Wisuda seperti yang kita tahu, erat kaitannya dengan prosesi sakral yang dilewati mereka setelah lulus jenjang universitas. Untuk bisa mencapai wisuda itu sendiri, dibutuhkan proses yang tidak mudah. Selain perjalanan perkuliahan panjang menyita pikiran dan tenaga, ada juga proses pengerjaan skripsi atau tugas akhir dengan segala drama di dalamnya. Makanya, tidak heran kalau para orangtua di luar sana, akan bahagia bukan main kalau anak-anaknya bisa memakai toga di acara wisuda.
Sayangnya, istilah wisuda saat ini udah mulai bergeser setelah banyaknya lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menggunakan kata ini buat menyebut perpisahan anak didiknya. Tak lupa dengan toga lengkap, dandanan bak orang dewasa, serta prosesi memindahkan kuncir tali toga dari kiri ke kanan. Acara semacam ini mengundang kritik dari banyak pihak, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), karena dianggap tidak etis. Kira-kira apa sih alasannya? Nih, Hipwee News & Feature sudah merangkumnya buat kamu.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
1. Dilihat dari filosofi ‘wisuda’ itu sendiri aja udah melenceng, ya jelas berlebihan kalau ‘lulus’ PAUD aja udah pakai toga segala
Arti kata ‘wisuda’ kalau dilihat di KBBI adalah peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Dengan makna sakral ini tentu wisuda akan lebih tepat jika dilakukan di level perguruan tinggi. Tidak cuma arti wisuda, jubah hitam serta topi toga yang dipakai wisudawan/ti saat prosesi juga sarat akan makna mendalam. Kalau kamu penasaran soal “gaun” ini, Hipwee udah pernah mengulasnya di sini.
ADVERTISEMENTS
2. Kalau anak dibiasakan merasakan wisuda sejak lulus PAUD sampai kuliah, bukan tidak mungkin esensi wisuda itu makin berkurang
Perhelatan wisuda diharapkan bisa jadi ajang melepas kelegaan bagi mereka setelah menyelesaikan tugas akhir yang tidak mudah. Memakai toga juga biasanya jadi pemacu semangat mereka yang masih berjuang menyelesaikan skripsi. Tapi kalau dari PAUD, SD, SMP, dan SMA aja anak udah dibiasakan menjalani wisuda lengkap dengan toga, esensi wisuda sesungguhnya jadi makin berkurang. Mereka jadi tidak merasakan lagi keistimewaan wisuda saat lepas kuliah, karena berpikir, “Ah, pakai toga lagi? Udah pernah~”
ADVERTISEMENTS
3. Sedihnya, prosesi semacam ini juga seringkali membebani ortu dari segi biaya. Padahal perjalanan si anak masih panjaaang!
Untuk bisa melewati proses wisuda ala-ala ini, ternyata tidak sedikit ortu yang merasa terbebani dengan biaya yang harus dikeluarkan, mulai dari menyewa toga, bayar jasa makeup, bikin/beli/sewa kebaya dan jas ortu, dan lain-lain. Padahal si anaknya baru juga lulus PAUD, perjalanannya masih begitu panjang. Uang yang seharusnya bisa buat tambah-tambah biaya masuk SD dan seterusnya jadi terbuang buat hal yang sebenarnya tidak perlu dan nirfaedah.
ADVERTISEMENTS
4. Rasanya tidak berlebihan kalau kebiasaan ini sama aja kayak mengeksploitasi anak karena menempatkan mereka tidak pada kodratnya
Mungkin secara tidak sadar, prosesi semacam ini malah sama aja kayak mengeksploitasi anak di bawah umur, karena memperlakukan mereka tidak pada umurnya. Ya, anak mana yang minta didandani di umur segitu? Ngerti aja belum. Mereka masih berada di fase dimana keinginan terbesarnya cuma bermain dan mengekplorasi hal-hal baru. Bukan didandani sebagaimana yang dilakukan orang dewasa saat menjalani rangkaian wisuda. Kalau udah didandani begitu pasti ortunya bakal sibuk memfoto anaknya dan menyeleksi mana foto terbaik untuk diunggah ke medsos.
ADVERTISEMENTS
5. Bisa jadi mereka ini cuma latah sama sekolah-sekolah internasional yang memang mengadopsi budaya ‘graduation‘ di setiap jenjang pendidikannya
Di beberapa negara barat, proses wisuda memang kerap dilalui anak-anak usia sekolah saat sudah dinyatakan lulus. Tapi meski begitu, biasanya graduation dilakukan dari jenjang SD, bukan TK apalagi PAUD. Nah, sekolah-sekolah bertaraf internasional di Indonesia kebanyakan mengadopsi budaya ini, yang mana banyak ditiru sama lembaga-lembaga PAUD.
6. Daripada mengusung konsep wisuda selayaknya sarjana, mending pakai kata ‘Perpisahan’ atau ‘Pelepasan’ dan diisi dengan kegiatan-kegiatan positif
Agaknya kata ‘Perpisahan’ atau ‘Pelepasan’ bakal jauh lebih layak untuk menggambarkan prosesi acara kelulusan peserta didik PAUD ini. Beberapa sekolah juga ada yang memakai istilah ‘Penyerahan’, yang mana berarti menyerahkan kembali anak-anak didik kepada orangtua masing-masing, setelah beberapa tahun diasuh dan dididik secara formal oleh sekolahnya.
Selain pengubahan istilah wisuda, akan lebih baik lagi kalau dalam acara itu juga menampilkan kegiatan-kegiatan positif yang sesuai dengan usia mereka dan mengasah kreatifitas, seperti menampilkan tarian-tarian, nyanyian, drama musikal, dan lain-lain. Bisa juga dengan melibatkan orangtua murid melakukan berbagai pertunjukkan. Intinya sih tidak perlu lah terlalu serius macam wisuda beneran~