Pasangan yang sama-sama bekerja sekarang sudah sangat lazim kita temui. Pembagian kerja tradisional antara perempuan dan laki-laki sudah kuno sekali rasanya. Sekarang suami juga harus bisa mengganti pampers dan menyimpan ASIP. Istri mesti tahu caranya menyalakan genset saat listrik mati.
Dampak dari kesibukan pasangan ini akhirnya merembet ke penitipan buah hati. Karena sama-sama sibuk, orangtua atau mertua jadi andalan untuk menitipkan anak sehari-hari. Lucu ya? Sudah berkeluarga, beranak pula, masih merepotkan orangtua.
Bolehkah kita bilang kalau mereka yang terus-terusan bergantung pada orangtua untuk menitipkan anaknya sebenarnya belum siap jadi orangtua muda? Perkembangan anak kok di sub-kontrakkan begitu saja?
ADVERTISEMENTS
Secinta-cintanya kakek nenek ke cucunya mereka tetap bukan TPA
Menitipkan pengasuhan anak-anak kepada kakek dan nenek (baik orangtua ataupun mertuamu) jadi salah satu keputusan logis yang sering diambil pasca cuti melahirkan habis. Memang, mengambil keputusan itu pun sama sekali tak mudah. Ada berbagai hal yang jadi pertimbangan. Setelah sekian belas atau bahkan hingga dua puluh tahun mereka menjaga, merawat, dan mengasuhmu, ada rasa tidak tega untuk kembali “menyuruh” mereka mendidik anak-anakmu.
Selain itu, terkadang timbul masalah dan dilema saat buah hati mulai diasuh oleh kakek neneknya. Rasa sayang kakek dan nenek kepada cucu bisa menimbulkan perbedaan pola asuh yang nggak jarang menimbulkan konflik.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Cucu harusnya jadi sumber keceriaan. Bukan kamu yang boleh memutuskan kapan mau menitipkan
Pastilah akan muncul rasa takut kalau orangtua atau mertua jadi terbebani atau terkekang. Makanya mereka, para orangtua berujar jika sudah berusaha keras agar kehadiran si kecil tidak merepotkan kakek-neneknya. Tidak merepotkan? Okee. Untuk makanan, susu dan snack misalnya, kalianlah yang akan menyiapkan persediaannya.
Biar bagaimanapun, anak tetap menjadi tanggung jawab orangtua masing-masing. Jadi kalau misalkan, kakek-nenek bersedia dititipi si kecil, pastikan mereka hanya mengawasi dan mengajaknya bermain saja, supaya tidak terlalu memberatkan. Urusan lain seperti memandikan, menyuapi atau mengejar-ngejarnya, sepenuhnya adalah tanggung jawab orang tua si anak, yang bisa didelegasikan kepada pengasuh.
Tugas ibu mengurus anak-anaknya kan sudah selesai saat anak-anaknya mandiri. Masa harus ditambah dengan mengurus cucu dan anak-anaknya yang sudah menikah?
ADVERTISEMENTS
Menitipkan si kecil pada kakek-nenek bukan sebuah masalah, asal ya jangan keterusan. Pikirkan pula mengenai efek jangka panjang.
Jangka panjangnya, secara emosional akan ada jarak antara si kecil dengan orang tua kandungnya. Jadi bukan hal yang mengagetkan, bila akhirnya malah susah komunikasi, atau mudahnya, si kecil jadi susah menceritakan beragam hal ke orang tua mereka. Finally, kontrol orangtua ke anak malah jadi buruk.
Efek jangka panjang yang berlaku pada hubungan antara anak dengan orang tua aslinya. Boleh jadi karena saking jarangnya bertemu, mereka jadi enggan kepada Ayah Bundanya sendiri. Anak-anak, dimanapun, semuanya butuh pembiasaan. Menitipkan hendaknya dalam jangka waktu sewajarnya saja, saat balita misalnya, jangan sampai hingga masuk usia SD-lah ya.
Belum lagi lingkungan kakek-nenek dengan orangtua asli yang berbeda. Padahal anak, sejak dini sangat butuh kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Sebab, balita merupakan masa-masa rawan mereka, karena anak sedang membangun kepercayaan dirinya menuju ke tahap remaja.
ADVERTISEMENTS
Timbang masak-masak efek jangka panjang pada orangtua atau mertuamu nantinya. Nggak mau kan kalau ternyata mereka mengeluh di belakang?
Siapa bilang, efek jangka panjang hanya akan berdampak pada hubungan antara anak dengan orangtuanya? Bisa saja si kakek-nenek pun mengalami kerugian.
Kalau dari kakek-nenek sih biasanya pada akhirnya mereka akan merasa kerepotan. Kadang ada pula beban lainnya yang dirasa, yang kudunya di masa itu tinggal santai-santai saja, eh malah masih ada tetek-bengek yangn mesti diurus.
Dititipin si kecil, bisa juga memicu timbulnya konflik baru di masa lansia mereka. Misalnya, mereka jadi membuat aturan-aturan lagi, menerapkan kedisiplinan demi menciptakan lingkungan yang bagus untuk cucunya. Atau parahnya, bahkan kadang ada yang terpaksa mencari tambahan dana buat menghidupi cucu-cucu mereka, meskipun sudah mendapat kiriman dari anaknya. Masa lansia yang harusnya jadi momen menenangkan diri malah tercemari.
ADVERTISEMENTS
Kalian bekerja untuk memberi yang terbaik bagi mereka. Pernah terpikir kalau daycare adalah solusinya?
Beberapa psikolog mengemukakan, jika menitipkan anak pada orangtua dirasa memberatkan, tak masalah kalau menitipkan mereka pada day care atau full day school bahkan. Sebab, mereka justru paham akan masalah pendidikan anak. Tapi sebelumnya, riset ke beberapa daycare tentu diperlukan.
Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang dititipkan di daycare atau TPA (Tempat Penitipan Anak) justru mendapatkan dua keuntungan dibandingkan anak-anak yang diasuh di rumah, yaitu anak-anak yang dititipkan di TPA jarang mengalami keterlambatan bicara sampai usia 3 tahun. Kemungkinannya, karena anak usia 1 sampai 1,5 tahun yang dititipkan di TPA mendapat rangsangan bahasa yang lebih intensif dari teman sebaya dibandingkan anak yang berada di rumah.
Kedua, anak-anak yang dititipkan di TPA memang akan rentan terkena penyakit pernafasan dan infeksi telinga. Namun, pada usia 5 tahun mereka justru lebih jarang terkena penyakit.
Intinya, nggak ada yang salah dengan pilihan jadi seorang ibu rumah tangga atau tetap menjadi pekerja juga. Bukan pula lantas mereka yang menitip-nitipkan anak pantas disebut gagal sebagai orang tua.
Tapi, ingatlah jika mendidik anak dengan baik tetap prioritas utama. Entah itu melibatkan orangtua yang notabene-nya kakek nenek mereka, atau juga daycare dan lain-lainnya? Semua itu butuh pertimbangan matang dan ada resiko-resiko yang kudu turut dipikirkan.