Agustinus Wibowo, Si Penembus Garis Batas dan Catatan Perjalanan yang Tak Melulu Indah

“Bagi saya perjalanan bukan lagi gaya hidup. Tapi perjalanan adalah kehidupan yang sesungguhnya.”

Agustinus Wibowo

Maraknya tren traveling memunculkan banyak penulis catatan perjalanan dengan gayanya masing-masing. Ada yang kocak, menjual tempat-tempat indah, sampai yang gemar menceritakan proses menemukan diri yang ia rasakan selama perjalanan.

Ada satu pejalan Indonesia yang berbeda dari itu semua — Agustinus Wibowo namanya. Ia memilih berjalan ke negeri-negeri penuh konflik, tinggal bertahun-tahun di sana, mempelajari bahasanya, menyelundup dari satu perbatasan ke perbatasan lain tanpa visa demi satu hal: menjadi manusia.

ADVERTISEMENTS

Berbeda dengan pejalan lain yang mengunjungi destinasi indah semata, Agustinus justru pergi ke tempat-tempat yang dihindari orang karena ketidakamanannya

Agustinus wibowo

Agustinus wibowo via www.twitter.com

Bicara soal pejalan yang sekarang naik daun tentu membuat pikiran kita terbang pada destinasi eksotis yang sudah tersohor. Eropa, Amerika, New Zealand, Singapura, Jepang, sampai Australia jadi destinasi favorit the so called traveler untuk melangkahkan kaki.

Namun, apa yang akan kalian pikirkan ketika mendengar Afghanistan, Tajikistan, Kazakhstan maupun Turkmenistan? Tak salah memang jika dalam kepala akan muncul bayangan tentang perang, bom, dan huru-hara yang sering terjadi di sana. Sebab seluruh pemberitaan di media lain mengabarkan tentang hal yang serupa.

Namun pernahkah kalian mendengar tentang pegunungan Pamir, maupun lembah Bamiyan yang merupakan surga dunia di Afghanistan? Atau pernahkah kalian mendengar bahwa di Afghanistan pernah berdiri sebuah patung Buddha raksasa setinggi 2.500 meter yang sayangnya telah dibom oleh Taliban pada tahun 2008, dan kini hanya berupa ceruk kosong di pegunungan kapur?

Gus Weng, begitu Agistinus biasa disapa justru merasa terpanggil untuk menjelajahi tempat-tempat menantang yang selama ini jarang dijamah orang.

ADVERTISEMENTS

Tumbuh besar sebagai anak rumahan Gus Weng tumbuh dengan cita-cita unik yaitu menjadi turis

Agustinus Wibowo, Si Penembus Garis Batas dan Catatan Perjalanan yang Tak Melulu Indah

Dalam perjalanan kita bertumbuh via www.daenggassing.com

Gus Weng tidak lahir sebagai seorang pejalan sejak kecil. Ia bahkan menyebut diri sebagai adalah anak rumahan yang takut pada sinar matahari. Daripada bermain dan nge-bolang Agustinus kecil lebih suka mengurung diri untuk membaca buku. Bahkan karena kegemarannya ini Gus Weng  sudah bisa menghapal seluruh ibukota negara di dunia pada kelas 6 SD.

Walau begitu tanpa banyak orang tahu Gus Weng sudah menyimpan keinginan untuk bisa melakukan perjalanan panjang di masa depan. Ketika ditanya apa cita-citanya, Gus Weng menjawab dengan mantap:

“Jadi turis.”

Begitulah Agustinus Wibowo menceritakan pengalamannya ketika sewaktu SD dia ditanya tentang cita-cita oleh gurunya. Mendengar jawaban tersebut sang guru terheran-heran hingga melontarkan pernyataan bahwa menjadi turis itu bukanlah cita-cita. Sang guru, seperti kebanyakan dari kita, beranggapan bahwa umumnya cita-cita adalah menjadi dokter, pilot, polisi, maupun guru.

ADVERTISEMENTS

Kesempatan sekolah di Cina membawa Agustinus pada perjalanan backpacking pertamanya ke negeri penuh debu, Afghanistan

Wawancara dengan Agustinus Wibowo di salah satu stasiun TV swasta

Wawancara dengan Agustinus Wibowo di salah satu stasiun TV swasta via www.youtube.com

Agustinus pertama kali meninggalkan Indonesia pada tahun 2000 untuk menempuh pendidikan di Universitas Tsinghua, Beijing, China. Mengambil pendidikan komputer membuat pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur ini sempat dihadapkan pada sesuatu yang sangat berat.

Studi di Cina sempat membuat Weng tertekan karena beban belajar serta tugas-tugas kuliah yang tak kunjung selesai. Namun karena ia teringat kedua orangtuanya di rumah, Agustinus berhasil bertahan hingga menyelesaikan pendidikannya.

Saat sedang liburan semester di musim panas tahun 2006 Gus Weng yang masih mahasiswa memutuskan pergi backpacking ke negara tetangga yang menurutnya masih bisa terjangkau oleh kantung cekaknya. Dalam sebuah wawancara Gus Weng menceritakan kenapa ia memilih Afghanistan,

“Bukan apa-apa sih. Yah namanya juga mahasiswa, pasti cari yang paling murah. Karena kebetulan saya kuliah di Cina negara tetangga termurah ya Afghanistan. Saat itu saya sempat takut karena Taliban baru turun, tapi ternyata itu adalah saat yang paling aman hingga saya langsung jatuh hati dengan Afghanistan.”

Selepas kuliah Gus Weng sempat ditawari untuk melanjutkan studi S2 di Amerika dengan beasiswa penuh. Namun, ia menolak tawaran tersebut dan bertekad untuk menuju Afrika Selatan melalui jalur darat dari Cina. Kali ini Gus Weng kembali memulai perjalanannya dari Afghanistan

ADVERTISEMENTS

Agustinus tidak hanya menjual pemandangan dan eksotisme saja. Dalam setiap cerita perjalanannya akan kamu temukan proses Gus Weng bertumbuh sebagai manusia

Patung Buddha raksasa di Afghanistan Sebelum dibom oleh Taliban

Patung Buddha raksasa di Afghanistan Sebelum dibom oleh Taliban via www.studyblue.com

Ketika membaca buku atau blog -nya, kamu mungkin akan berpendapat bahwa kehidupan Agustinus sebagai seorang backpacker sungguh amat menyenangkan. Mengeksplorasi negeri-negeri dan tempat asing, berinteraksi dengan penduduk lokal, dan meresapi tiap lekuk kehidupan mereka merupakan sebuah pengalaman yang tak bisa dinikmati oleh sebagian besar orang.

Tapi siapa sangka, dalam perjalanannya Agustinus justru lebih banyak mendapat pengalaman yang tidak mengenakkan. Ia pernah tidak mandi selama dua bulan, hampir dipenjara karena visa-nya habis, dan pernah ditangkap militer karena kemampuan-nya berbicara dalam berbagai macam bahasa yang membuatnya dicurigai sebagai mata-mata.

“Saat itu saya sedang di Afghanistan dan kebetulan paginya baru saja ada bom meledak. Kebetulan saya mengenakan pakaian khas Pakistan hingga di tengah perjalanan saya dipukul orang, dan yang keluar dari mulut saya adalah bahasa Urdu (bahasa Pakistan.) Padahal orang Afghan sangat benci dengan orang Pakistan.”

ada juga cerita lain mengenai kemampuan berbahasa Gus Weng yang membuatnya kembali dicurigai sebagai agen rahasia,

“Di Tajikiztan saya sempat kembali ditahan karena Polisi tidak percaya saya berasal dari Indonesia. Terlebih saya bisa bermacam-macam bahasa, makin dikira mata-mata lah saya. Untung saya membawa surat sakti dari KBRI sehingga bisa dilepaskan.”

Tidak hanya ditangkap pihak yang berwajib saja, Agustinus juga sempat hampir diperkosa oleh laki-laki di Afghanistan bagian utara

“Memang ada kultur di Afghanistan yang bernama Bacabazi (play the boy). Waktu itu saya diundang menginap di rumah seseorang yang mengatakan menyukai saya. Ya saya anggap itu hanya bentuk keramahannya saja. Tapi di tengah malam sesuatu yang harus disensor terjadi pada saya, hehehehe.” 

Dalam setiap catatan perjalanannya Gus Weng tidak hanya menjual destinasi menarik dan eksotisme khas Asia Selatan saja. Ia juga dengan renyah menyelipkan bagaimana intrik politik dan kultur dari daerah yang ia kunjungi kepada pembaca dengan gaya bahasa yang menyenangkan dan mudah diterima.

Dalam buku-bukunya akan ditemukan bagaimana Agustinus menceritakan ketimpangan sosial antara Afghanistan dan Tajikiztan — yang disebabkan oleh pendudukan Uni Soviet di masa lampau. Atau bagaimana perbatasan Asia Selatan dibuat sangat rumit oleh Uni Soviet karena dianggap sebagai kekuatan berbahaya yang harus ditekan.

Membaca buku-bukunya akan membuatmu merasa dekat, seperti menemukan seorang kawan sedang bercerita.

ADVERTISEMENTS

Hingga sekarang keinginan menempuh jalur darat dari Beijing ke Afrika Selatan itu tetap Ada. Bahkan Agustinus bertahan pada idealisme untuk membiayai sendiri seluruh perjalanannya

Agustinus dengan buku ketiganya, Titik Nol

Agustinus dengan buku ketiganya, Titik Nol via catatanlorcasz.blogspot.com

Negeri-negeri konflik yang tak pernah terbayang bisa dijamah sudah habis didatangi oleh Gus Weng. Dia sempat mengunjungi Turkmenistan, sebuah negeri yang tertutup dari dunia luar, karena pemimpinnya Sang Turkemnbashi yang otoriter. Agustinus juga pernah berkunjung ke Kazakhstan, sebuah negeri dengan biaya hidup sangat mahal, melebihi biaya hidup kota-kota besar di Eropa. Dan tentunya ia sudah menginjakkan kaki ke Tajikistan, yang dia sebut sebagai negeri para pemabuk, dan pengangguran.

Bagi Agustinus perjalanan bukan lagi gaya hidup, melainkan bagian hidup yang tak terpisahkan dari hari-harinya. Dalam perjalanan ia belajar banyak hal dari dunia, dan membagikannya pada kita. Dari petualangannya ke negeri berdebu Agustinus belajar bahwa ketamakan manusia (yang tercermin pada penjajahan di negeri Asia Selatan) membawa dampak pada ketimpangan sosial yang hingga kini tak bisa disembuhkan.

Bahkan dalam perjalanan terbarunya ke Papua Nugini  Agustinus mengeksplorasi garis batas identitas yang selama ini sering dengan sederhana dipandang lewat perbedaan warna kulit semata.

Agustinus memang seorang pejalan idealis dengan sudut pandang bertutur yang unik. Hingga kini impian sampai ke Afrika Selatan melalui jalur darat itu tetap ada. Agustinus berusaha mewujudkannya dengan bekerja di Beijing setiap kehabisan uang, sehingga bisa mendanai perjalananannya yang harus ditempuh dalam waktu panjang.

Itulah sekelumit cerita mengenai Agustinus Wibowo, seorang pengelana sekaligus petualang yang bermimpi dapat sampai ke Afrika Selatan melalui jalur darat.

Catatan perjalanan Agustinus dapat kamu baca di tiga buku perjalanannya yang telah terbit, yaitu Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol, atau kamu juga bisa membaca di website pribadinya, www.agustinuswibowo.com , maupun twitter @avgustin88

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penggemar Mendoan hangat, dan kopi hitam nan kental

CLOSE