu “To the Bone” milik Pamungkas contohnya, karena viral dibagikan warganet kita, karya tersebut mampu masuk ke dalam chart Spotify negara Filipina selama beberapa minggu.
Belum lagi, kalau soal mengerahkan massa untuk melakukan pemungutan suara, bisa dipastikan nama Indonesia jadi salah satu kandidat terkuat. Bukti nyatanya saat kita menang jalur voting juara Piala Dunia versi akun Transfers di Instagram. Brazil yang digadang-gadang punya fansbase fanatik justru kalah dengan jari jemari warga Indonesia. Hal serupa juga terjadi di perhelatan kontes kecantikan, saat perwakilan bangsa kerap terpilih menjadi juara favorit jalur vote, sebut saja Miss dan Mister Supranational Indonesia tahun 2021.
ADVERTISEMENTS
Publik Indonesia yang merasa dekat satu sama lain kemungkinan menjadi faktor fenomena ini bisa terjadi
Dikenal mempunyai budaya tolong menolong dan ramah, agaknya sifat seperti itu juga terbawa ke media sosial. Warganet Indonesia cenderung tak malu untuk nimbrung satu sama lain. Kalau sudah begini, permasalahan yang hanya satu bisa saja melebar ke mana-mana. Hal ini juga identik dengan kebiasaan kita yang suka meriung atau ngobrol, ditambah dengan fenomena akun anonim yang membuat seseorang jadi lebih berani karena merasa terlindungi.
Akibatnya, semua peristiwa yang ada di media sosial seolah-olah jadi permasalahan semua orang. Warganet kita merasa punya andil untuk menetapkan hasil akhir jika nggak sesuai dengan pandangannya. Namun, peristiwa ini juga bisa berdampak positif dan negatif.
Misalnya, saat ada video viral yang mengungkap sikap kurang menyenangkan dari pelayan di kafe. Warganet berbondong-bondong minta mereka untuk diberhentikan dari pekerjaan. Sayangnya, yang terkena imbas justru rating perusahaan, usaha dan citra yang dibangun selama beberapa tahun sirna saat warganet memberikan rating 1 di aplikasi pencarian. Apakah ini yang mereka inginkan?
ADVERTISEMENTS
Warganet Indonesia bisa jadi pengontrol sosial. Kekuatan kita nggak berlebihan kok jika diarahkan ke hal-hal positif
Fenomena warganet Indonesia | Credit: Hipwee
Kamu sering nggak sih lihat komentar menggelitik seperti “Ayo netizen tugas kita nambah lagi,” atau pandangan “Belum tahu mereka kekuatan warganet kita”. Yup, celotehan seperti itu kerap menghiasi kolom komentar. Akan tetapi, gimana ya, seringnya di negara kita kasus tertentu baru direspons ketika sudah viral, sih. Hal ini yang akhirnya dijadikan pakem warganet untuk mengawal peristiwa tersebut supaya nggak hilang begitu saja.
Kamu mungkin masih ingat kan kasus dugaan perundungan di Kantor Penyiaran Indonesia (KPI)? Korban akhirnya memberanikan diri untuk menguggah surat secara publik dengan maksud kasus tersebut bisa mendapat keadilan. Ia tak akan melakukan hal tersebut jika pihak berwajib menanggapinya secara tegas. Belum lagi peristiwa 3 anak di Luwu Timur yang mendapat pelecehan dari orang terdekat, kasus sempat ditutup sebelum akhirnya dibuka kembali karena kekuatan warganet +62.
Sisi positif pengguna media sosial yang kompak bisa menjadi kontrol sosial di masyarakat. Pemikiran yang semakin maju membuat banyak orang semakin kritis. Sebab, mereka sudah jengah dengan kebiasaan buruk yang jadi budaya. Coba bayangkan jika orang tak melontarkan kekecewaannya di media sosial, mungkin sosok Saipul Jamil sampai saat ini akan malang melintang di televisi tanpa rasa bersalah.
ADVERTISEMENTS
Dengan demikian, warganet di Indonesia punya peran penting. Hal ini juga perlu dibarengi dengan pemikiran kritis, jangan hanya dari satu sisi
Perlu menjadi warganet yang bijak | Credit: Tim Mossholder on Unsplash
Penggunaan media sosial lambat laun mempunyai peran tersendiri. Bahkan, dengan fenomena yang terjadi, banyak dari kita yang akhirnya berlomba-lomba memanfaatkan platform ini untuk mempermudah aktivitas.
Bukan hanya menuntut keadilan, tetapi juga bisa digunakan sebagai ajang membantu sosial hingga mencari keberadaan seseorang. Meski demikian, dalam penerapannya kita juga perlu hati-hati dan berpikir kritis. Jangan lantas menelan mentah-mentah apa yang tersedia di internet. Sebisa mungkin, gunakan dengan aksi positif seperti memberikan dukungan kepada mereka yang mendapat komentar negatif dan memblokir atau melaporkan akun yang mengandung diskriminasi, hoaks, hingga ujaran kebencian.
Kita perlu melihat segala sesuatu dari pandangan yang berbeda, jangan lantas menyetujui dan membenarkan sesuatu hanya karena mayoritas berkata demikian. Hal seperti ini sempat mengecoh warganet seperti saat kasus #JusticeforAudrey mencuat di mana sebagian hanya melihat dari satu sisi cerita. Mirisnya lagi, muncul doxing identitas pelaku. Akun media sosial mereka disebar hingga akhirnya pelaku juga kena perundungan.
Sebenarnya dengan cara seperti itu warganet hanya memberi makan ego mereka sendiri untuk marah-marah. Nggak menyelesaikan apa pun dan akhirnya bikin rantai dendam semakin panjang. Jika kita terlalu mempercayai kasus hanya dari satu pihak, maka juga harus siap-siap untuk menaruh rasa kecewa. Seperti saat publik dibohongi oleh bantuan Rp2 triliun dari Akidi Tio yang ternyata hanya isapan jempol belaka.
Makanya, penting untuk berperilaku sewajarnya dan kritis, berpeganglah pada prinsip berperilaku baik di media sosial sebagaimana bertemu tatap muka. Tetap menjadi warganet yang pintar dan aktif dalam hal yang positif ya!