Di tengah kenaikan harga-harga barang yang tidak tentu, bertahan hidup di kota-kota besar Indonesia memang tantangan sulit. Apalagi ketika masih ada 27,76 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Maka dari itu banyak orang yang ‘kepepet’ harus bertahan hidup, akhirnya terpaksa menengadahkan tangan meminta belas kasihan orang lain di pinggir jalan. Meski hampir setiap negara punya episode tersendiri terkait masalah sosial seperti pengemis, fenomena ini terutama jadi dilema di negara berkembang dengan populasi besar seperti Indonesia dan India.
Beberapa waktu lalu, Dinas Sosial Jakarta Barat kembali meringkus pria yang berpura-pura punya keterbatasan fisik untuk mengemis di jalan. Pria yang sama sudah beberapa tertangkap dengan modus mengemis yang sama. Disamping motif karena benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup, nyatanya pengemis berkembang jadi karier profesional. Terbukti dengan banyaknya modus penipuan untuk menarik rasa iba dari pengguna jalan. Bahkan banyak dari mereka yang tertangkap, ternyata hidup lebih dari berkecukupan. Karena itulah pemerintah menghimbau kita tidak boleh memberi uang pada pengemis.
Masalah yang lebih serius adalah ketika modus penipuan itu berkembang jadi sindikasi kejahatan. Salah satu metode paling efektif memancing rasa iba adalah dengan ‘memajang’ bocah kecil tidak berdaya untuk mengemis. Dari mereka yang dipaksa orangtuanya sendiri sampai korban penculikan, tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan anak-anak berkeliaran di jalan untuk mengemis. Apalagi beberapa kali pernah terbongkar bagaimana sindikat pengemis profesional menggunakan obat penenang agar anak-anak terlihat lemas hingga orang makin iba. Ini modus-modus pengemis yang harus diwaspadai bersama.
ADVERTISEMENTS
1. Mungkin sudah jadi rahasia umum, kalau banyak dari anak-anak yang diajak mengemis itu hanya sewaan. Tarifnya hanya berkisar Rp 30 ribu per dua jam atau Rp 200 ribu seharian
Awalnya, sewa-menyewa bayi ini dilakukan hanya oleh teman akrab atau paling tidak sudah saling mengenal. Seperti sesama pengemis atau tetangga misalnya. Tapi nampaknya makin kemari, asalkan ada uang, siapapun boleh meminjam si bayi. Harga sewa sejatinya juga tidak pasti, ada yang memberlakukan Rp 30 ribu per dua jam atau malah Rp 200 ribu seharian. Dengan catatan, makan dan susu menjadi tanggung jawab si penyewa. Umur bayi ternyata juga tidak mempengaruhi harga sewa. Ada yang masih bayi sampai anak-anak yang sudah duduk di bangku taman kanak-kanak.
ADVERTISEMENTS
2. Lebih mirisnya lagi, bayi itu kemudian diberi obat tidur agar tak rewel dan bisa diajak mengemis kemanapun dengan leluasa. Kok tega ya orangtuanya?
Apa kamu sadar, bayi-bayi yang dibawa pengemis seringkali didapati tengah tidur terlelap di gendongan “orangtua”nya. Padahal, mereka berada di bawah terik matahari dengan suara bisingnya kendaraan. Bukankah bayi yang normal akan menangis sebagai permintaan untuk minimal berteduh, atau bahkan pulang? Ya, tak hanya miris, ini juga ironis. Sudah cukup banyak polisi mengungkap sejumlah indikasi penggunaan obat tidur kepada bayi-bayi malang ini. Bayangkan, bagaimana kesehatan mereka kalau setiap diajak mengemis harus meminum minimal satu dosis obat tidur? Ini masalah serius bagi Indonesia.
ADVERTISEMENTS
3. Ada juga yang menggunakan ‘trik’ kaki buntung demi sebuah belas kasihan. Beberapa dari mereka tertangkap saat razia dan terpaksa mengakui bahwa kaki itu hanya sebuah ‘rekayasa’
Trik ini pun seringkali disebut sebagai trik klasik, saking seringnya digunakan oleh banyak pengemis di seantero negeri. Kamu salah kalau beranggapan bahwa semua pengemis berkaki buntung patut dikasihani. Banyak kisah ketika mereka terkena razia dan diminta polisi untuk membuka celana, barulah terbukti bahwa sebenarnya kakinya masih utuh dan tidak putus. Melainkan hanya dilipat dan disembunyikan di balik celana yang dipakai dobel. Percayalah, tampang memelas dan bahkan kondisi fisik yang cacat, ternyata tak menjamin kondisi si pengemis benar-benar mengenaskan dan layak dikasihani.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
4. Trik hamil pun sering dilakukan untuk mengundang banyak simpati serta menambah pendapatan. Apa iya lihat perempuan hamil kamu jadi makin kasihan?
Seberapa sering kamu melihat pengemis perempuan tengah duduk di perempatan jalan raya, dan tak jarang berbaur di tengah kemacetan? Mungkin sebagian orang akan bergumam, betapa dramatisnya hidup mereka. Pihak Dinas Sosial ternyata juga tak jarang menjemput para pengemis yang tengah hamil ini, dan pada akhirnya mendapati bahwa kehamilan itu hanyalah tipu daya belaka. Setelah diperiksa, perutnya yang buncit hanyalah sebuah bantal yang sengaja diganjal. Padahal, kalau ditanya orang mereka akan mengatakan, sebentar lagi waktunya melahirkan dan tak punya uang perawatan. Masih mau percaya?
ADVERTISEMENTS
5. Ada yang pura-pura buta tapi ternyata bisa berlari melarikan diri ketika dikejar petugas
Modus yang digunakan pengemis gadungan satu ini juga sudah terlalu mainstream. Biasanya, sang pengemis akan menjalankan aksinya dengan ditemani seorang pria atau wanita yang selalu mendampinginya kemana-mana. Logikanya begini, kalau beneran buta kenapa malah tidak berhenti di satu titik atau memutuskan untuk mangkal? Seringkali mereka lebih suka berpindah-pindah tempat yang bahkan tak terkira jauhnya. Petugas Dinas Sosial pernah menghampiri dua orang pengemis yang nampak seperti orang buta. Siapa yang menyangka, keduanya malah berlari dan berupaya kabur? Padahal, akting buta dan cara jalannya meyakinkan.
6. Pengemis dengan luka borok di tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya juga tak jauh beda. Kalau luka palsu itu dibuat dengan kreatifitas sedemikian rupa, kenapa tidak jadi artis sekalian
Ini pasti bukanlah hal baru bagimu. Beberapa pengemis yang sengaja tergeletak di jalanan atau emperan toko sambil memperlihatkan luka borok yang sudah membusuk. Meski nampak parah, pengemis-pengemis ini bukannya pergi ke rumah sakit tapi malah berada di jalanan yang kotor sambil terus mengemis. Bukannya kalau mau mengurus surat miskin dan segala tetek bengeknya, juga ada pengobatan gratis dari pemerintah? Jangan kaget ya, mereka biasanya menggunakan bahan terasi yang dicampur dengan obat merah untuk ‘membuat’ borok. Karena terasi yang digunakan, jangan heran pula kalau banyak lalat yang menghampiri. Dengan lalat-lalat itu tadi, bukankah makin meyakinkan para calon pemberi?
Pada akhirnys bukan mengajari untuk tak lagi memberi, namun kita perlu paham konteks dibaliknya. Jangan tertipu dengan mereka yang memang hanya memanipulasi rasa iba-mu. Mereka yang benar-benar putus asa karena tidak punya uang sekalipun, seharusnya juga dibimbing untuk cari cara yang lebih baik daripada mengemis. Terbiasa hanya meminta dengan menengadahkan tangan, justru seringkali akan berujung kemalasan. Maka dari itu sepertinya tidak ada faedah membagi-bagikan uang kembalianmu di pinggir jalan.