Istilah ‘buzzer‘ belakangan ini santer terdengar terlebih saat kondisi politik Indonesia sedang panas-panasnya. Sebenarnya istilah itu nggak baru-baru ini aja populernya. Bahkan kalau dikulik sejarahnya, buzzer sudah mulai digunakan sejak 2012 saat ramai Pilkada DKI Jakarta. Buzzer biasanya dipakai untuk menyebut orang-orang yang menyerang kubu tertentu di dunia politik baik dengan fakta maupun hoaks, lewat media sosial.
Cuma nggak tahu gimana, buzzer masa kini malah cenderung dicap negatif karena seringkali menghalalkan segala cara seperti menyebarkan hoaks demi mendongkrak popularitas kubu atau tokoh tertentu. Padahal justru di awal kemunculannya, buzzer dikenal baik-baik lo, soalnya dulunya profesi buzzer digunakan dalam pemasaran produk atau jasa. Namun lama-kelamaan, profesi ini malah disalahgunakan untuk tujuan yang buruk. Penasaran sama fakta lain soal buzzer? Yuk kita simak penjelasannya berikut ini.
ADVERTISEMENTS
1. Secara bahasa, buzzer berarti lonceng, bel, atau alarm. Sebutan ini cocok untuk orang yang sering mengumumkan isu-isu penting ke masyarakat
Berasal dari Bahasa Inggris, buzzer bisa diartikan sebagai alat untuk mengumpulkan banyak orang agar bisa menyampaikan pengumuman. Saat ini buzzer sering dikaitkan dengan media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Dalam konteks media sosial, buzzer berarti orang yang mempromosikan atau mengkampanyekan sesuatu lewat berbagai unggahannya di internet.
Biasanya buzzer mempunyai isu tertentu yang diangkat terus-menerus. Nggak hanya di bidang politik, tetapi juga kuliner, hukum, pendidikan, kesenian, dan lain-lain. Tugas mereka adalah membuat sebanyak mungkin orang tahu tentang isu tersebut.
ADVERTISEMENTS
2. Apa aja sih ciri-ciri buzzer? Ternyata salah satunya punya pengaruh besar di media sosial. Setiap yang diunggah akan banyak memengaruhi pandangan orang lain
Dilansir dari Kumparan, buzzer harus mempunyai pengaruh yang cukup besar di media sosial. Jadi isu-isu yang diangkat olehnya bisa tersampaikan ke banyak orang. Salah satu tolak ukurnya bisa dilihat dari jumlah pengikutnya yang banyak. Buzzer bakal mengunggah konten-konten yang mirip dalam jangka waktu tertentu, sesuai keinginan klien yang menggunakan jasanya. Terkadang buzzer juga dituntut membuat unggahan yang viral yang tujuannya memang untuk memancing banyak pro dan kontra.
Di Indonesia, profesi buzzer banyak dilakukan lewat akun media sosial yang nggak jelas identitasnya. Pasalnya, masyarakat di Indonesia masih terlalu gampang dipengaruhi. Terkadang mereka bisa percaya begitu aja pada berita yang beredar di internet tanpa mengonfirmasi sumbernya. Jadi gampang ditipu deh~
ADVERTISEMENTS
3. Walau sekilas mungkin mirip, tapi buzzer berbeda dengan influencer. Buzzer tidak segan-segan menyebar hoax karena tidak memiliki reputasi untuk dipertaruhkan. Kan mereka nggak pakai nama dan foto asli~
Buzzer kerap dipandang secara negatif di negara kita. Dilansir dari Kompas, Enda Nasution selaku pengamat media berpendapat kalau buzzer adalah akun-akun di media sosial yang nggak punya reputasi untuk dipertaruhkan. Karena itulah mereka bisa berbuat seenaknya. Inilah titik perbedaannya dengan influencer. Influencer justru mengandalkan reputasi dan identitas mereka sendiri untuk mempengaruhi orang lain.
Ada buzzer yang ingin membela sesuatu mati-matian sesuai keyakinannya walaupun nggak dibayar, ada juga yang karena tergiur bayaran mahal.
ADVERTISEMENTS
4. Memangnya berapa sih bayaran seorang buzzer? Kalau mau blak-blakan nih, ternyata profesi ini cukup menjanjikan secara finansial lo!
Dilansir dari Detik, Rahaja Baraha (bukan nama sebenarnya) bercerita tentang bayarannya sebagai buzzer politik sejak tahun 2016. Dia kerap dipesan untuk membuat atau menggiring isu politik yang menguntungkan kliennya. Setelah menerima pesanan, Rahaja akan membentuk tim yang terdiri dari sejumlah orang dan memberi tugas pada mereka.
Menurut Rahaja, bayaran untuk setiap proyek isu mencapai Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Uang itu akan dibagi-bagi untuk para buzzer yang terlibat dalam proyek seperti layaknya gaji bulanan. Buzzer lapis bawah biasanya menerima gaji sebesar UMR per bulan, sedangkan Raharja selaku koordinator menerima upah yang lebih besar, bisa sekitar Rp 6 juta. Ternyata lumayan juga ya!
Tindakan buzzer belakangan ini jelas bisa sangat merugikan dan membuat bingung masyarakat. Apalagi orang-orang di Indonesia masih gampang percaya hoaks. Kita sebagai ‘target’ mereka juga harus lebih selektif saat membaca berita. Pastikan untuk konfirmasi lebih dulu sebelum mempercayainya. Yuk, belajar bijak dalam berinternet!