Meski namanya sosial media, tapi sepertinya kita nggak bisa mengartikan secara langsung bahwa semua penggunanya merupakan orang yang aktif di dunia sosial. Menurut eMarketer, diperkirakan ada 112 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2017. Sebagian besar pengguna internet bahkan hanya mengakses sosial media. Dalam praktiknya, pergeseran perilaku pengguna internet ini juga mengubah perilaku sosial kita dalam kehidupan nyata. Saking seringnya melakukan aktivitas melalui media sosial, kita yang sebenarnya saling mengetahui kabar melalui media sosial jadi semakin jauh karena tidak ada lagi pertanyaan, “Apa kabar?“.
Pertanyaan tersebut seringnya sudah terjawab dengan status di sosial media kita, pun di info dan biografi sosial media kita. Sehingga buat apa bertanya lagi? Minimnya interaksi sosial ini akhirnya membuat kita saling menjauh, soalnya kita merasa dekat melalui dunia virtual. Apakah kamu salah satunya? Yuk cek deh tanda-tandanya bareng Hipwee News & Feature!
ADVERTISEMENTS
Budaya update status di Facebook bikin kita nggak perlu lagi tanya kabar. Topik pembicaraan jadi minim, rasa kangen dan penasaran sama teman juga berkurang
Pernahkah kalian memiliki seorang teman di sosial media yang rasanya sudah kalian kenal sangat dekat. Meski tanpa pernah bertatap muka, tapi unggahan statusnya sudah menggambarkan bagaimana keadaannya. Mulai dari bagaimana ia menghabiskan waktu di hari biasa, bagaimana ia berlibur, hingga soal apakah dia sedang bahagia dan bersedih semua sudah diungkapkan hanya lewat unggahan statusnya di Facebook dan melalui foto-fotonya.
Perasaan seolah kita sangat mengenal orang tersebut meskipun tidak pernah bertemu adalah salah satu dampak dari sosial media. Memang kita merasa sangat tahu mengenai kehidupan orang tersebut. Tapi sebaliknya, orang tersebut justru mungkin merasa tidak mengenali kita secara pribadi. Tidak adanya hubungan timbal balik ini membuat interaksi sosial antara dua orang jadi timpang. Dalam hal ini kita tidak sedang benar-benar bersosialisasi dengan masyarakat.
ADVERTISEMENTS
Belum lagi yang terbaru, pengguna sosmed keranjingan membagikan story atau Snapstory melalui Instagram, Snapchat, dan bahkan Whatsapp
Ketidakberhasilan akuisisi Mark Zuckerberg terhadap Snapchat nampaknya membuatnya mencoba menyaingi format Snapchat dengan membubuhi Instagram dengan fitur Instastory, dan Whatsapp dengan Whatsapp story. Bahkan Facebook pun ketika itu diberikan fitur live untuk menyaingi ‘keaktualan’ momen yang biasanya dibagikan pengguna Snapchat. Benar saja dengan sosial media yang sebagian besar diberikan fitur kekinian, pengguna seringkali membagikan momen aktualnya, sedang berada dimana, dengan siapa, dan melakukan apa. Sementara pengguna Snapchat juga masih banyak.
Akhirnya update status yang awalnya hanya berupa tulisan, saat ini sudah menjelma jadi audio visual yang makin informatif dan menyenangkan. Sayangnya lagi-lagi dengan fitur ini orang tidak perlu lagi bertanya kabar. Bahkan kita bisa langsung menanggapi story dan Snap-nya. Pengguna pun saat ini justru makin sibuk membagikan kabarnya lewat sosial media ketimbang mempedulikan orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENTS
Dengan adanya sosial media, kontak dengan orang lain jadi mudah. Tapi berdasarkan studi, keranjingan sosmed memungkinkan kita merasa kesepian dua kali lebih tinggi dibanding yang jarang pakai sosmed
Studi yang dilakukan Universitas Pittsburg terhadap 1787 pengguna sosial media menemukan bahwa orang yang mengunjungi sosial media lebih dari 58 kali seminggu berisiko merasa kesepian dibandingkan mereka yang hanya mengakses 9 kali dalam seminggu. Sosial media juga disebut punya kontribusi terhadap FOMO (Fear Of Missing Out) atau adanya rasa takut jika nggak tahu kabar ter-uptodate di sosial media.
Sosial media dibuat sebenarnya bertujuan untuk mendekatkan yang jauh, tapi sekarang kenapa yang dekat jadi jauh? Seolah-olah saat ini yang terpenting adalah soal citra ‘kekinian’ dibandingkan dengan bagaimana menjalin hubungan baik dengan teman-teman.
ADVERTISEMENTS
Akibatnya banyak orang yang ngerasa kesepian dan sendirian jadi suka ‘cari perhatian’
Banyak pengguna sosial media yang sering membuat pencitraan bahwa dirinya baik-baik saja. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Akun sosial media seakan jadi panggung dari masing-masing penggunanya. Panggung itu pun dihias sedemikian rupa agar nampak seperti yang ingin dicitrakan. Mulai dari berpura-pura bahagia, sampai pura-pura tersakiti jadi fenomena yang sering banget ditemukan d sosial media. Ini merupakan bentuk cari perhatian agar apa yang terjadi pada dirinya dipedulikan dan ditanggapi orang lain. Walaupun lagi-lagi, hanya melalui sosial media.
“Kita harus berhati-hati, dimana ketika suara kopi dituang dan teman, tergantikan dengan ‘like’ pada unggahan” (Holly Syakha, asisten professor divisi kesehatan masyarakat University of California)
Merasa kesepian dan sendiri justru sangat dekat dengan depresi. Depresi bukanlah hal yang bisa diatasi hanya dengan istirahat atau minum obat namun membutuhkan perawatan yang lebih intensif dan kepedulian dari orang-orang di sekitar. Lebih jauh lagi pelampiasan akan kesepian ini, seseorang bisa cari perhatian dalam hal yang kurang wajar. Seperti membuat kebohongan publik, cari sensasi di sosial media, dan bahkan sengaja melakukan hal-hal di luar nalar hanya demi likes dan komentar saja.
Mungkin tidak ada salahnya kita sering menggunakan sosial media demi memudahkan hidup kita. Namun bergesernya perilaku sosial ini yang seharusnya juga perlu kita rubah. Jika begini terus, manusia sebagai mahluk sosial nggak akan bisa memenuhi kebutuhan afeksinya masing-masing dan berujung pada banyaknya depresi akibat kesendirian dan penolakan dari orang lain. Yuk lebih bijak lagi!