Demo mahasiswa dua hari belakangan kian meluas di gedung DPR banyak kota. Di Jakarta, bara semangat mahasiswa dari berbagai universitas membuat cuaca depan Gedung DPR/MPR RI kian panas. Gelombang mahasiswa yang turun ke jalan adalah akumulasi kekecewaan terhadap isi sejumlah rancangan kebijakan yang sudah dibahas DPR dan pemerintah, seperti RUU KUHP dan UU KPK yang dirasa sangat bermasalah.
Melanjutkan demo yang sebelumnya dilaksanakan pada Senin (23/9), hari Selasa (24/9) gelombang tuntutan masa semakin memanjang dengan kedatangan mahasiswa dari luar kota. Masing-masing mengenakan jas almamater lengkap dengan papan aspirasi yang menggambarkan kemarahan atau kegemasan atas pasal yang dirasa terlalu jauh memasuki ranah privat warga negara, salah satunya pasal-pasal yang mengatur perzinaan dan aktivitas seksual.
ADVERTISEMENTS
Tuntutan mahasiswa pada kali ini jelas, RUU KUHP dan UU KPK jangan hanya sekadar ditunda melainkan harus dibatalkan pengesahannya
Mahasiswa pada aksi kali ini membawa tujuh tuntutan utama. Di antaranya menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Ketenegakerjaan. Lalu mendesak pembatalan UU KPK dan UU SDA dan menuntut agar RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Kendati Menkopolhukam Wiranto mengklaim tuntutan mahasiswa telah terpenuhi lantaran pengesahan sejumlah RUU ditunda, mahasiswa tetap membantah dengan tegas bahwa yang diinginkan hanyalah pembatalan bukan sekadar penundaan pengesahan belaka.
Mahasiswa merasa jika sekadar ditunda, pengesahan RUU bermasalah bisa saja disahkan sewaktu-waktu. Oleh karena itu, mahasiswa akan terus melakukan pengawalan hingga adanya kepastian dari DPR kalau pengesahan RUU dibatalkan atau tidak dibahas di periode ini.
ADVERTISEMENTS
Mahasiswa bukan ingin melengserkan Jokowi sebagaimana dituduhkan, melainkan meminta pembuktian akan janji-janji politik sang Presiden
Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa baik di Jakarta maupun banyak kota lainnya bukan bertujuan melengserkan Jokowi. Mahasiswa hanya ingin Presiden Republik Indonesia ke-7 itu melaksanakan janji-janji politiknya, seperti dukungan pada pemberantasan korupsi dan penguatan KPK. Bukan malah sebaliknya, menolak mencabut UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau UU KPK versi revisi, yang jelas akan melemahkan kinerja KPK sebagai lembaga independen. Mahasiswa merasa janji Jokowi hanyalah halusinasi.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Penggalangan dana publik untuk mendukung aksi “Reformasi Dikorupsi” adalah bukti bahwa gerakan mahasiswa tidak ditunggangi pihak manapun
Salah satu alasan paling masuk akal untuk menepis tuduhan aksi mahasiswa ditunggangi berbagai pihak adalah fakta bahwa penggalangan dana publik dilakukan untuk mendukung aksi protes yang bertajuk “Reformasi Dikorupsi” di Gedung DPR/MPR RI 23-24 September tempo hari. Tidak ada “investor” yang menyokong aksi protes mahasiswa. Salah satu penggalangan dana yang diinisiasi oleh Ananda Wardhana Badudu melalui Kitabisa.com bahkan menembus angka sekitar Rp175 juta. Dana tersebut digunakan untuk mengakomodir kebutuhan mahasiswa selama demonstrasi, seperti ambulan, oksigen dan keperluan lainnya dengan rincian penggunaan dana yang dilaporkan secara terbuka di media sosial oleh Ananda.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Menjelang malam, aparat terus menambah lapisan pasukan untuk memukul mundur gerakan mahasiswa
Hingga Maghrib, selain hujan gas air mata yang selalu berbalik arah sehingga menyusahkan mereka sendiri, langkah aparat cukup kooperatif dengan mahasiswa. Setelahnya aparat menambah pasukan dan menggerakkan mobil Brimob untuk mendesak mahasiswa yang dari arah Semanggi berikut ancaman penangkapan jika mahasiswa menolak untuk mundur.
Aksi saling lempar batu antara aparat dan mahasiswa sempat terjadi. Di lain sisi, sekolompok mahasiswa menantang mobil Brimob dengan menyanyikan bait lagu “Indonesia Pusaka”, sebagai wujud atas apa yang mereka perjuangkan. “…tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata”
Sikap aparat dirasa melanggar UU Pers terhadap jurnalis yang meliput demonstrasi mahasiswa
Praktik aparat yang masih belum paham dan tak menghargai perundang-undangan yang melindungi proses kerja jurnalistik masih terus terjadi. Beberapa kali intimidasi ditujukan kepada jurnalis yang mengambil gambar saat demonstrasi Selasa kemarin (24/9) di depan Gedung DPR/MPR RI.
Aparat mulai represif terhadap massa aksi ketika malam menjelang. Beberapa orang jurnalis bahkan dipaksa untuk menghapus gambar yang baru saja ia rekam. Saya sendiri sempat dipaksa mundur keluar barisan setelah mengabadikan gambar. Bahkan di sekitaran Bundaran Slipi, warga yang melintas dan merekam aktivitas polisi menekan mundur massa aksi juga tak luput dari hardikan untuk tidak merekam apapun.
Ricuh di Bundaran Slipi bukan dilakukan oleh mahasiswa, melainkan warga yang geram karena gas air mata sudah masuk ke pemukiman
Mahasiswa yang dipukul mundur oleh aparat dengan gas air mata bergerak sampai ke arah Palmerah. Sementara di Bundaran Slipi, ricuh yang masih berlangsung diduga terjadi antara warga setempat yang geram karena gas air mata yang dihujani oleh aparat sampai ke pemukiman warga. Oleh massa yang diduga bukan mahasiswa, pos polisi, papan reklame dan beberapa motor yang terparkir di belakang pos polisi dibakar. Sementara kaca halte Transjakarta Slipi Petamburan tak luput dari pengrusakan.
Secara praktis, demonstrasi memang tidak serta merta mengubah keadaan. Tapi, apa yang dilakukan mahasiswa dan elemen masyarakat pada dua hari belakangan di seluruh Indonesia adalah sikap yang mesti diapresiasi sebagai sebuah aksi langsung terhadap ketimpangan.