Beberapa perubahan yang dilakukan oleh KPU dan segenap penyelenggara debat capres Pemilu 2019 kedua semalam tampak menyajikan sejumlah perbedaan. Misalnya, jawaban-jawaban spontan tampak lebih sering terucap, sebagian diiringi tampang dan gestur gugup. Sementara sebagian lainnya adalah komentar-komentar ofensif yang tampaknya kurang bijak. Ada yang bersifat strategis dan taktis, ada pula yang tak lebih dari sekadar blunder.
Topik debat capres kedua semalam adalah perihal energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Dibanding topik di edisi debat lainnya nanti, naga-naganya topik ini yang paling tidak terlalu akrab bagi sebagian besar penonton, kecuali mereka yang punya perhatian terhadap isu terkait, khususnya para aktivis lingkungan dan pangan.
Sayangnya, ini termasuk juga Pak Prabowo. Beliau terlihat kurang siap dan tidak familiar dengan apa yang disampaikannya sendiri, apalagi oleh apa yang meluncur dari mulut Pak Jokowi. Oiya, saya tidak cuma bicara soal unicorn yak. Yakinlah sebagian besar dari kamu-kamu yang mengaku anak millenial gaul SWAG juga pasti awalnya ndak ngerti juga sebelum akhirnya jadi diksi paling populer dalam waktu semalam.
Sebagai orang yang kesal sekali dengan kebijakan-kebijakan lingkungan dan agraria dari Pak Jokowi, saya berharap Pak Prabowo bisa “menghajar” dan memberikan perlawanan. Tapi beliau ini semacam mahasiswa ujian lisan yang belajar kebut semalam. Materinya tipis, cuma hapalan. Analisisnya tumpul, tanpa ada pemahaman teknis tindakan pemerintah, atau perbendaharaan kasus-kasus terkait.
Berikut adalah luapan kegemasan saya tatkala menonton debat semalam. Seharusnya lima hal ini turut jadi percakapan yang berpeluang menguntungkan Pak Prabowo agar bisa di atas angin melawan Pak Jokowi, tapi terpaksa kita harus puas dengan obrolan semacam “yang online online itu ya”.
ADVERTISEMENTS
1.Pertama, klaim Pak Jokowi bahwa tidak ada kebakaran hutan dan lahan dalam kurun tiga tahun terakhir itu sejatinya adalah blunder, bisa “diskak mat” sebagai pernyataan bohong
Sebuah klaim sensasional sesungguhnya tatkala pemerintah berani bilang bahwa kebakaran hutan ada di titik nihil. “Dalam tiga tahun ini tidak terjadi kebakaran lahan, hutan, kebakaran lahan gambut, dan itu adalah kerja keras kita semuanya,” tukas Pak Presiden di Hotel Sultan, kemarin.
Tak sepenuhnya keliru jika Pak Jokowi membusungkan dada terkait penanganan kebakaran hutan. Namun, “tidak ada” adalah sebuah klaim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukan bahwa memang terdapat penurunan drastis kebakaran di tahun 2015 hingga 2017. Angka 891.275 hektare lahan gambut yang terbakar di tahun 2015 turun menjadi 97.787 hektare pada 2016, dan 13.555 hektare pada 2017. Namun, angka kebakaran kembali melejit di tahun 2018, yakni 125.340 hektare.
Turun dari panggung, Pak Jokowi baru mengakui bahwa apa yang sudah terlanjur dikatakannya keliru. “Saya sampaikan kami bisa mengatasi kebakaran dalam tiga tahun ini, artinya bukan tidak ada, tapi turun drastis, turun 85 persen lebih,” ujarnya di Pandeglang, Banten, Senin, 18 Februari 2019, seperti dikutip dari Tempo.
Argumen lain Jokowi dari koreksinya (yang terlambat) itu adalah bahwa peristiwa kebakaran tidak pernah sampai mengganggu jadwal penerbangan dan protes asap dari negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Beliau lantas meminta pernyataannya semalam tak direspons terlampau berlebihan. “Jangan dilebih-lebihkan seperti itu,” ujarnya.
Lah, yang melebih-lebihkan (prestasi) kan situ, Pak? 🙁
ADVERTISEMENTS
2. Serupa, bahkan mungkin lebih parah. Konflik pembebasan lahan keluar dari mulut Pak Jokowi sebagai problem yang “hampir tidak pernah terjadi”, padahal ini adalah permasalahan negeri kita sehari-hari.
“Pak Prabowo bisa lihat dalam empat setengah tahun ini hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita. Karena apa? [Karena] tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung,” tukas Pak Jokowi semalam.
Sebagai orang yang doyan mengikuti isu-isu agraria, saya tercekat dengan pernyataan Pak Jokowi. Berharap sekali Pak Prabowo bisa “menegur” pernyataan itu, namun ia pun malah terlalu fanatis dengan kalimat “impor-impor” dan “kekayaan yang dibawa lari dari Indonesia”.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan bahwa sepanjang 2018 terdapat 300 kasus konflik agraria yang terjadi di 16 provinsi. Dari sana muncul 367 pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hingga penembakan, penganiayaan, dan kriminalisasi warga sipil yang mencoba mempertahankan lahannya.
Cek saja di Google, negara kita banjir konflik. Mulai dari perjuangan warga Kendeng menolak pembangunan dua pabrik semen level internasional, yakni Indocement dan Semen Indonesia. Ada juga perjuangan warga Sukamulya dan Teluk Jambe di Jawa Barat yang berjuang mempertahankan tanah garapannya. Kasus limbah beracun di Lidarkowo, Jawa Timur pun belum kelar, sementara warga Pesanggaran di Banyuwangi masih jatuh bangun melindungi gunung Tumpang Pitu dari tambang emas sampai dituduh komunis segala.
Yang paling akrab bagi saya adalah proyek bandara baru di Kulon Progo, New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang sudah menggusur ratusan rumah dan sawah (yang terbukti suburnya). Bandara ini memang dibangun lantaran Bandara Adi Sutjipto dipandang sudah tak lagi cukup memenuhi kebutuhan penerbangan di Jogja. Naik pesawat memang penting, tapi–sejak kuota internet tidak bisa dimakan—lebih penting mana dengan menjaga ketahanan pangan?
Ini lebih dari persoalan ganti untung, ganti rugi, atau ganti presiden, Pak ~
ADVERTISEMENTS
3. Pekerjaan rumah negara kita sekarang adalah menciptakan pembangunan yang berkesadaran lingkungan. Ini bisa sekali dikritisi ketika tema soal tata kelola perkebunan sawit diutarakan
Pertanyaan itu muncul dibacakan oleh moderator Tommy Tjokro dalam segmen kedua.
“Sawit merupakan komoditas strategis. Saat ini, lahan perkebunan sawit telah mencapai 14 juta hektare. Namun, sistem perkebunan sawit dan pengelolaannya masih menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Pertanyaannya, bagaimana kebijakan dan strategi Bapak untuk memperbaiki tata kelola sawit?”
Perhatikan, di pertanyaan itu sudah ada sejumlah kata kunci: “menimbulkan masalah sosial dan lingkungan,” serta “tata kelola”.
Tapi jawaban dari kedua capres ini zonk. Mereka seakan kompak untuk abai soal dampak lingkungan dan tata kelolanya, yang penting adalah produksi, produksi, dan produksi.
Pak Jokowi menggembar-gemborkan angka produksi sawit Indonesia yang mencapai 46 juta ton per tahun dan melibatkan petani kurang lebih 16 juta orang.
Alih-alih mempertanyakan atau membantai pernyataan itu, Pak Prabowo justru terang-terangan menyatakan SEPAKAT dengan menegaskan bahwa produk kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi biofuel, biodiesel, dan meningkatkan pendapatan petani. “Tidak hanya kelapa sawit, aren, kasava, bahkan etanol dari gula semua akan kita gunakan. Agar kita bisa tidak mengimpor bahan energi dari luar negeri,” ujarnya, ntap.
Padahal, laporan Greenpeace mengatakan bahwa 25 produsen minyak sawit di Indonesia telah membabat 130 ribu hektare hutan dalam empat tahun terakhir. Cara termurah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit memang dengan pengalihan lahan hutan, padahal tentu itu tidak ramah lingkungan. Tindakan ini akan merusak keanekaragaman hayati, karena tak semua fauna bisa hidup di perkebunan kelapa sawit.
Dilansir dari Asumsi, Ariful Amri selaku peneliti lingkungan dari Universitas Riau juga pernah meneliti kerusakan tanah yang diakibatkan perkebunan kelapa sawit. Satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah dalam satu hari, dan hal ini kerap memicu banjir dan longsor.
Plus, kita belum bicara soal –lagi-lagi–potensi konflik agraria dengan masyarakat sekitarnya. Sudah ditanyakan, tapi memang tidak ada yang menjawab.
ADVERTISEMENTS
4. Kala debat masuk sesi yang mempersilakan kedua capres untuk memberikan pertanyaan bebas, sejumlah isu krusial luput diulas, misalnya proyek-proyek reklamasi yang serampangan
Isu proyek-proyek reklamasi yang merongrong keseimbangan alam kita sebenarnya sudah cukup banyak mendapat atensi di berbagi media, aktivis, dan komunitas. Ambil contoh, yang paling tenar saja, yakni reklamasi Teluk Benoa di Bali dan reklamasi Teluk Jakarta. Faktanya, malah cuma dua kali kata “reklamasi” muncul sepanjang debat semalam.
Padahal Pak Prabowo berpeluang melontarkan pertanyaan tajam terkait Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) yang mengeluarkan izin lokasi di kawasan Teluk Benoa, Bali. Izin ini dikeluarkan atas permohonan yang disampaikan PT Tirta Wahana Bali Internasional dengan luas sekitar 700 hektare.
Walhi berpendapat bahwa penerbitan izin lokasi di Teluk Benoa dianggap dilakukan secara diam-diam. Aksi tanpa sosialisasi ini membuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi terkesan “menusuk dari belakang” gerakan menolak reklamasi yang dilakukan secara gencar oleh sebagian rakyat Bali.
ADVERTISEMENTS
5. Nah, Freeport bagi Pak Jokowi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi adalah prestasi, namun di sisi lain adalah celah untuk dibabat. Dan Pak Prabowo memilih untuk mendiamkan isu ini
Kepemilikan mayoritas saham 51 persen atas Freeport seringkali diungkap sebagai prestasi pemerintahan Pak Jokowi. Entah, mungkin itu yang membuat Pak Prabowo justru sengaja menghindarkan wacana debat ke arah sana, padahal kepemilikan Freeport itu bukan berarti tanpa persoalan.
Akhir tahun kemarin, belasan eks pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI) melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta. Mereka menolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh PTFI karena dinilai melanggar Undang-Undang dan etika bisnis. PTFI memang melakukan PHK massal demi memberlakukan furlough atau kebijakan efisiensi strategis karena adanya tarik ulur perundingan antara pemerintah Indonesia dengan PTFI terkait divestasi saham. Bahkan, manajemen PTFI juga sudah mencabut berbagai fasilitas yang mestinya diterima karyawannya, contohnya fasilitas BPJS Kesehatan. Tercatat, kebijakan ini membuat 35 orang meninggal dunia akibat tidak mampu membayar biaya berobat ke rumah sakit.
Presiden Jokowi belum lama sudah turun lapangan menemui perwakilan eks karyawan PT Freeport Indonesia, namun tindakan lanjut yang diambil belum banyak berarti .
Hmm.. begitupun tantangan yang diberikan Pak Prabowo ke Pak Jokowi semalam.