Buku kumpulan puisi Akhir dari Bentang Kita mungkin memang menyajikan tema yang biasa yaitu tentang cinta. Tapi tema yang biasa inilah yang bikin buku karya kontributor Hipwee ini menjadi sangat dekat bagi pembacanya. Tema percintaan dan perjalanan bangkit dari patah hati adalah perkara yang sering dihadapi manusia. Apalagi untuk anak muda yang kerap menemui jalan terjal dalam mencari cinta sejati nih.
Penulis buku ini, Megawati, ternyata sudah malang-melintang di dunia literasi. Karyanya dapat ditemukan di beberapa platfrom seperti Hipwee, Iqra.id, maupun Kompasiana. Bahkan karyanya berjudul “Abang Bersama Ombak” menjadi karya terbaik di Teater Syahid UIN Jakarta. Dengan berbekal kemampuan dan pengalaman itu, Megawati mampu menulis sekulumpulan puisi sarat cerita dan makna dalam buku “Akhir Bentang Kita”
Di lembar pertama buku ini, saya disambut puisi pertama dengan judul “Pertemuan Pertama”. Sebuah puisi manis yang membuat saya ingat masa jatuh cinta. Saya yakin, pembaca yang lain pun akan menyukai puisi karya Megawati ini. Terutama pembaca dengan rentang usia remaja sampai dewasa awal. Soalnya mereka sering bersinggungan dengan topik percintaan dan segala lika-likunya. Ditambah lagi, Megawati mampu mengolah kata-kata sehingga bikin pembaca penasaran.
Kisah macam apa yang mau disajikan Megawati si penulis? Satu yang pasti, penulis sudah mewanti-wanti sejak awal bahkan mulai dari judul bukunya. Pembaca seakan diperingatkan untuk nggak berharap tinggi isi bukunya bakal dipenuhi puisi-puisi uwu yang manis-manis saja.
ADVERTISEMENTS
Cerita sehari-hari nan sederhana menjadi bermakna dalam sekelumit puisi. Nggak cuma cerita senang-senang aja, kegetiran hidup pun dinikmati dengan cara yang lebih manis
Menyoal isi, buku Akhir dari Bentang Kita sebenarnya bermula dari ide yang sangat sederhana. Cerita sehari-hari yang tampak biasa dan bisa jadi nggak bermakna. Tapi justru Megawati mampu membuat sesuatu yang sederhana menjadi bermakna. Bukan cuma untuk dirinya tapi juga untuk saya dan mungkin pembaca lainnya.
Membaca buku ini rasanya seperti berjalan melewati hari demi hari dalam setahun. Saya dibuat merasa sedang jatuh cinta di beberapa lembar awal. Kemudian di lembar-lembar selanjutnya, saya akan dibuat patah hati karena jalinan kasih harus kandas. Lalu di lembar lain, pelan-pelan saya diajak untuk menemukan kekuatan. Sebuah akhir bisa jadi menciptakan awal yang baru.
Megawati seolah ingin mengatakan kalau jatuh cinta dan patah hati itu biasa aja. Meski rasanya memang menyakitkan. Setiap manusia pernah menaruh harapan bersama pujaan hati. Tapi terkadang semesta berkehendak lain. Bila itu terjadi, manusia harus merelakan harapan itu menjadi kenangan. Bisa jadi, manusia dipertemukan dengan manusia lain untuk saling mengikhlaskan, bukan untuk saling menggenggam.
Penulis cukup pintar menyematkan cerita dalam bait-bait puisinya. Cerita yang manusiawi sehingga saya merasa dekat dan seolah mengalami sendiri. Megawati berhasil menyelipkan peristiwa-peristwa penting selama beberapa waktu ini dalam kumpulan puisinya. Megawati ingin mengingatkan kalau seberapa dalam manusia terluka akan cinta, dunia akan tetap berputar. Waktu akan terus berjalan tanpa menunggu manusia berdamai dengan lukanya.
Nggak heran kalau membaca buku ini, saya bisa merasakan pedihnya melihat pernikahan mantan. Lantas di puisi lainnya, saya ikutan getir karena pandemi bikin banyak orang tertampar kesulitan. Nggak peduli manusia sudah meyembuhkan hati atau belum, kesulitan-kesulitan lain pasti datang. Di puisi selanjutnya, saya eperti diajak ngobrol soal penemuan diri sendiri. Jadinya, saya merasa apa yang ditulis oleh Megawati nggak beda jauh dari realita dan banyak orang mengalaminya. Dan cakepnya, semua itu dibingkai oleh penulis dengan kata-kata puitis.
ADVERTISEMENTS
Saya senang penulis nggak hanya menawarkan kegetiran. Setiap puisinya memiliki jalinan yang membentuk perjalanan waktu. Bagian terbaik, penulis mengajak saya menemukan harapan-harapan
Meskipun lebih banyak kepedihan yang dirayakan dalam buku kumpulan puisi ini, tapi saya nggak merasa terjebak perasaan suram. Alih-alih jadi murung dan terus bersedih, saya justru menemukan harapan-harapan setelah membacanya. Ini jadi bagian yang saya sukai. Pesan positif dan ajakan untuk bangkit secara tersirat disampaikan oleh penulis.
Salah satu puisi yang berkesan dalam buku ini bagi saya adalah puisi berjudul “Selesai dengan Dirimu”. Penulis lihai meramu kata positif untuk pembacanya nih. Setelah dibuat sedih karena putus cinta, penulis mengajak pembaca untuk lekas pulih. Melalui puisi itu, penulis menegaskan kalau bagian terindah dari sebuah perjalanan adalah menemukan diri sendiri.
Berkat puisi tersebut saya memberikan tepuk tangan kepada penulis soalnya mengingatkan pembaca tentang makna perjalanan. Kalau pembaca merasakan buku ini cukup pedih di awal, nggak apa-apa, lanjutkan saja membacanya. Bagai menyusuri goa yang gelap dan pelan-pelan melihat seberkas cahaya, begitulah pembaca akan merasakannya. Semakin lama pembaca akan menemukan titik terang yang penuh harapan.
ADVERTISEMENTS
Meski pemilihan diksi membuat saya kadang berpikir dua tiga kali, tapi ternyata dengan itu penulis bisa mengajak pembaca merenungkan lebih dalam tentang perjalanan hidup
Sepertinya ini jadi PR yang perlu diperhatikan oleh penulis. Ada beberapa diksi yang nggak pas digunakan. Alhasil malah bikin pembaca kebingungan. Terkadang pemilihan diksi ini bikin saya kesulitan menangkap makna dari satu baris puisi. Apalagi penulis cukup sering memadukan antara kata dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris nih. Nggak jarang ini membuat puisi menjadi semakin susah dipahami.
Misalnya potongan puisi berjudul “Tak Pernah Meminta untuk Tinggal” di halaman 47:
Dan mantranya merasuk mencuci nurani
Karena ia adalah toxic antara toxic kenestapaan
Nah, baris terakhir puisi di atas nggak mudah dipahami oleh pembaca. Apa yang dimaksud dengan “ia adalah toxic antara toxic kenestapaan”? Pemilihan diksi seperti ini sekiranya diperhatikan dengan baik agar apa yang ingin disampaikan oleh penulis, benar-benar ditangkap oleh pembaca. Pun di halaman 43, ada puisi berjudul “Kentang Merah”. Saya kembali menemukan pemilihan diksi yang kurang tepat nih.
Mencari trust di hati-hati manusia yang tak berkenal sapa
Supplier dan buyer yang berbuah manis di bibir
Impian masa depan yang siapa tahun esok jadi kenyataan
Kenikmatan membaca puisi berkurang jadinya kalau tiba-tiba menemukan kalimat seperti di atas. Ada baiknya penulis mencari padanan kata bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Selain nggak bikin puyeng pembaca, secara estetika pun terlihat lebih sedap di mata dan enak dibaca.
Oh ya, kesalahan penulisan juga cukup sering ditemukan dalam buku ini. Seperti kata “tahun” di atas yang seharusnya ditulis “tahu”. Pun dengan kata “koferensi” di halaman 4 yang seharusnya ditulis “konferensi”. Hal-hal kecil ini perlu dibenahi agar maknanya nggak rancu dan nggak ambigu.
Namun terlepas dari kekurangan yang ada, buku Akhir dari Bentang Kita ini bisa jadi asupan sore sambil menyeruput kopi lo. Biar suasana senja makin syahdu. Lagipula makna puisi dalam buku ini dapat dijadikan perenungan. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya nggak jauh-jauh soal kehidupan.
Jadi meski pemilihan diksi kadang kurang tepat, tapi Megawati selaku penulis mampu menghasilkan puisi yang penuh perenungan. Sebagai pembaca, saya seolah diajak untuk diam sejenak dan memikirkan perjalanan hidup selama ini. Usai membaca puisi-puisi Megawati, saya kembali mengartikan makna di balik masa-masa terpuruk saat hati remuk. Apa pelajaran yang bisa saya temukan dari serangkaian cerita tersebut? Perenungan ini jadi bagian penting selepas saya menuntaskan buku puisi Akhir dari Bentang Kita.
ADVERTISEMENTS
Informasi Buku
Judul: Akhir dari Bentang Kita
Penulis: Megawati
Tahun Terbit: 2020
Penerbit: Raden Pustaka
Editor: Tim Raden Pustaka
ISBN: 978-623-7118-64-0
Jumlah Halaman: 93