Yogyakarta, 25 November 2018 – Sejumlah film panjang maupun pendek karya sutradara ternama Garin Nugroho akan ditayangkan kembali ke publik selama Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) berlangsung pada 27 November hingga 4 Desember 2018.
Melalui terobosannya dalam film-film seperti “Cinta dalam Sepotong Roti” (1990) dan “Daun di Atas Bantal” (1998), Garin telah sukses meletakkan film Indonesia di peta sinema dunia. Budi Irawanto selaku presiden dari JAFF mengatakan bahwa ketika “Cinta dalam Sepotong Roti” dirilis, layar perak sinema Indonesia memasuki sebuah era yang baru.
“Ini karena belum pernah ada preseden sebelumnya, dan film ini amat berbeda dengan kebanyakan film yang tengah beredar. Garin membuat film ini di bawah pengaruh gaya New Wave dari Perancis yang menyuarakan kegelisah kaum muda di era rezim Orde Baru yang represif,”
“Cinta dalam Sepotong Roti” sukses menyabet Piala Citra sebagai Film Terbaik di tahun 1991. Melalui film ini, Garin juga mendapat penghargaan Sutradara Muda Terbaik di Asia Pacific Film Festival.
Prestasi Garin sebagai seorang sutradara kemudian menjadi jauh melampaui batas kota dan negara asalnya. Karya-karyanya banyak tampil di berbagai festival film di seluruh dunia hingga bagi penikmat sinema global, nama Indonesia begitu lekat dengan sosok Garin sebagai sutradara berbakat. Karene itulah, Budi menjuluki Garin sebagai “Sang Juru Peta
Sejarah” untuk sinema Indonesia.
Sepanjang karirnya, Garin senantiasa rajin mendobrak batas-batas dalam sinema. Garin secara konsisten melakukan eksplorasi estetika sinema sekaligus mengangkat aspek-aspek sejarah Indonesia sebagai latar dari sejumlah film yang ia buat. “Setan Jawa,” “Nyai,” (2016) dan “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015) mengambil latar periode penjajahan Belanda. “Soegija” terjadi di era peralihan pendudukan Jepang, tepat sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, “Puisi Yang Tak Terkuburkan” (2000) menyorot peristiwa pembunuhan massal di tahun 1965. Selain topik sejarahnya, film ini juga tercatat sebagai film yang menggunakan kamera video Betacam untuk kemudian ditransfer ke dalam pita seluloid (35 mm), sebuah langkah yang kemudian banyak ditiru sutradara muda karena menjamin proses syuting yang lebih efisien.
Garin juga memiliki kepedulian terhadap corak budaya di berbagai era. “Daun di Atas Bantal” dan “Generasi Biru” (2009) menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia di akhir masa kekuasaan Orde Baru. “Mata Tertutup” mewakili keresahan banyak orang terhadap radikalisme agama dan perang terhadap terorisme yang menjadi topik dominan di tatanan global semenjak serangan 11 September 2001.
Tidak tanggung-tanggung, Garin juga menunjukkan dedikasinya terhadap gaya dramaturgi seni pertunjukan tradisional di film “Nyai” (2016) di mana pengambilan gambar dilakukan hanya sekali tanpa terputus. Sementara itu, “Setan Jawa” (2018) adalah kolaborasi medium film dan kelompok gamelan atau orkestra yang bermain secara langsung selama pemutaran, sebuah dedikasi lain dari Garin untuk film-film klasik seperti “Nosferatu” karya F. W. Murnau dan “Metropolis” karya Fritz Lang.
Karya Garin yang terbaru, “Kucumbu Tubuh Indahku” (2018) adalah sebuah film yang mewakili gerakan kaum minoritas seksual. Film ini berhasil masuk ke dalam sebuah sesi kompetisi bergengsi Orizzonti Competition di Venice Film Festival pada 29 Agustus – 8 September lalu.
Kentalnya semangat eksplorasi, eksprimentasi dan avant garde di setiap karya dari Garin Nugroho menyebabkan sang sutradara kerap dikritik hanya ingin memuaskan dewan juri di kacah festival internasional. Namun, film-film Garin senantiasa beriringan dengan perubahan politik, sosial dan teknologi yang terjadi di masyarakat lokal maupun global.
JAFF mengajak penikmat sinema untuk kembali menyimak karya-karya Garin yang monumental selama festival berlangsung di Yogyakarta mulai 27 November hingga 4 Desember 2018. Dengan menonton film-film ini, kita bisa ikut ke dalam sebuah perjalanan artistik dan kultural yang tidak pernah mengenal kata henti.
Berikut daftar lengkap karya-karya Garin yang akan ditayangkan di JAFF tahun ini.
Film Panjang:
1. “Cinta Dalam Sepotong Roti” (1990)
Jumat, 30 November – Empire XXI Studio B – 16.00
2. “Surat Untuk Bidadari”/“A Letter for an Angel” (1994)
Minggu, 2 Desember – Cinemaxx Cinema A – 19.00
3. “Puisi Tak Terkuburkan”/“A Poet: Unconcealed Poetry” (1999)
Kamis, 29 November – Empire XXI Studio B – 13.00
4. “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja”/“Bird-man Tale” (2002)
Kamis, 29 November – Empire XXI Studio A – 16.00
5. “Opera Jawa” (2006)
Rabu, 28 November – Cinemaxx Cinema A – 16.00
6. “Mata Tertutup”/“The Blindfold” (2011)
Kamis, 29 November – Empire XXI Studio A – 10.00
7. “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015)
Kamis, 29 November – Empire XXI Studio B – 13.00
8. “Kucumbu Tubuh Indahku”/“Memories of My Body” (2018)
Senin, 3 Desember — Empire XXI Studio A – 19.00
Selasa, 4 Desember — Cinemaxx Cinema A – 10.00
Film Pendek: Sabtu, 1 Desember — Cinemaxx Cinema A – 13.00
1. “Gerbong 1,2,…/Railway Coaches 1,2,…” (1985, 13 menit)
2. “Aikon: Sebuah Peta Budaya/Icon: A Cultural Map” (1995, 55 menit)
3. “Dongeng Kancil Untuk Kemerdekaan” (1995, 55 menit)
4. “My Family. My Film. My Nation” (1998, 35 menit)