*Kamis Mistis menemanimu kembali hari ini dengan cerita menarik sekaligus bikin bulu kuduk berdiri. Jadi, siapkan mental dan nyali sebelum membaca kalimat pertama. Semoga kamu selamat sampai akhir cerita. Ide utama cerita ini adalah riil, tapi beberapa bagian diberi sedikit bumbu agar semakin menegangkan untuk diikuti.
Menonton cerita tentang pembunuhan rasanya memang mengerikan. Namun, perasaan ngeri bercampur takut itu mungkin hanya bertahan sehari atau dua hari saja. Setelah itu, biasanya kita mungkin sudah bisa bernapas lega. Soalnya, cerita-cerita itu cuma terjadi di buku, film, atau drama. Jika memang sungguhan terjadi, aku sendiri cuma membacanya dari berita di media online atau siaran televisi saja. “Kejadian nahas seperti itu nggak dekat dengan hidupku kok,” pikirku.
Sayangnya, pikiran yang bercokol di kepala itu harus buyar seketika. Tragedi pembunuhan nyatanya amat dekat dengan kehidupanku. Meski hanya mendengar saja, tapi peristiwa malang yang menimpa salah satu tetangga merupakan tamparan yang keras. Untuk pertama kalinya, aku merasakan kengerian yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Dalam waktu bersamaan, ketakutan, kesedihan, plus kekagetan terasa kuat menghantam dada saat tahu ada orang lain yang terbunuh.
Apalagi, pembunuhan ini terjadi di tempat yang terkenal keramat. Bagi penduduk desa, hutan yang terletak di ujung selatan ini memang tak ‘ramah’ manusia. Bukan cuma karena hewan-hewan liar dan buas yang masih tinggal di dalamnya, tapi makhluk-makhluk tak kasat mata masih dipercayai jadi penunggu di sana. Makanya, kebanyakan penduduk tidak berani berlaku jahat dan buruk di hutan ini. Takut kena sial, kata mereka.
Peristiwa pembunuhan itu menjadi perbincangan selama berminggu-minggu, bahkan menjadi cerita turun-temurun yang diwariskan ke anak-cucu. Diwarnai banyak spekulasi, peristiwa itu tak luput dari kaitan mistis. Meski kebenarannya masih dipertanyakan, cerita pembunuhan berbalut mistis itu menyebar dengan cepat.
ADVERTISEMENTS
Sebagai tetangga, saya mengenal sosok Pak Paiman adalah petani yang tekun sejak umurnya masih belia
Kota ini letaknya paling ujung di Pulau Jawa. Saya sengaja tidak menyebutkan ujung sebelah mana agar identitas kota ini tetap jadi misteri. Di antara banyaknya desa, saya tinggal di sebuah desa yang bisa dikatakan pinggiran. Lokasinya baru bisa dituju selama satu jam dari kota.
Sekitar 10 tahun silam, penduduknya belum sebanyak sekarang. Rumah-rumah masih dipisahkan sawah, ladang, atau lahan dengan semak-belukar. Sebagian besar jalan masih beralaskan tanah, bukan aspal. Desa ini dikelilingi hutan-hutan di sisi barat, timur, dan selatan. Kamu bisa membayangkan betapa hijau dan asrinya, kan?
Nah, kebanyakan penduduk berprofesi sebagai petani. Beberapa penduduk juga memiliki lahan garapan di hutan. Biasanya, mereka menanam jagung atau kacang tanah, seperti Pak Paiman. Rumahnya berjarak lima rumah dari rumah saya. Ia bersama sang istri tekun bertani dari umur yang masih belia hingga kini telah memiliki tiga anak. Ketiga anaknya sudah masuk sekolah. Yang paling bontot kelas 4 SD, yang tengah sudah naik ke bangku SMA, dan yang paling sulung baru masuk kuliah.
Sejujurnya, saya nggak terlalu mengenal Pak Paiman. Kami sekadar saling sapa dan menanyakan kabar sesekali ketika berjumpa. Namun, saya tahu dan banyak penduduk juga paham, Pak Paiman adalah sosok petani yang mencintai pekerjaannya. Pagi menjelang, ia berangkat ke sawah. Ketika siang menuju sore, ia mengunjungi ladangnya di hutan yang ada di sebelah selatan desa.
ADVERTISEMENTS
Tidak ada orang yang menduga, hari itu adalah hari terakhir penduduk melihat Pak Paiman
Seperti biasa, siang itu, Pak Paiman pergi ke hutan setelah bekerja di sawah. Ia hendak menengok tanaman jagungnya. Ia menyeberangi sungai dan menembus belantara hutan dengan sepeda ontelnya. Lahan garapannya berada di dekat rawa yang letaknya di bagian dalam hutan. Rawa itu jadi pertanda kalau laut selatan yang jarang terjamah manusia sudah dekat. Ya, hutan itu pembatas alam terakhir sebelum menuju lautan yang terhubung langsung dengan Samudra Hindia.
Selama di perjalanan, beberapa kali Pak Paiman berpapasan dengan penduduk lain. Mulai dari sesama penggarap lahan di hutan sampai pencari kayu bakar. Tidak ada yang bakal menduga kalau hari itu Pak Paiman akan menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sebelum pukul 17.00 WIB, biasanya ia sudah sampai di rumah. Namun, sore itu, Pak Paiman belum tampak juga.
“Bapak seharusnya sudah pulang, tapi sore itu ia belum di rumah, padahal sudah hampir magrib,” kata anak sulungnya.
Di saat keluarganya menanti dengan cemas di rumah, penduduk desa mulai berbondong-bondong menuju pinggir hutan. Kabar Pak Paiman ditemukan dengan luka tusukan telah sampai ke telinga banyak orang. Kabar itu menyentak siapa pun. Rasa prihatin, penasaran, dan keterkejutan muncul sekaligus.
Apa yang terjadi?
Kok bisa Pak Paiman terluka?
Siapa yang melakukannya?
Apa alasannya?
Kira-kira pertanyaan-pertanyaan itu menghantui isi kepala banyak orang.
ADVERTISEMENTS
Kesaksian penduduk yang melihat Pak Paiman sebelum ajalnya berakhir di tangan pembunuh yang menghunuskan senjata tajam ke dadanya
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!