Di balik kegaduhan dunia maya, ada tangan-tangan buzzer yang mengendalikan | Illustration by Hipwee via www.hipwee.com
Konon, media sosial dengan logo burung biru adalah rumah bagi orang-orang intelek. Lewat cuitan, pengguna Twitter bisa membagikan gagasan dan opini mereka. Dari situlah, kita tahu pemikiran-pemikiran orang lain, baik yang dinilai brilian atau yang awalnya sih kelihatan brilian, eh tapi ujungnya blunder. Nggak heran kalau sering kali perdebatan muncul antar sesama pengguna.
Kalau rajin memperhatikan trending topic di Twitter nih, kita akan tahu topik apa aja yang tengah hangat diperbincangkan. Warga Twitter biasanya akan ramai-ramai menangapi topik tersebut. Dalam perdebatan yang sehat, pro dan kontra adalah hal biasa. Namun, perdebatan di dunia maya juga bisa beracun lo. Bukan satu atau dua kali terjadi, beberapa akun diserang secara masif oleh akun-akun tak dikenal. Lantaran mencuitkan opini tertentu, beberapa akun dianggap ‘mengancam’ oleh pihak lain.
Serangan semacam itu nggak terjadi secara sporadis, tapi sebaliknya dilakukan dengan strategi yang taktis. Ingat nggak sih soal jasa perundungan di media sosial yang ditawarkan oleh akun Instagram @buzzerindonesia? Meski sudah tutup akun, kabar itu membuktikan kalau layanan buzzer memang ada dan nggak terbatas di satu media sosial aja.
“Sebenarnya apa sih buzzer? Kok kayaknya suka main keroyokan kalau menyerang akun lain?”
ADVERTISEMENTS
Pada awalnya, buzzer memiliki peran baik. Sayangnya, makin ke sini, peran buzzer direduksi sebagai pembuat konten-konten negatif sehingga akhirnya dicap buruk
Melansir Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan menyebarluaskan pesan. Caranya dengan menarik perhatian atau membangun percakapan di ruang maya. Kemudian, buzzer bergerak secara masif dan persuasif dengan motif tertentu. Singkatnya, buzzer berperan membuat kebisingan seumpama suara dengung lebah (buzzing).
Berbeda dengan citranya selama ini yang dipandang negatif, kehadiran buzzer, terutama di Indonesia, pada mulanya justru positif. Tahun 2009, ketika pengguna media sosial meningkat drastis di Indonesia, buzzer dipakai oleh perusahaan untuk promosi produk. Makanya, buzzer bukan hal asing dalam dunia bisnis. Sayangnya, kini kekuatan buzzer cenderung dimanfaatkan untuk memproduksi konten-konten negatif seperti serangan politik, ujaran kebencian, dan perundungan.
Peran buzzer dalam momen politik juga menjadi tanda pergeseran buzzer di ranah bisnis ke politik. Menukil tulisan Shiddiq Sugiono, Fenomena Industri Buzzer di Indonesia: Sebuah Kajian Ekonomi Politik Mediadalam jurnal Communicatus Universitas Indonesia, buzzer politik diduga mulai muncul pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2012 silam. Bahkan, buzzer disinyalir turut andil menjelang pertarungan politik dalam pemilihan presiden tahun 2019 lalu.
ADVERTISEMENTS
Berdasarkan motifnya, buzzer bisa dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat komersial dan sukarela. Eits, jangan-jangan kita juga termasuk buzzer, ya?
Bila dibedakan menurut ranahnya, buzzer terdiri dari buzzer bisnis dan buzzer politik. Selain itu, buzzer bisa dikategorikan sesuai motifnya. Buzzer jenis pertama adalah akun-akun yang tidak menerima sepeser pun upah. Artinya, mereka tidak dibayar, tapi digerakkan oleh dorongan atau keinginan sendiri alias sukarela.
Mendukung tokoh, produk, atau figur publik tertentu adalah contoh buzzer sukarela. Dukungan diberikan secara masif dan persuasif di media sosial. Dorongan untuk ‘bergerak’ di media sosial dilandasi oleh ideologi atau rasa kepuasan.
Sementara itu, jenis kedua adalah buzzer komersial. Sesuai dengan namanya, buzzer ini berlaku atas dasar uang. Biasanya, ditandai dengan aliran dana yang masuk ke kantong pada buzzer. Mereka sengaja direkrut untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan klien. Misalnya, buzzer disewa untuk mendukung kelompok politik atau menyudutkan lawan politik.
Bagaimana cara buzzer bekerja? | Illustration by Hipwee
ADVERTISEMENTS
Ngomongin soal rekrutmen buzzer, caranya pun nggak asal dan spontan, tapi tergolong rapi
Berbeda dengan buzzer sukarela, buzzer komersial perlu pola rekrutmen. Pasalnya, orang-orang di balik akun buzzer dibayar untuk melakukan tugasnya. Sehingga, pemilihan buzzer pun tidak bisa sembarangan. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dulu. Salah satunya adalah memiliki akun media sosial yang aktif, terlihat dari jumlah like, share, comment, dan retweet.
Bila digambarkan, berikut ini adalah prroses rekrutmen buzzer:
Pemantauan media sosial
Seleksi akun melalui grup chat, memakai aplikasi Telegram atau WhatsApp
Seleksi kedua setelah lolos seleksi di grup chat sebelumnya
Pertemuan tatap muka dengan koordinator
Cara lainnya, rekrutmen bisa dilakukan melalui agensi untuk mencari buzzer potensial yang sesuai kebutuhan. Selain itu, rekrutmen bisa dengan membuka lowongan. Layaknya lowongan pekerjan pada umumnya, pengumuman itu juga menyertakan kriteria, persyaratan, dan isu tertentu yang dipakai untuk menggiring opini.
ADVERTISEMENTS
Lalu, bagaimana sih buzzer bekerja sampai-sampai bisa ‘menguasai’ percakapan di media sosial?
Buzzer direkrut untuk menjalankan misi. Mereka ditugaskan untuk memberikan atau menyampaikan pesan ke publik melalui konten-kontennya. Dalam sebagian besar kasus, peran buzzer semakin dipandang miring lantaran menimbulkan disinformasi. Bahkan, mereka cenderung mengabaikan privasi, batasan, dan etika untuk mencapai tujuan yang ditargetkan. Tak jarang mereka menyebarkan berita hoaks, manipulasi, sampai doxing saat membentuk opini di media sosial.
Meskipun bergerak di belakang layar, nyatanya para buzzer mampu menguasai ruang perdebatan di media sosial. Ini cara kerjanya!
Menulis cuitan dalam jumlah banyak dengan tagar tertentu. Hal ini dilakukan baik secara organik ataupun rekayasa
Memakai situs berita untuk menyakinkan publik bahwa kontennya memang kredibel
Menyebarkan konten dengan menggunakan aplikasi pesan singkat
Memanfaatkan jaringan buzzer untuk membagikan konten
Nah, itu dia soal buzzer sampai cara kerjanya. Jadi, kita bisa tahu bahwa buzzer bukan tiba-tiba hadir di media sosial. Buzzer dibentuk untuk tujuan tertentu, mulai dari bisnis sampai politik. Menimbulkan sejumlah efek negatif dan mengancam iklim komunikasi yang sehat, kehadiran buzzer memicu perdebatan dan protes. Sementara itu, buzzer sendiri menjadi profesi yang dilirik oleh beberapa orang karena iming-iming gaji yang besar.