Hari Senin, 23 April 2018 kemarin, Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia berubah jadi ‘hijau’. Bukan karena pemerintah setempat melakukan penanaman pohon atau penghijauan lingkungan, melainkan karena ‘diwarnai’ demo besar yang dilakukan dua raksasa ojek daring Go-Jek dan Grab. Para driver ojek daring atau online tampaknya mulai gerah dan jengah atas kondisi saat ini yang dinilai semakin merugikan mereka.
Di lansir dari Kompas Azaz Igor Nainggolan perwakilan dari Forum Peduli Transportasi Online Indonesia (FPTOI) menyarankan agar DPR dan pemerintah harus segera membuat regulasi ojek online. Lalu, apa sih sebenarnya yang dituntut dari teman-teman ojek daring hingga melakukan demo besar di depan gedung DPR hari Senin kemarin? Yuk, kita simak ulasannya bareng Hipwee News & Feature!
ADVERTISEMENTS
1. Secara hukum keberadaan ojek daring di Indonesia ternyata belum sepenuhnya legal. Sebenarnya sama saja ojek daring di Indonesia belum diakui keberadaannya
Inilah poin utama yang ingin disampaikan teman-teman ojek daring pada hari Senin, 23 April 2018 kemarin dengan menggelar “Aksi Akbar 234“. Karena hingga saat ini baik Go-Jek atau PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa dan Grab atau PT. Sarana Transportasi Indonesia belum berbadan hukum. Boleh dibilang mereka merupakan perusahaan ilegal. Padahal keduanya sudah lama beroperasi namun belum ada tanggapan serius dari pihak terkait, Dishub. Hm, pantas saja para abang dan mbak ojol (ojek online) mulai gerah dan ingin disegerakan perusahaan tempat mereka bekerja dilegalkan.
ADVERTISEMENTS
2. Perlindungan hukum yang belum memadai, membuat para driver ojek daring merasa tidak dianggap sebagai tenaga kerja Indonesia
Umumnya, perjanjian kerja sama antara pekerja dengan perusahaan harus ada penyataan hitam di atas putih dengan bubuhan materai. Yang sedang melanda perusahaan daring dengan drivernya hingga saat ini belum ada perjanjian di hadapan hukum, dalam hal ini kemitraan.
Misalnya nih, jika pihak perusahaan melakukan perubahan perjanjian maka harus ada persetujuan dari pihak pekerja. Jadi salah satu pihak tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Inilah yang sedang dikhawatirkan oleh para driver ojek daring. Apabila ada kebijakan secara sepihak dari perusahaan, mereka tidak bisa mengelak dan menuntut. Karena dasar hukumnya aja tidak ada.
“Perlindungan hukum terhadap driver bukanlah perlindungan bagi pekerja seperti halnya perjanjian kerja, melainkan perlindungan sebagai pihak dalam sebuah perjanjian kemitraan.” lansiran Hukum Online.
ADVERTISEMENTS
3. Driver ojek daring juga menuntut penetapan tarif standar. Tarif yang berlaku saat ini dinilai teramat rendah yaitu Rp1.600 per kilometer. Kalau begini keadaannya bagaimana bisa menutup biaya hidup yang kian meninggi?
Biaya hidup kian mahal dibarengi dengan kebutuhan yang semakin banyak. Sementara tarif dasar ojek daring dinilai sangat rendah, yakni Rp1.600 per kilometer. Tarif standar yang dinilai pantas berkisar antara Rp3.000 – Rp4.000 per kilometer. Karena itulah pendapatan tidak seberapa masuk kantong. Harus cari uang di mana lagi agar dapur tetap ngepul?
FYI, bahwa selama ini tarif dasar ditentukan oleh pihak aplikator atau perusahaan aplikasi dalam tarnapostasi daring, bukan pemerintah. Balik lagi, itu semua karena aplikator belum berbadan hukum. Jadinya regulasi berantakan, penetapan tarif dasar semaunya perusahaan.
ADVERTISEMENTS
Aspirasi ini jelas harus didengar, tapi alangkah baiknya jika tetap tertib dan damai. Jangan seperti kelakuan beberapa oknum driver ojek daring yang melakukan sweeping terhadap sesama driver
Namun di balik pentingnya aspirasi-aspirasi yang disampaikan para ojol ini, sayanganya aksi demonstrasi ini diwarnai dengan beberapa tindak anarkis. Beberapa oknum melakukan sweeping terhadap driver ojek daring yang tidak ikut demo Aksi Akbar 234 dan tetap ngojek. Mereka yang tidak ikut demo dianggap tidak solidaritas. Bukan hanya diberhentikan dan menurunpaksa si penumpang, driver ojek daring yang tidak ikut demo diberi hukuman squad jump, itu pun direkam di hadapan umum oleh rekan-rekan sesama driver ojek daring. Miris…!
Parahnya lagi, dalam sebuah postingan video pada akun instagram @semangatojol, salah satu driver ojek daring yang terjaring sweeping terlibat adu mulut dengan sekelompok driver ojek lainnya. Mereka yang melakukan sweeping memaksa si driver agar ikutan demo. Hingga salah satu dari mereka karena saking kesalnya melakukan pemukulan menggunakan helm terhadap driver yang itdak ikut demo tersebut.
Boleh saja menyampaikan aspirasi, tapi sebaiknya jangan dibarengi emosi. Apalagi sampai anarkis. Tidak hanya mendengarkan, tapi pemerintah juga harus segera mencari solusi yang tepat bagi dilema berkepanjangan ini. Masalahnya, peran ojol kayaknya semakin besar dan makin tidak tergantikan dalam kehidupan sehari-hari warga Indonesia~