We’re all pretty disabled on the cosmic scale. What difference is a few muscle more or less?
Di hadapan alam semesta, mungkin kita semua sebenarnya cacat. Apalah bedanya beberapa otot yang kurang atau lebih?
Stephen Hawking pernah berkata begitu tentang penyakit yang membuat semua otot tubuhnya mati perlahan-lahan, Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Meski membuatnya lumpuh dan kehilangan hampir semua kemampuan otot geraknya, ALS tampaknya tidak pernah bisa membendung pemikiran Hawking yang luar biasa. Namun Hawking yang memiliki salah satu otak paling hebat dalam sejarah ini, juga mendapat sedikit bantuan dari teknologi dalam bentuk kursi rodanya yang super canggih.
Kursi roda merupakan bagian tak terlepaskan dari kisah hidup Stephen Hawking. Kursi rodanya bahkan tampaknya berevolusi atau berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Ketika ia mulai tidak bisa berjalan, tidak bisa menggerakkan tangannya, hingga akhirnya tidak bisa berbicara, Hawking masih bisa menulis, mengajar, bahkan ber-Skype lewat teknologi yang dipasang di kursi rodanya. Teknologi apa saja sih yang sebenarnya terpasang di kursi roda iconic Stephen Hawking? Yuk lihat langsung lewat rangkuman Hipwee News & Feature ini!
ADVERTISEMENTS
1. Ingin dikenang lewat teori dan pemikirannya, Stephen Hawking awalnya sulit mengakui kondisi penyakitnya. Bahkan ketika tidak bisa berjalan, ia bersikeras tak ingin pakai kursi roda
Walaupun sudah sangat sulit berjalan dengan tongkat karena kakinya semakin lemah, Stephen Hawking yang memang terkenal keras kepala, terus menolak untuk memakai kursi roda. Baru setelah desakan keluarga dan kerabat terdekatnya, Hawking akhirnya mulai menggunakan kursi roda pada akhir tahun 1960-an. Kursi roda pertama Hawking pun sama fungsinya dengan kursi roda yang dikenal pada umumnya. Tapi namanya juga Stephen Hawking, sosok eksentrik ini justru kemudian terkenal dengan gaya agresifnya ‘mengendarai’ kursi roda barunya.
ADVERTISEMENTS
2. Kursi rodanya mulai di-‘sulap’ jadi spesial pertama kali dengan program komputer Equalizer. Program ini membantu Hawking berkomunikasi setelah benar-benar tidak bisa bicara sejak tahun 1985
ALS yang diderita Hawking membuatnya perlahan-lahan kehilangan semua gerak otot di tubuhnya, termasuk kemampuan untuk berbicara. Bicaranya mulai tidak jelas dan hanya orang-orang terdekatnya saja yang mampu mengerti. Namun serangan pneumonia hebat pada tahun 1985 yang mengharuskannya menjalani tracheotomy, akhirnya membuat Hawking 100% kehilangan kemampuan berbicaranya.
Setelah tragedi yang hampir merenggut nyawanya tersebut, Stephen Hawking awalnya berkomunikasi dengan kartu mengeja. Ia akan menggerakkan alisnya ke atas jika huruf atau kata yang dikehendaki muncul. Baru pada tahun 1986, CEO dari perusahaan bernama Words Plus menawarkan program komputer bernama “Equalizer”. Pada zaman itu, komputer ini cukup canggih karena bisa membantu Hawking memilih kata dari 2500-3000 bank kata dengan single click. Orang-orang lalu bisa membaca apa yang ditulis Hawking lewat layar komputer.
ADVERTISEMENTS
3. Supaya tidak hanya bisa berkomunikasi di depan PC, seorang ilmuwan komputer akhirnya membuat komputer mini yang dipasang di kursi rodanya. Akhirnya program Equalizernya bisa diajak jalan-jalan~
Setelah fasih menggunakan Equalizer, seorang ahli komputer bernama David akhirnya membuat komputer kecil yang bisa dipasang di kursi roda Stephen Hawking pada tahun 1987. Sejak saat itu, Hawking bisa berkomunikasi lewat Equalizer di mana pun dan kapan pun. Bahkan berkat teknologi ini, Hawking merasa lebih bebas berkomunikasi dibanding sebelum benar-benar kehilangan suaranya. Meski hanya mampu menulis 15 kata per menit, teknologi ini memungkinkan Hawking terus mengejar kariernya sebagai dosen maupun ilmuwan.
ADVERTISEMENTS
4. Setelah bisa diterjemahkan dalam bentuk tulisan lewat Equalizer, ada teknologi Speech Synthesizer yang membantu Hawking ‘bicara’ dengan suara buatan
Meskipun sudah bisa berkomunikasi lewat tulisan, kursi roda Stephen Hawking kemudian di-upgrade dengan Speech Synthesizer. Teknologi ini mengubah input tulisan Hawking menjadi suara. Suara buatan ini memang sekilas terdengar seperti suara robot tapi ada pilihan aksen tertentu seperti Inggris, Amerika, dan Skotlandia. Teknologi ini kemudian seringkali dipakai ketika Hawking mengajar mahasiswanya di Cambridge atau ketika ‘berbicara’ di seminar internasional.
ADVERTISEMENTS
5. Pada tahun 1997, Stephen Hawking memulai kerjasama seumur hidupnya dengan Intel® Corporation. Tiap dua tahun sekali, program dan hardware kursi rodanya di-update oleh perusahaan teknologi ini
Sebagaimana dijelaskan dalam website pribadinya, hawking.org.uk, komputer kursi roda Stephen Hawking saat ini adalah hasil kerja samanya dengan Intel® Corporation. Sebelumnya bertemu co-founder Intel, Gordon Moore, pada tahun 1997, sistem komputer Hawking yang hanya menggunakan AMD processor kemudian digantikan Intel micro-processor dengan software yang disebut ACAT. Sistem dan peralatan komputernya pun diganti oleh Intel tiap dua tahun sekali. Seluruh teknologi terbaru dikembangkan sesuai kebutuhan dan perkembangan penyakit Stephen Hawking.
ADVERTISEMENTS
6. Lalu pada tahun 2005, Stephen Hawking mulai kehilangan kemampuannya menggerakkan tangan dan jarinya. Akhirnya dikembangkan sistem komputer yang bisa dikendalikan hanya lewat otot pipinya
Selama ini Stephen Hawking menggerakan seluruh fungsi di kursi roda canggihnya dengan satu kursor pengendali di tangannya. Tetapi pada tahun 2005, ALS-nya semakin parah sampai ia kesulitan menggerakkan jari-jarinya. Maka dari itu Intel mengembangkan sensor infra merah khusus untuk mendeteksi gerakan pipi Hawking. Dengan sedikit menggerakkan pipinya, Hawking bisa memilih kata, berselancar di internet, atau ber-Skype dengan sejawatnya. Bank kata yang pertama kali dikembangkan pada zaman Equalizer awal juga di-update oleh startup asal London SwitfKey, menjadi software pintar yang bisa memprediksi kata-kata yang akan dipakai Stephen Hawking.
Mengamati perkembangan penyakit ALS Hawking yang semakin memburuk, Intel sebenarnya juga mencoba bereksperimen dengan teknologi komunikasi inovatif lainnya. Mulai dari software canggih untuk membaca pola otak hingga ekspresi wajah. Namun hingga akhir hayatnya, Stephen Hawking mengaku paling nyaman dengan sensor yang ada di pipinya. Dengan bantuan teknologi tersebut, Stephen Hawking berhasil mengalahkan segala keterbatasannya dan terus berkarya menguak misteri alam semesta. Bahkan beberapa minggu sebelum kematiannya, Hawking mengumpulkan karya terakhirnya berjudul ‘A Smooth Exit From Eternal Inflation’ yang katanya berisi teori tentang bagaimana dunia ini akan berakhir. Karya terakhir Hawking ini langsung menjadi bahan diskusi dan perdebatan oleh semua ilmuwan dunia.
Mungkin memang hanya seorang Stephen Hawking yang bisa mendapat kursi roda secanggih itu, tetapi kisah hidupnya bisa menjadi inspirasi bagi semua orang. Siapapun dengan kondisi maupun keterbatasan seperti apapun, tetap bisa sukses menggapai mimpi jika memiliki jiwa pantang menyerah dan dukungan yang tepat. Anak-anak difabel seperti Bulan Karunia Rudianti yang sempat viral di medsos setelah meminta bantuan kursi roda ke Presiden pun sama. Jika mendapat perhatian dan dukungan yang sesuai dari seluruh lapisan masyarakat, mereka yang terlahir dengan ‘kekurangan’ pun pastinya bisa memaksimalkan potensinya masing-masing.