Minggu lalu saya dan mungkin banyak juga pembaca di sini dikejutkan dengan berita kematian bayi berusia 4 bulan bernama Tiara Debora Simanjorang. Sebagaimana dilansir CNN, kematian bayi malang itu diduga akibat pelayanan RS Mitra Keluarga yang dinilai lamban karena orang tuanya kesulitan dana. Kejadian ini awalnya dibagikan oleh akun Facebook bernama Birgaldo Sinaga. Tak butuh waktu lama, kisah bayi Debora pun dalam sekejap viral dan banyak mendapat atensi publik. Banyak juga yang mengecam pelayanan di RS tersebut.
Hingga saat ini kasus memilukan tersebut masih terus ditelisik berbagai pihak. Kisah ini seakan menguak realita pahit pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Padahal sama-sama manusia yang bisa saja sakit dan butuh perawatan, tapi karena uang, nasibnya bisa sangat berbeda. Nah, bagaimana perkembangannya? Yuk simak rangkuman Hipwee News & Feature soal 6 fakta yang sudah kita tahu tentang kasus bayi Debora berikut ini!
ADVERTISEMENTS
Berdasarkan pengakuan orang tuanya, bayi Deborah tidak mendapat perawatan dari RS Mitra Keluarga Kalideres lantaran tak mampu membayar uang muka
Minggu (3/9) kemarin pasangan Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang, warga Jalan Jaung, Benda, Tangerang, membawa bayi mereka yang bernama Debora, ke RS Mitra Keluarga Kalideres untuk berobat. RS itu dipilih karena paling dekat dengan rumahnya. Sebelumnya, sudah seminggu Debora mengalami flu dan batuk. Tapi pada Sabtu malamnya, kondisi bayi itu terus memburuk dan mengalami sesak nafas.
Sesampainya di RS dokter jaga langsung memberi pertolongan pertama melalui penyedotan. Karena kondisi terus memburuk, dokter menyarankan Debora untuk dibawa ke PICU (Pediatric Intensive Care Unit). Tapi sebelum bisa ditangani di sana, orang tua harus mengurus administrasi lebih dulu termasuk membayar uang muka. Di sinilah awal mula terjadinya keribetan hingga bayi Debora harus meregang nyawa.
ADVERTISEMENTS
Karena RS tak bekerjasama dengan BPJS, orang tua Debora diharuskan membayar uang muka dengan nominal Rp19.800.000!
RS Mitra Keluarga tidak menerima pasien dengan BPJS karena memang tak menjalin kerjasama dengan pemerintah. Karena itulah orangtua Debora diharuskan membayar uang muka sejumlah hampir Rp20 juta agar anaknya bisa ditangani di PICU. Henny dan Rudianto menjelaskan pada pihak RS bahwa mereka cuma punya uang Rp5 juta. Tapi berdasarkan keterangan Henny, uang itu justru ditolak meski ia berjanji akan melunasinya. Pihak RS mengusulkan agar pasangan suami istri itu menghubungi RS lain yang memang bekerjasama dengan BPJS.
Tapi hingga waktu menunjukkan pukul 10 pagi, mereka tak kunjung mendapat ruang PICU kosong di RS mitra BPJS, sampai akhirnya bayi Debora meninggal dunia.
ADVERTISEMENTS
Lain halnya dengan keterangan yang disampaikan pihak RS Mitra Keluarga, yang mengatakan kalau bayi Debora punya kelainan jantung dan menderita gizi buruk
Mengetahui kisah ini viral di berbagai media, pihak RS Mitra Keluarga memberi klarifikasi. Menurut mereka, saat dibawa ke RS bayi Debora sudah dalam keadaan membiru. Dalam keterangan laman resmi RS tersebut seperti dilansir di CNN, pasien punya riwayat lahir prematur, penyakit jantung bawaan, dan gizi buruk. Pihak RS juga menyatakan telah memberi penanganan pada pasien seperti enyedotan lendir, pemompaan oksigen, infus, suntikan dan pengencer dahak. Setelah ditangani, kondisi Debora saat itu membaik meski masih kritis.
Karena kondisinya yang tak kunjung stabil, pihak RS menawarkan dibawa ke PICU, tapi orang tua keberatan karena kendala biaya. RS mengaku membantu mencarikan RS lain yang bermitra dengan BPJS yang punya ruang khusus untuk perawatan intensif anak. Setelah telepon sana-sini, sebenarnya sudah ditemukan RS yang bersedia merawat bayi Debora, tapi takdir berkata lain, ia justru tak selamat.
ADVERTISEMENTS
Terlepas dari segala klarifikasi kedua belah pihak, sudah seharusnya fasilitas pelayanan kesehatan memberikan pertolongan pada setiap pasien gawat darurat, meski terbentur biaya
Dilansir dari laman Kompas, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto, mengatakan kalau RS manapun harus segera melakukan penanganan pertama sesuai gejala pasien yang bersangkutan untuk menstabilkan kondisi. Bila berhasil, pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap, tapi jika gagal pasien harus dirujuk ke ICU, PICU, atau MICU. Ketentuan ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat.
Sedangkan Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta menambahkan bahwa setiap warga Indonesia, baik dalam kondisi mampu maupun tidak, punya hak pelayanan kesehatan yang dijamin dalam UUD 1945. Indonesia juga punya UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan kalau RS wajib menangani pasien gawat darurat sesuai kemampuannya. Di sana tak ada pembeda antara pasien berduit atau tidak.
ADVERTISEMENTS
Menurut Priharto, masih banyak RS yang belum tahu kalau setiap kegiatan gawat darurat, meski RS belum bekerjasama dengan pemerintah, BPJS tetap akan menanggung
Inilah aturan yang belum banyak diketahui RS. Priharto menyatakan kalau meski RS belum bekerjasama dengan BPJS, seluruh biaya perawatan pasien BPJS tetap akan ditanggung. Biaya ini mencakup penanganan selama berada di unit gawat darurat. Menurutnya, persoalan ini memang belum tersosialisasi dengan baik sehingga RS yang belum kerjasama dengan BPJS akan melempar pasien BPJS ke rumah sakit lain yang sudah kerjasama dengan pemerintah.
ADVERTISEMENTS
Selain itu masih banyak juga RS swasta yang enggan kerjasama dengan BPJS karena sistem penghitungan biayanya dianggap tak mampu menutupi beban RS
RS swasta memang dikenal dengan biaya perawatannya yang lebih mahal dari RS pemerintah. Menurut Marius Wijayarta, seperti dilansir BBC, keengganan RS bekerjasama dengan BPJS adalah karena sistem penghitungan biayanya dianggap tak dapat menutupi beban RS khususnya RS swasta. Tapi juru bicara Kementerian Kesehatan Busroni  justru menyangkal hal itu. Ia mengatakan tarif BPJS di setiap rumah sakit sudah sama.
Saat ini, Polda Metro Jaya terus mendalami kasus ini, meski belum ada laporan dari pihak keluarga Debora. Karena mengabaikan keselamatan orang yang sedang kritis adalah tindakan melanggar hukum yang tak bisa dibenarkan sedikitpun. Pihak Dinkes juga berencana memanggil pihak RS dan keluarga Debora untuk mengorek keterangan lebih dalam. Sebenarnya kalau pihak RS paham soal hukum yang mengatur hak-hak pasien dan sistem BPJS di Indonesia, kejadian di atas lebih bisa dicegah ya. Menurutmu gimana?