Kepergian seseorang dalam hidup kita bisa jadi salah satu pengalaman terberat yang selalu menguras air mata. Apalagi jika yang pergi selamanya adalah kerabat, teman, atau keluarga terdekat yang tiap harinya mengisi hari-hari. Hidup kita bakal berubah untuk selamanya. Makanya kita seringkali tak habis pikir jika mendengar berita seperti ini. Di Grobogan, Jawa Tengah, jasad seorang nenek meninggal dunia ditemukan dalam keadaan sudah hampir jadi tulang belulang di rumahnya sendiri.
Dilansir dari laman Kompas, pihak berwajib memperkirakan nenek yang akrab disapa Mbah Mulyati (59) ini telah meninggal selama kurang lebih 3 bulan lamanya sebelum tak sengaja ditemukan tetangganya Sabtu kemarin (9/9). Setiap ada kasus seperti ini kita seperti dipaksa bercermin dan refleksi diri, apa mungkin cara kita bermasyarakat kini sudah terlalu acuh dan tidak peduli sesama? Kemanakah anak-anak dan kerabatnya selama ini? Kenapa juga sampai 3 bulan lamanya tidak ada yang sekadar menanyakan kabar Mbah Mulyati?
Masalah individualisme yang katanya sudah menjadi-jadi di perkotaan, nyatanya juga punya dimensi lain di pedesaan. Kalau di perkotaan, kasus yang seringkali meresahkan adalah kematian-kematian tak terdeteksi di kamar kos. Di pedesaan, ternyata ada banyak lansia yang hidup sendiri tanpa mendapat perhatian yang cukup seperti Mbah Mulyati ini. Simak info selengkapnya bareng Hipwee News & Feature!
ADVERTISEMENTS
Menurut warga setempat Mbah Mulyati memiliki gangguan jiwa. Tapi masa iya harus diabaikan dan diasingkan sama sekali?
Sebagaimana dilaporkan Kompas, Mbah Mulyati, pertama kali ditemukan oleh seorang warga yang tadinya hendak memasang batok batas rumah. Ia pun berinisiatif meminjam cangkul kepada Mbah Mulyati, namun betapa kagetnya ketika ia menemukan jasad Mbah Mulyati terbaring terlentang di kamarnya dengan kondisi yang sudah mulai mengering dan tampak tulang belulangnya. Warga tersebut kemudian segera memberitahukan pada anaknya yang tinggal di desa sebelah dan melaporkannya pada pihak berwajib.
Berdasarkan olah TKP, tidak ada tanda-tanda kekerasan terhadap jasad Mbah Mulyati. Meskipun banyak yang mengatakan bahwa di masa tuanya Mbah Mulyati menderita gangguan jiwa dan sering bepergian sendiri, masa iya sih keluarga dan kerabatnya membiarkan nenek berusia 59 tahun ini hidup sendiri dan tidak dibesuk sama sekali? Buktinya, selama 3 bulan belakangan tidak ada satu pun anak dan tetangganya yang mengetahui kabar Mbah Mulyati.
ADVERTISEMENTS
Akhir-akhir ini memang makin banyak anak yang hidup terpisah dengan orang tua. Tapi jelas itu berarti bukan sama sekali mengabaikan kesejahteraan mereka di hari tua
Menurut informasi, anak dari Mbah Mulyati tinggal dengan keluarganya di desa sebelah. Ini menandakan bahwa mungkin saja anak dari Mbah Mulyati memang sudah memberikan ‘ruang tersendiri’ untuk Mbah Mulyati dalam menghabiskan masa tuanya. Namun haruskah sang anak sama sekali tak peduli sampai selama 3 bulan lamanya orang tua yang telah membesarkannya saja tidak pernah ia sambangi?
Usia yang semakin senja, semakin orang tidak berdaya untuk merawat dirinya sendiri. Belum lagi soal penyakit yang seringnya mendera di masa tua. Di saat-saat ini seseorang justru membutuhkan perhatian lebih, bukannya diabaikan. Terutama jika ia menderita gangguan jiwa, bukannya malah ditinggalkan seharusnya justru diberi perawatan khusus. Kalau di negara maju, pemerintah biasanya menyediakan panti jompo yang dikelola profesional untuk menangani lansia. Ini pun harus dengan persetujuan dari kerabat dan dipertanggungjawabkan langsung ke kerabatnya. Di Indonesia, membawa lansia ke panti jompo masih dianggap suatu aib dan tindakan kurang bermoral. Tapi bukankah jika ditinggalkan seperti ini makin tidak bermoral?
ADVERTISEMENTS
Bagaimana pun kita nggak bisa hidup tanpa orang lain. Mau merasa semandiri apa pun kita suatu saat kita membutuhkan pertolongan
Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup seorang diri. Tapi makin terdegradasinya karakter manusia yang seolah sudah tidak saling membutuhkan makin membuat hubungan sosial antar manusia jadi terkikis. Terkadang kita mungkin merasa kita bisa hidup sendiri, membiayai hidup secara mandiri hingga mencukupi semua kebutuhan sendiri. Orang lain dianggap hanyalah outsider dalam hidup kita. Kita lah yang menentukan kesuksesan, kita pula yang menuai kesuksesan.
Tapi sadarkah kita suatu saat kita pasti membutuhkan pertolongan? Bagaimana pun kitatidak pernah tahu kapan kita sakit, kapan kita celaka, dan kapan kita mengalami petaka. Kehadiran orang lain sesungguhnya sangat bermakna dan bisa mengubah hidup kita. Tapi kita makin nggak peduli.
ADVERTISEMENTS
Makin kesini, makin banyak orang yang individualis. Mulai dari nggak saling bertegur sapa, sampai saling tidak peduli
Sebenarnya permasalahan soal individualisme sudah jadi keresahan semenjak seratus tahun yang lalu. Banyak ilmuwan sosial yang memetakan gimana sifat manusia yang egois dan ingin sendiri ini tidak peduli dengan masalah kelompok. Nah di Indonesia sendiri, budaya individualisme jauh sekali dengan budaya tradisional kita. Dari kecil kita tentunya diajarkan bagaimana menghargai orang lain, tolong menolong, tenggang rasa, hingga toleransi.
Namun batasan itu akhir-akhir ini sungguh kacau. Kita justru makin tidak peduli orang yang seharusnya ditolong tetapi sangat peduli pada orang yang kita agung-agungkan. Sesama teman kos, sesama teman satu kampus jarang sekali bertegur sapa. Namun artis internasional diluar sana kita sangat kenal dan peduli. Wah mungkin kita harus mulai berbenah dari diri sendiri ya guys.
Kematian memang bukan sesuatu yang bisa diramalkan. Tapi kematian seringnya jadi sebuah kehilangan bagi kita yang masih hidup. Selagi orang tua kita, keluarga, sahabat, dan kerabat kita masih sama-sama menghirup nafas kehidupan. Nggak ada salahnya kita saling berbagi kebahagiaan dan peduli satu sama lain. Saling tolong menolong dan memberikan perhatian. Tidak ada satu orang pun yang ingin diabaikan bukan?