“Enak ya kerja di Jakarta, pasti gajinya besar!”
“Wah keren ya tinggal di Jakarta….” (tanpa ada alasan yang jelas, kenapa dianggap keren)
Entah kenapa masih saja ada komentar seperti itu berseliweran di pendengaran saya. Sebagai Ibukota Negara, apapun yang berembel-embel Jakarta pasti dianggap “Wah” oleh orang-orang yang tinggal di luar Jakarta dan sekitarnya. Padahal (bukan bermaksud ingin mengeluh apalagi tidak bersyukur) menjadi bagian dari geliat kesibukan Kota Metropolutan itu tak selalu “wah”. Justru tantangan yang harus dihadapi para pengais rezeki di Jakarta lebih besar. Karena itu, saya lebih suka dengan orang-orang yang mengamini kehidupan di Jakarta itu keras, sekalipun mereka tak menjadi bagian di dalamnya.
ADVERTISEMENTS
Saking kerasnya membuat saya tak punya impian untuk tinggal selamanya di Jakarta
Lahir dan besar di Jakarta memang membuat saya terbiasa dengan lika-liku kehidupan di sini. Tapi setelah merantau dan merasakan perbedaan hidup di kota lain, membuat saya berpikir dua kali untuk seumur hidup menjadi bagian dari Jakarta. Terlebih ketika merasakan dunia kerja di sini, ada memang saat-saat menyenangkannya, tapi ada juga pengorbanan yang harus dibayar setiap harinya.
ADVERTISEMENTS
Sekeras apa sih Jakarta? sampai dengan beraninya merasa beban hidup di sini lebih berat dari mereka yang tinggal di daerah lainnya
Sambat soal kehidupan di Jakarta jelas tak ada habisnya. Orang boleh bilang lebay, tapi memang hidup di Kota Metropulutan ini tak akan bisa membuatmu lepas dari jeratan “sambat”. Contoh kecilnya saya sebagai warga pinggiran yang kemana-mana bergantung dengan transportasi umum, salah satunya kereta. Kereta listrik di Jakarta memang sudah jauh lebih bagus dari 7 atau 8 tahun yang lalu, tapi bukan berarti segala perjuangan para penggunannya berakhir begitu saja.
Drama-drama per-kereta-api-an tetap datang silih berganti, mulai dari jumlah penumpang di jam sibuk yang tak manusiawi, jadwal kereta yang molor berjam-jam lamanya, sampai soal ego masing-masing penumpang yang kadang bikin elus dada. Dan yang paling terasa ketika merasakan jadi penumpang kereta berkebutuhan khusus alias ibu hamil, jangan dipikir mendapat tempat duduk semudah mengedipkan mata. Beruntung kalau naik kereta isinya pekerja yang sudah saling mengerti, tapi kalau sudah bertemu penumpang musiman yang bodo amat, persoalan meminta tempat duduk akan ada banyak lika-likunya.
Saat-saat menunggu kereta pun bukan hanya derita untuk ibu hamil saja, tapi semua penumpang yang sedang dikejar jam kerja. Kereta telat 10 sampai 15 menit saja hati bisa patah hingga berkali-kali. Sudah berangkat pagi tapi ujung-ujung telat sampai kantor, atau sudah pulang cepat tapi sampai rumah tetap saja tak bisa menikmati senja sore hari. Lantas pengorbanannya di mana? jelas di waktu dan juga kesejahteraan diri. Menjadi pekerja di Jakarta yang tinggal di pinggiran Ibukota atau kota penyanggahnya, mengharuskan diri mengorbankan 3 bahkan 6 jam waktunya habis di jalan. Lelah dan bosan tak perlu ditanya, tapi hebatnya kita semua punya cara untuk menjaga kewarasan tetap ada.
ADVERTISEMENTS
Dari secuil gambaran kerasnya hidup di Jakarta tadi tetap ada hikmah ataupun pelajaran hidup yang bisa diambil
Kan tak ada salahnya, sambat jalan setiap harinya, asalkan di baliknya tetap ada hikmah ataupun pelajaran hidup yang bisa selalu diambil. Dari secuil pengalaman naik kereta sehari-hari, setidaknya saya mengasah rasa toleransi dalam diri, belajar kuat, tegas dan bijak sesuai porsi yang dibutuhkan dalam berbagai kondisi. Setidaknya juga kerasanya hidup di Jakarta bisa menjadi cerita yang kita bagi. Meskipun rasanya sulit, tapi bukankah seni hidup itu kadang lebih terasa di masa-masa sulit? Sementara di masa-masa bahagia, orang seringnya lupa kalau dirinya pun sedang diuji coba.
ADVERTISEMENTS
Jadi, Jakarta tak hanya sekadar gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, tempat nongkrong elit, ataupun fasilitas transportasi yang serba lengkap seperti MRT
Aslinya semua kehidupan di kota atau daerah manapun bisa sama-sama keras atau tak menyenangkan, kalau memang kita tak tahu seni menghadapinya. Tapi teruntuk kalian yang masih menganggap tinggal di Jakarta “enak” coba deh jalani hidup barang dua atau seminggu saja di sini. Apa iya gambaran Jakarta masih soal gedung bertingkat, pusat perbelanjaan serta tempat nongkrong fancy yang menjamur di mana-mana, ataupun soal fasilitas transportasi umum yang dirasa lebih lengkap, terlebih lagi pasca MRT diuji coba?!
Lebih dari itu, Jakarta menurut saya tempat menemukan banyak cerita menarik dari manis pahitnya pengalaman hidup yang ada.