Sebagai salah satu kota penting dalam urusan ekonomi dunia, wajah Hongkong terus berubah. Daerah yang dulunya sepi dan senggang, kini disulap menjadi daerah kaya yang kehidupannya tak kalah mewahnya dari kota-kota besar lain di dunia. Setelah dikembalikan ke Cina oleh pemerintah Inggris pada tahun 1997, Hong Kong menjadi Special Administrative Regions (SAR) dengan otoritas sendiri. Meski tidak pernah jadi negara merdeka, kekuatan ekonomi Hong Kong sebagai pusat bisnis dunia tidak perlu lagi diragukan.
Hong Kong sekarang menjadi salah satu kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia. Saking banyaknya orang yang berebut hunian di kota seluas 1.104 km2Â ini, selama 7 tahun berturut-turut Hong Kong selalu mendapat predikat sebagai kota dengan harga properti termahal di dunia. Disamping banyaknya kepentingan bisnis internasional, kota kecil ini juga seringkali jadi tujuan imigran Cina daratan untuk mencari pekerjaan dan masa depan yang lebih baik. Untuk pebisnis sukses atau turis internasional yang ingin menghamburkan uang, Hong Kong mungkin bagai surga. Tapi bagi mereka yang punya penghasilan sekadarnya, harga rumah layak makin tidak terjangkau.
Di Jakarta pun banyak ditemui masalah serupa, daerah kumuh ada di mana-mana. Namun bukan seperti rumah-rumah semi permanen di bantaran kali Jakarta, warga miskin Hong Kong ternyata ada yang harus tinggal di kotak berkerangka besi menyerupai kandang anjing. Meski sudah berkali-kali dikritik atas dasar kemanusiaan, pemerintah dan warga Hong Kong tetap mempertahankan tipe hunian seperti itu karena tuntutan tinggin untuk rumah murah.
1. Cage home atau rumah berkerangkeng mulai ada di Hong Kong pada tahun 1950-an, untuk mengakomodasi imigran Cina daratan yang melarikan diri dari perang sipil
2. Sekarang rumah-rumah ini masih diisi imigran, manula, pengangguran, dan buruh serabutan. Dengan kondisi ekonominya, mereka tidak memiliki opsi hunian yang layak di Hong Kong
3. Satu ruangan biasanya dihuni 5-6 orang dengan ukuran satu kurungannya 2×0,5 meter! Kotak-kotak besi ini disewakan dengan harga HK$ 1.500-2.000 (Rp2,5 juta- Rp3,5 juta)
4. Bahkan jumlah warga yang tinggal di ‘kandang’ ini tiap tahunnya naik. Dari 50 ribu di tahun 2007, ternyata sudah melambung ke angka 200 ribu pada tahun 2016
5. Warga miskin yang hidup di sana harus rela berbagi. Satu ruangan biasanya mencuci di satu ember yang digunakan bersama
6. Untuk hiburan, biasanya mereka nonton tv bareng yang disediakan di koridor rusunnya
7. Kalaupun bisa lepas dari kamar dibagi-bagi kerangka besi, pilihan hunian selanjutnya masih sulit dibilang layak. Keterbatasan lahan memang masalah serius di Hong Kong
8. Rata-rata, ukuran ruangan kecil ini cuma seluas 3-4 meter persegi. Semakin banyak orang menetap di Hong Kong mencari keuntungan, makin banyak orang terpinggirkan
9. Dalam satu ruangan kecil, entah gimana caranya harus muat semua barang-barangmu. Jadinya penuh gini!
10. Mau makan, masak hingga tidur dilakukan di ruangan tersebut. Kebayang ‘kan padatnya kota ini bagaimana, sampai orang rela hidup seperti ini
11. Â Meski angka kelahiran di Hong Kong termasuk rendah, tapi kepadatan populasi nyatanya tetap tidak berimbang
12. Pendapatan per kapitanya sebenarnya jauh di atas Indonesia, namun warga Hong Kong tetap harus berebut lahan yang sebenarnya tidak ada. Makanya meski tergolong makmur, banyak yang hidupnya seperti ini
Pemerintah Hong Kong sebenarnya sudah memiliki program subsidi dan hunian baru yang lebih layak bagi warganya. Tapi kelompok seperti buruh serabutan dan pengangguran, biasanya tidak memenuhi persyaratan untuk mendaftar program-program tersebut. Sedangkan buat para imigran, diperlukan waktu minimal 7 tahun untuk mendapatkan tanda penduduk dan meng-apply program hunian pemerintah. Ketika masalah-masalah itu belum bisa diatasi, orang-orang yang berusaha mencari keuntungan di Hong Kong tiap tahunnya bertambah.
Permasalahan kepadatan dan lingkungan kumuh di Jakarta memang sangat meresahkan. Namun jika melihat gambaran kota Hong Kong dimana warganya harus berbagai kamar layaknya anjing, paling tidak kita boleh bersyukur Jakarta lahannya belum sesempit itu. Tapi jika arus perpindahan penduduk tidak diatur dengan baik, bisa saja ke ini jadi potret Jakarta di masa depan.