Bukan Propaganda: Percakapan Dengan Teman-teman LGBT yang Kerap Disebut “Pendosa”

Kalimat pertama artikel ini ingin saya gunakan untuk klarifikasi. Tak ada maksud untuk mengubah, mempengaruhi, atau membantah keyakinan dan agama siapapun yang membaca tulisan ini. Setiap orang berhak mempertahankan apa yang ia percayai. Meskipun demikian, saya percaya, setiap orang juga berhak (dan berkewajiban) mencari informasi yang seimbang sebelum menentukan posisi.

Setelah berita tentang legalisasi gay marriage di Amerika ikut heboh di Indonesia, beberapa kali Hipwee mengeluarkan artikel bertema LGBT. Ratusan komentar pun masuk, sebagian besar bernada mencaci. Komentar-komentar itu membuat saya bertanya-tanya:

Sebelum kita membenci sesuatu, sudahkah kita benar-benar tahu siapa yang kita benci itu?

“Lo gak perlu tahu rasanya tahi ayam buat bilang tahi ayam itu jelek,” kata salah satu komentar di Facebook yang di-like lebih dari 80 orang. Masalahnya, LGBT bukan tahi ayam. Mereka manusia, sama seperti kita. Dan sebagaimana manusia-manusia yang lainnya, mereka juga punya cerita.

Dan untuk itulah artikel ini ada. Ketiga narasumber di dalam artikel adalah anak muda Indonesia yang telah coming out sebagai LGBT di kehidupan sosial mereka. Untuk kepentingan penulisan, semua nama mereka disamarkan.

Sekali lagi, tak ada maksud untuk mengubah apa yang secara pribadi kamu yakini. Dan jika prinsipmu sudah kuat, seharusnya tak perlu takut  ‘kan mendengarkan cerita dari mereka yang berbeda?

“Aku nggak pernah minta dilahirkan,” kata Reza. “Dan nggak pernah minta terlahir gay.”

Bukan Propaganda: Percakapan Dengan Teman-teman LGBT yang Kerap Disebut

Saya memulai wawancara dengan membacakan komentar salah satu pembaca Hipwee pada Reza, 22 tahun. Bunyinya, “Orang-orang yang gay itu lupa ya mereka hidup di dunia karena orangtuanya straight?”

Reza tertawa.

“Aku sadar bahwa orangtuaku straight, bahwa aku lahir karena mereka straight,” ujar Reza. “Tapi ‘kan aku nggak pernah minta ke orangtua buat dilahirkan ke dunia. Dan aku nggak pernah minta dilahirkan jadi gay.”

Reza lahir dan besar di Lampung, dalam sebuah keluarga yang memiliki 5 anak laki-laki dan perempuan. Ia anak bungsu. Hanya pada salah satu kakaknya Reza memutuskan untuk coming out. Pada kedua orangtuanya sendiri Reza tidak sempat berterus terang karena ayah dan ibunya sudah lebih dulu wafat.

Bagaimana reaksi kakak Reza setelah mendengar pengakuan adiknya?

“Yah, dia waktu itu cuma bilang ‘Oh…’ Dan setelah diam beberapa lama, intinya dia berpesan supaya aku jaga diri.”

Apakah menjadi gay adalah menyalahi kodrat, atau justru kodrat itu sendiri?

Pertanyaan ini selalu memancing perdebatan antara mereka yang pro- dan kontra-LGBT. Reza sendiri menanggapi pertanyaan ini dengan santai.

“Jadi gay itu sebenarnya sama aja kayak jadi orang Minang atau Jawa. Ya itulah aku. Itulah identitasku.”

Saya lalu bertanya, “Apakah kamu pernah struggling atau merasa kesulitan menerima identitasmu ini?”

“Nggak sih. Aku selalu berusaha cari informasi. Coba deh, buat semua orang, nggak cuma yang gay aja. Banyak-banyak cari informasi di luar sana.”

Reza kemudian bercerita: yang bisa dibilang “masih berjuang” adalah mantan pasangannya, yang memutuskan berpisah karena ingin menikah dengan seorang perempuan.

“Karena dia nggak mau bikin ibunya kecewa. Dia dibesarkan sendirian, ibunya single mother. Mantanku mau melihat beliau bahagia.

Aku menghormati pilihan dia. Aku sedih, tapi itu sudah pilihannya.”

“Waktu SMA dulu, aku sempat jadi fanatik agama. Semua kulakukan demi menebus dosa.”

Berbeda dari Reza yang relatif cepat menerima identitasnya, perjalanan Aldo — cowok transgender yang dibesarkan orangtua dan lingkungannya sebagai perempuan — termasuk panjang dan berulang-ulang.

“Baru setahun terakhir ini aku coming out sebagai cowok,” kata Aldo. “Baru setahun ini juga aku rekonsiliasi dengan keluarga.”

Perjalanan Aldo menjadi seorang trans man dimulai dengan tidak sengaja. Ia sedang iseng memindah-mindah channel TV ketika seorang bintang tamu di acara The Oprah Show menyita perhatiannya.

“Mereka ngundang Chaz Bono jadi bintang tamu. Ngedenger ceritanya, pengalamannya, dan gimana sampai sekarang ibunya merasa kehilangan anak perempuannya, aku langsung teriak sambil nunjuk layar TV: ‘INI AKU!”

Sebelumnya, Aldo hanya tahu bahwa transgender adalah mereka yang dibesarkan sebagai laki-laki namun mengidentifikasi diri sebagai wanita. “Yang aku tahu cuma waria,” ujarnya. “Walaupun aku kurang suka istilah itu karena seolah-olah mereka setengah wanita-setengah pria. Seolah-olah mereka bukan wanita tulen.”

“Padahal wanita tulen itu apa sih sebenarnya? Ada yang bilang seorang wanita baru jadi wanita sejati kalau udah jadi istri dan punya anak. Terus, mereka yang nggak punya suami dan nggak punya anak bukan wanita sejati?”

Aldo adalah anak pertama dari sebuah keluarga Katolik taat. Ayahnya adalah guru agama dan aktivis gereja bersama sang ibu. Tumbuh di lingkungan yang sangat religius tentu saja membuat Aldo memahami nilai-nilai agama sejak kecil. “Bahkan waktu SMA aku jadi fanatik banget. Katolik fanatik lah, hahaha. Semua hal aku lakukan buat menebus dosa. Menyedihkan.”

“Sama sekali tidak menyedihkan,” saya menimpali. Dan bukankah itu justru reaksi yang wajar?

Di usianya yang ke-16, Aldo mengaku pada keluarganya bahwa ia memang tertarik pada perempuan. Ini bukan sesuatu yang sederhana. Ayah dan ibu Aldo berkali-kali menyalahkan diri sendiri setelah akhirnya mengetahui identitas anaknya.

“Ayahku, yang kaku bhianget dan nggak pernah nangis kecuali waktu ditinggal Kakekku wafat, nangis tersedu-sedu.

Pasti orangtuaku merasa gagal membesarkan aku. Tapi aku sudah sadar aku suka perempuan dari dulu.”

Segera setelah coming out, Aldo dibawa orangtuanya menghadap 4 orang romo dan 2 psikiater.

“Sampai sekarang aku masih belum bisa memaafkan romo yang paling senior, yang seharusnya paling bijak. Aku didudukkan di pojok ruangan, seolah-olah aku pesakitan. Waktu menoleh ke arahku wajahnya penuh rasa jijik. Dia menunjuk ke arahku sambil ngomong ke orangtuaku: “Anak Bapak-Ibu sakit!”

Ini bukan soal aku. Tapi gimana perasaan orangtuaku melihat anaknya sendiri diperlakukan seperti itu?”

Sebaliknya, Aldo merasa berhutang kepada kedua psikiater yang ditemuinya. “Aku waktu itu masih remaja, masih belum mengerti betapa sulitnya buat orangtuaku menerima anaknya sendiri yang seperti ini.” Lalu salah satu psikiater mengatakan,

“Kalau kamu saja butuh 16 tahun untuk menerima dirimu, bayangkan berapa lama yang orangtuamu butuhkan buat menerima kamu?”

Psikiater tersebut menggambar lingkaran besar untuk Aldo, dan mengarsir sebagian kecilnya. “Seksualitasmu hanyalah sebagian kecil dari dirimu. Jangan biarkan identitasmu yang lain tenggelam karena seksualitasmu ini.”

Saya mengenal Aldo sejak lama, lebih dari 6 tahun lalu. Waktu itu saya masih memanggilnya dengan sebutan “Mbak”. Ketika kami bertemu lagi setelah beberapa tahun, saya menyadari perubahan fisiknya. Suaranya tidak lagi tinggi seperti perempuan. Ia pun mengenakan pembebat payudara yang membuat dadanya terlihat datar.

Perubahan penampilan Aldo sangat jelas terlihat, tapi saya sengaja menghindari pertanyaan soal fisik. Sudah ada banyak sekali wawancara dengan kaum transgender yang hanya berfokus pada pergantian organ saja. “Kamu masih punya penis?” saya membayangkan template pertanyaan wawancara dengan seorang wanita transgender. Saya tidak ingin memunculkan pertanyaan yang sama dalam wawancara ini. Saya percaya, lebih baik menulis kisah mereka sebagai manusia daripada terobsesi dengan penis dan vagina mereka.

“Diskriminasi paling parah yang pernah kuterima?” Aldo berpikir sebentar saat saya menanyakannya. “Bukan aku langsung, sih. Tapi pacarku pernah dipecat hari itu juga dari tempat kerjanya karena ketahuan pacaran dengan aku. Memecat seseorang hanya karena orientasi seksualnya itu diskriminasi.”

Aldo sekarang bekerja untuk sebuah organisasi masyarakat di Yogyakarta yang fokus memperjuangkan hak dasar kaum LGBT: seperti hak untuk tidak di-bully di sekolah, hak untuk tidak dipecat dari pekerjaan karena orientasi seksualnya. “Kami nggak mengejar legalisasi pernikahan seperti di Amerika sana, kok.” kata Aldo. “Lagipula nikah di Indonesia itu [sakralnya] apa sih? Nikah sama anak di bawah umur aja legal.”

Saya bertanya: kalau ia harus memilih, apakah ia lebih ingin membahagiakan diri sendiri, atau orangtuanya? Aldo menarik napas.

“Bukan seperti itu [cara melihatnya]. Rugi kalau hanya berhenti di pertanyaan ‘membahagiakan diri sendiri atau membahagiakan orangtua.’

Orangtua hanya ingin melihat anak mereka baik-baik saja. Kebahagiaan orangtua dan kebahagiaan anak itu berjalan berbarengan. Aku dan orangtuaku, kami sedang sama-sama belajar.”

“Saat mereka menyebut kami pendosa, mereka tidak tahu bagaimana efeknya terhadap harga diri kami.”

Salah satu trans man survivor pelecehan seksual

Salah satu trans man survivor pelecehan seksual via projectunbreakable.tumblr.com

Eksistensi kaum LGBT kerap dipertentangkan dengan nilai-nilai agama, terutama agama Samawi seperti Islam dan Kristen. Saya bertanya pada Reza, yang berasal dari keluarga Muslim dan sehari-hari masih mendirikan sholat 5 waktu. “Nabi Muhammad nggak pernah mengatakan apapun tuh tentang kaum homoseksual,” kata Reza. “Justru umatnya yang ribut.”

Reza kemudian menyarankan saya membaca interpretasi kisah Nabi Luth di suatu situs. Menurut interpretasi tersebut, yang dikutuk oleh Tuhan bukanlah aktivitas homoseksual itu sendiri, melainkan perilaku seksual tidak bertanggung jawab dari kaum Sodom dan Gomora. Interpretasi ini sangat berbeda dari interpretasi yang selama ini diajarkan pada saya melalui kelas Agama.

Selanjutnya, saya bertanya pada Aldo tentang konsep “Hate the sin, love the sinner” yang populer di antara mereka yang beragama Kristen. Aldo terdiam sebentar, sebelum menjawab:

“Pernah nggak sih mereka ngebayangin gimana rasanya dilabeli ‘pendosa’? Pernah nggak sih mereka mikirin gimana efeknya pada harga diri kami [yang dibilang berdosa ini]?”

Aldo menambahkan. “Aku tidak anti-agama. Banyak juga anak-anak LGBT yang nyinyirin sesama LGBT yang masih berusaha taat beribadah. Aku nggak mau jadi seperti itu. Ya kita saling menghormati aja lah.”

“Bagiku ini ujian. Suatu saat nanti, aku ingin menikah dengan seorang perempuan.”

Gay pride di Uganda

Gay pride di Uganda via uniproud.tumblr.com

Pandangan berbeda saya peroleh dari wawancara dengan Irwan, seorang gay yang juga tinggal di Yogyakarta. “Saya menganggap ini ujian dari Allah,” ujar Irwan, aktivis di sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak kesehatan kaum LGBT. “Semua orang Islam pasti diberi ujian sama Allah. Ujian saya adalah menjadi seorang gay.”

Irwan bercerita bahwa dia sekarang memiliki pacar laki-laki. “Tapi saya selalu bilang ke BF [boyfriend], ‘Jangan terlalu berharap sama aku.’ Karena sebenarnya suatu saat nanti saya ingin menikah dengan seorang perempuan. Tentu saja kalau ada perempuan yang bisa menerima saya yang seperti ini.”

Saya bercerita tentang mantan Reza yang memutuskan untuk berpisah karena ingin menikah dengan perempuan dan membahagiakan orangtuanya. Irwan mengangguk.

“Saya respek pada orang-orang seperti itu. Sejauh yang aku tahu, punya perasaan sayang pada sesama cowok itu gak dosa. Yang dosa adalah kalau melakukan hubungan seks sesama jenis.”

Apakah Irwan percaya bahwa ia akan bahagia dengan menikah dan menjalani kehidupan sebagaimana orang-orang yang disebut ‘normal’ oleh masyarakat? Ia berpikir sebentar, lalu mengatakan:

“Saya belum tahu. Tapi ini adalah ujian yang harus saya lewati.”

“Perlakukan kami biasa aja!”

“Kami biasa saja.” via www.huffingtonpost.com

Aldo berceletuk saat saya bertanya bagaimana ia ingin diperlakukan oleh orang sekitarnya. “Kami biasa aja, kami tidak istimewa.” Aldo bercerita bahwa saat ia masih dipanggil lesbian dulu, banyak yang bertanya padanya soal lesbian sex. “Mungkin maksudnya ingin bilang bahwa mereka “cool” dan mendukung kami. Tapi aku kok justru risih kalau ditanya gitu ya? Kesannya aku ini spesial.”

Lalu apa yang harus kami lakukan jika ada teman yang coming out?

“Nggak semua anak yang memutuskan coming out itu sudah bisa berdamai dengan identitasnya,” jawab Aldo. “Seringkali, mereka melakukan itu karena mereka butuh bantuan. Entah karena diusir dari rumah, atau di-bully di sekolah. Mereka mau tahu siapa yang masih mau jadi teman mereka, dan siapa yang akan menjauhi mereka karena orientasi seksual mereka.”

Aldo berhenti sebentar.

“Saat kamu tahu mereka membutuhkan bantuan, bantulah mereka.”

Saya bertanya pada Irwan apa yang ingin ia katakan pada pembaca-pembaca yang mengeluarkan komentar mencaci di artikel-artikel Hipwee yang berkenaan dengan LGBT. Irwan tertawa.

“Apa ya?” ujarnya.

Ia terdiam. Pertanyaan itu tidak dijawabnya.

Dalam perjalanan kembali ke kantor, saya memutar ulang kalimat-kalimat yang mereka sampaikan di dalam kepala saya. Di satu sisi, saya merasa lebih mengenal mereka dan perjuangan mereka sebagai anak muda LGBT. Di sisi lain, saya jadi lebih sadar diri: perjuangan apapun yang pernah mereka hadapi akan selamanya menjadi hal asing bagi saya, yang bukanlah salah satu dari mereka.

Lalu saya teringat semua komentar yang menyamakan mereka dengan binatang, atau bahkan memanggil mereka lebih rendah dari hewan.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka, Reza, Aldo, dan Irwan adalah manusia — sama seperti kita. Sudah, itu saja.

Baca sepuasnya konten-konten eksklusif dari Hipwee dan para konten kreator favoritmu, baca lebih nyaman bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ophelia of the postmodern age.

CLOSE