“Jangan ngucapin Natal. Gak boleh tahu!”
“Kalau terpaksa ngucapin bilangnya Selamat aja. Nggak usah ada embel-embel Natalnya…”
Polemik boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal memang seperti putus cinta. Membosankan dijalaninya, tapi selalu datang tanpa diminta. Yeah, nampaknya orang Indonesia selalu sensitif kalau urusan agama.
Kali ini ijinkan saya sedikit berbagi cerita. Tanpa berniat menggiring siapapun ke arah manapun, semoga kisah ini bisa dipahami sebagai sebuah refleksi saja. Cerita ini tentang pengalaman selalu merayakan Natal bersama orang-orang terbaik di hidup saya. Dan (Dengan Ijin Tuhan), semoga, sampai hari ini iman saya tetap terjaga.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Saya lahir dan dibesarkan di tengah keluarga besar Katolik. Sedari kecil perbedaan ini tak pernah jadi sumber konflik
Ayah saya dulu seorang pemeluk Katolik yang taat. Beliau pernah jadi Ketua Pemuda Katolik di gereja dan di sekolahnya. Namun kata Ayah suatu hari Beliau merasa ada yang mendesak dalam dadanya. Imannya tidak lagi terasa dekat. Ia memutuskan membuka diri pada keyakinan lainnya. Kemudian, Beliau merasa Islam-lah jawabannya.
Kata Beliau keputusan masuk Islam sempat membuatnya hampir gila. Tekanan dari keluarga, sampai pertanyaan dari rekan dan pemuka gereja jadi penyebab utama. Namun beliau tetap pada keyakinannya. Hingga Beliau bertemu Ibu saya, kemudian mereka menikah dengan akad nikah Islam sebagai caranya.
Rumah Simbah (Eyang-Red) yang beragama Katolik jadi tempat saya tumbuh besar. Karena kesibukan dan keterbatasan Bapak-Ibu, di sanalah dulu saya selalu dititipkan. Saya dibesarkan oleh Simbah Kakung yang selalu membentuk tanda salib di depan dadanya sebelum berdoa. Oom yang bersekolah di sekolah Katolik khusus laki-laki setiap hari tak keberatan menjemput saya dari TK. Mereka yang berbeda keyakinan menghujani saya dengan cinta.
Dari dulu bagi saya perbedaan ini sangat biasa. Saat ada keluarga yang punya hajat kami yang Muslim akan membantu di dapur saat misa. Waktu Doa Rosario dilakukan bertepatan dengan adzan, kami yang Muslim akan sholat Maghrib di belakang. Tidak ada yang perlu diperdebatkan.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Masa kuliah jadi titik balik. Ikut berbagai kajian memunculkan perasaan tergelitik. Benarkah ucapan selamat itu syirik?
Tahun kedua dan ketiga kuliah adalah masa kehausan saya akan iman. Di masa itu saya sempat berubah jadi gadis yang memakai rok dan kaus kaki setiap hari. Masuk ke berbagai kajian demi mengobati gersang dan rindu di hati. Pertanyaan soal Natal mulai muncul dan membuat saya resah. Beberapa masukan dari Ustadz di kajian menyarankan agar tak perlu lagi datang ke perayaan Natal. Beberapa lagi menyatakan tak apa, selama tidak meyakini dan mengucapkan selamat pada yang merayakannya.
Namun ini tidak mudah dilakoni begitu saja. Simbah, Oom, Tante, dan sepupu-sepupu Katolik adalah orang-orang terbaik di hidup saya. Mereka menyediakan spare mukena di rumahnya agar kami yang Muslim bisa sholat saat berkunjung. Tidak bolehkah, sebagai manusia, saya menunjukkan penghormatan pada mereka?
Sempat ada masa saya datang ke perayaan Natal kemudian cipika-cipiki saja tanpa mengucapkan apa-apa. Hanya memeluk dan menghadiahkan kehadiran di hari besar mereka. Sembari terus bertanya, sudah benarkah jalan yang saya pilih?
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Barangkali orang berubah. Atau memang kini saya tak lagi gundah. Namun bagi saya sekadar mengucapkan Selamat Natal tak membuat iman goyah
Dua tahun belakangan Natal tidak lagi membuat saya gundah. Setiap tanggal 24 tiba saya akan bertanya ke Ibu soal panganan apa yang akan dibawa ke perayaan Natal esok harinya. Puding, kue, atau buah — kemudian menyalakan kendaraan dan membelinya.
Tanggal 25, kami sekeluarga besar berkumpul untuk mengucap syukur bersama. Sekarang saya tak lagi bimbang harus memeluk atau mengucapkan selamat seperti biasa. Pohon Natal dan semua hidangannya, kegiatan membuka kado bersama jadi ritual tahunan yang mendekatkan saja.
Hidup terlalu singkat untuk meributkan soal apakah ini dosa, apakah memberi ucapan selamat membuat saya tak lagi percaya. Toh Tuhan lebih tahu niat baik kita.
Tulisan ini sama sekali bukan ajakan untuk melakukan hal serupa. Apa yang baik bagi saya, belum tentu pas di hati saat kamu melakukannya. Dan bukankah di situ indahnya iman kita?
Saya tak ingin mengajak siapapun melakukan hal yang sama. Keyakinan adalah hak paling hakiki yang tak boleh diutak-atik seenaknya. Pendapat saya ini jelas tidak harus diamini oleh kamu yang membaca.
Saya hanya ingin bercerita bahwa perjalanan menyadarkan saya tentang arti paling sederhana dari keimanan. Iman yang baik ternyata memang selalu menyisakan pertanyaan. Dan iman yang baik pula, tidak semudah itu tanggal karena ucapan satu kali satu tahun demi menunjukkan penghormatan.
Terima kasih atas kesediaan membaca dan kerendahan hati menerima kisah ini. Semoga damai sejahtera selalu dekat untukmu yang merayakan Natal. Bagi yang tidak merayakannya, semoga hanya hal-hal baik yang selalu menyertai kita 🙂