Labirin 8 chapter 6 by Eva Sri Rahayu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Satu per satu anggota tim mulai tumbang. Tanpa Wiratma yang dianggap memahami seni bangunan, mereka tetap harus menafsirkan kode-kode di ruangan. Ketakutan, penyesalan, kemarahan, kelaparan, mereka menyadari bahwa labirin tersebut memaksa mereka untuk bertindak lebih jauh, apa pun itu.
***
Semua mata tertuju pada pintu batu yang tertutup. Sesaat, tak ada yang bereaksi. Mendadak Tungga bangkit, berlari sempoyongan ke arah tembok itu. Dia menunjuk-nunjuk dinding itu sambil berteriak, “Mati kamu! Wiratma jahanam! Mati kamu! Kamu memang pantas mati!” Dia kemudian memukul-mukul dinding dengan membabi buta. Bunyi gesekan ruas jari dan dinding terdengar lamat-lamat di sela debam mengerikan. “Setan …!” lolongnya, sebelum ambruk. Pria itu menarik-narik rambutnya dengan kasar. Kemudian menangis sejadinya. Siapa pun dapat merasakan dari getar tangisnya yang menyayat, dia tak membenci Wiratma. Rasa kehilangan dan penyesalan menguar tajam seolah dapat meremukan tulang.
Setelah tangis Tungga mereda, Suacheng mendekati pria itu. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia meraih tangan Tungga yang terluka. Pelan-pelan dia meneteskan antiseptik ke bagian yang luka.
Tungga menangisi kepergian Wiratma | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Tenang dirimu. Kita enggak kepengin kehilangan anggota tim lagi,” ucap Anggara sambil menepuk pundak Tungga.
Suacheng kemudian berbalik, bermaksud menghampiri mayat Meta, tetapi Maya sudah lebih dulu melakukannya. Dilihatnya perempuan itu membetulkan posisi Meta yang kepalanya sempat jatuh mengenai lantai batu. Tangan perempuan itu merapikan rambut Meta, memperlakukan mayat itu dengan hati-hati.
“Maaf, ya, maaf, kami nggak menguburmu,” ujar Maya sungguh-sungguh.
“Kenapa kamu ngelakuin hal itu? Kamu penakut dan pengecut. Seharusnya kamu takut sama mayat itu!” tuding Kartika dengan mata mengilat.
Maya menunduk. “Aku sebenarnya takut. Takut banget. Tapi … ngebayangin seandainya aku ada di posisinya, aku pikir akan ngerasa sangat sedih kalau aku mati, mayatku ditelantarkan,” jawabnya pelan. “Tubuh, bukan sekadar kendaraan untuk jiwa. Pernah ada daya hidup di sana. Seumur karierku, aku selalu menulis tentang tubuh. Mengeksploitasinya. Menulis hal-hal erotis membuatku sadar, betapa pentingnya tubuh untuk manusia.”
Kartika tertawa sumbang. “Halah, sok berfilosofis! Filosofis-filosofis tai! Aku sudah mempelajari berbagai filosofis, simbol, dan semua tektek bengek itu. Tapi lihat … lihat bagaimana tadi aku gagal menerjemahkan. Satu orang mati di tanganku!” Matanya berkaca-kaca. “Bahkan, bahkan tubuhku membeku. Aku nggak mau menolongnya,” katanya, terpukul.
“Dalam keadaan terjepit, siapa pun akan berusaha mempertahankan hidupnya,” ucap Anggara. “Daripada terus menyalahkan diri, lebih baik kita cari jalan keluar lain.”
Kartika menggeleng, air matanya menetes. “Percuma! Semua yang kutahu selama ini sia-sia.”
“Buyut Mbah pernah bercerita, para leluhur kita, mempelajari sesuatu bukan hanya dengan akal. Tetapi dengan menyelaraskan lima hal. Cita, cipta, karsa, rasa, karya. Ketika kita terlalu bernafsu, kita tidak akan mendapat apa-apa,” celetuk Mbah Rakai tiba-tiba, membuat semua menoleh padanya. “Tapi, Mbah ora tau nurut. Jal presani sak niki, Mbah teko dadi kuncen palsu tok—Tapi Mbah tidak pernah menurut. Lihat Mbah sekarang, hanya jadi kuncen palsu.”
“Sekarang Mbah menghakimiku. Aku memang layak dihukum!” tukas Kartika, frustrasi.
“Lha, piye? Mbah ndak bermaksud begitu, Nduk. Mbah cuman cerita tok.”
Maya mendekati Kartika, bermaksud menghiburnya. Namun, Kartika melengos. “Biarkan aku sendiri,” ucapnya, kemudian tenggelam dalam kekosongan lamunan. Cahaya di matanya makin meredup.
Hening lama. Dalam serba ketidakpastian, waktu seolah berhenti. Sampai mereka tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu yang dilewati dalam kesenyapan.
Suacheng menjadi orang pertama yang bertindak. Dia mengeluarkan kertas-kertas dan mulai menggambar ulang pola relief dari kertas sebelumnya yang telah koyak.
“Mas, aku boleh minta kertasnya juga? Eh, kalau ada, sekalian dengan pulpennya,” pinta Maya.
Setelah mendapatkan benda-benda yang diperlukan dari Suacheng, dia mulai menulis.
Anggara mendekati Maya. “Kamu lagi nulis apa?” tanyanya dengan ekspresi penuh ketertarikan.
“Aku lagi mencatat semua kejadian di sini.” Mata Maya menerawang. “Jadi… seandainya aku tidak berhasil keluar, suatu hari akan ada yang menemukan catatan ini. Kalau ada yang terjebak lagi di sini, mereka bisa membaca petunjuk-petunjuk.”
Anggara mengangguk paham. “Oh, iya. Kamu penulis, ya.”
“Dhondhong opo salak, dhuku cilik-cilik—Kedondong apa salak, duku kecil-kecil. Ngandhong opo mbecak, mlaku timik-timik—Digendong apa naik becak, berjalan pelan-pelan,” Mbah Rakai nembang. Suara getirnya terdengar sayup-sayup.
“Aku kadang malu disebut penulis. Karyaku ‘kan… picisan,” kata Maya penuh ketidakpercayaan diri.
“Yah, aku sebelumnya pasti setuju. Sekarang sudut pandangku berbeda. Semua karya yang dibuat sungguh-sungguh layak diapresiasi,” ujar Anggara tanpa maksud menyenangkan perempuan di depannya.
“Aku dijuluki seniman prototype karena hanya bisa membuat satu barang. Seringkali malah nggak tuntas. Buatku yang penting bisa puas berekspresi. Ketika memahat, aku menemukan ketenangan,” timbrung Suacheng.
“Terima kasih, kalian. Meskipun seringnya aku menulis karena butuh uang.” Maya tersenyum samar pada kedua lelaki itu. “Aku merasa, labirin ini membuat kita menguliti sendiri watak diri. Manusia seperti bawang, punya banyak lapisan topeng. Hanya butuh sehari untuk membuatku berubah. Kartika benar, aku penakut. Tapi, ketakutan menghadapi apa pun ternyata tak lebih menyeramkan daripada menemui diri sendiri,” ucap Maya.
“Dhondhong opo salak, dhuku cilik-cilik—Kedondong apa salak, duku kecil-kecil. Ngandhong opo mbecak, mlaku timik-timik—Naik andong atau naik becak, berjalan pelan-pelan.”
Suacheng meraba-raba relief, mempelajari teksturnya. Dia berpindah-pindah, memeriksa berbagai sudut. Tangannya lalu menggaruk-garuk rambutnya. Ekspresinya serius. Dia menghela napas panjang berkali-kali, kemudian mendekati Maya dan Anggara. “Pahatan relief di ruang ini karakteristiknya berbeda. Ya, memang bentuk pahatan Borobudur ini banyak yang nggak konsisten. Tapi, maksudku, ini benar-benar berbeda. Teknik dan karakternya, seperti dibuat di masa yang beda,” jelas Suacheng sebisanya. “Mungkin lebih tua.”
“Aku pernah baca di satu buku, katanya bagian dasar Borobudur ini ditutup sebelum rampung pembangunannya. Di situ ada jejak tulisan bahasa Sansekerta dan aksara Jawa kuno, makanya ditaksir pembangunannya sekitar abad kedelapan. Bagian atasnya kan udah selesai dibangun, jadi… mungkin, nggak kalau bagian ini justru lebih muda?” tanya Maya.
Suacheng menggeleng. “Entahlah, tapi menurutku lebih tua. Logikanya suatu pembangunan, apalagi tempat yang sangat besar, semestinya dibangun dari fondasinya dulu.”
“Aku pernah mendapat informasi, bahwa Candi Borobudur dibangun sebagai semacam sekolah. Orang-orang yang belajar ke sini, datang dari berbagai belahan dunia,” tambah Anggara. “Jadi, mungkin pembangunannya bertahap. Bisa sebelum abad kedelapan. Hanya saja bangunannnya belum berbentuk seperti sekarang. Apalagi kalau benar bentuk yang dipahat di ruang misterius ini adalah mandalanya, kosmogram.”
Suacheng mengangguk-angguk. Dia mendatangi batu yang tadi ditekan Wiratma, disusul Anggara dan Maya. Batu itu tidak kembali ke tempat semula. Tetap menonjol sehingga memperlihatkan batuan lain di baliknya. Dia mendekatkan pelita agar dapat melihat pahatan di batu belakang. “Ada bentuk pahatan lain di situ.”
Suacheng, Angga, dan Maya melanjutkan penyelidikan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Pada bagian dasar Candi Borobudur, ditemukan pahatan yang tampak sengaja dirusak. Bahkan beberapa panel kemungkinan diganti,” ucap Maya. “Tapi sampai saat ini belum diketahui pasti alasannya. Lama sekali hal itu mengganggu pikiranku. Apakah pembuatnya ingin mengubah bentuk pahatan karena nggak sesuai? Atau ada pahatan yang harus ditutupi atau disembunyikan, atau justru mesti dilindungi?”
“Dalam perjalananku ke situs-situs. Aku menemukan kasus serupa. Ketika satu situs dialihfungsikan, corak-corak yang terdapat di sana nggak sesuai dengan fungsi barunya. Makanya, coraknya diubah. Tapi, entah kenapa para pemahat nggak menggunakan batuan baru. Tapi memahat corak di balik batuan lama. Kurasa itu ide brilian untuk melindungi bagian yang asli. Sehingga suatu ketika, saat di-track, peneliti yang jeli tetap mendapatkan keseluruhan informasi,” tambah Anggara.
“Kalau begitu, ayo kita congkel,” usul Suacheng.
Anggara dan Maya menatap ngeri pada Suacheng. Dalam benak keduanya, ide gila pria itu sudah pasti mustahil.
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.