NAMAKU Kalatimur Merona, nama pemberian ibuku tercinta. Aku lahir di waktu sangat pagi, orang menyebutnya “waktu fajar”. Selamat kepadaku, aku lahir di keluarga yang penuh kasih. Namaku Kalatimur Merona, aku tak tahu … sepertinya nama ini begitu berharga bagiku. Nama ini selalu kudengar di setiap lantunan doa bapak dan ibuku, di waktu pagi, siang, sore, dan malam. Atau mungkin di setiap embusan napas mereka.
***
SATU tahun sudah, hubungan tanpa nama ini kuselami bersama Diwangkara. Canda, tawa, sedih, sakit, ah … rasanya hampir semua telah kulalui bersamanya. Pertemuan kami yang terbilang cukup intens, memaksa ragaku untuk terbiasa berada di dekatnya. Tak mencium aroma tubuhnya sehari saja, otakku otomatis akan mengirimkan sinyal-sinyal aneh, yang kumaknai sebagai keresahan, kegelisahan, terkadang juga kekhawatiran.
Beberapa hari ini, perasaan tak masuk akal itu mulai rutin menyambangiku. Setidaknya sudah hari ke-6 Dika menolak bertemu. Katanya sibuk. Katanya banyak tugas. Katanya sedang tak ingin diganggu. Dan katanya-katanya yang lain. Meski ia sesekali masih membalas pesanku, tapi tetap saja, aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Awalnya aku berpikir, “Ah, sudahlah, mungkin dia memang sedang jenuh, butuh waktu sendiri. Ayo, jangan jadi egois!” Tapi segala kalimat-kalimat menenangkan yang entah muncul dari mana itu perlahan kalah dengan perasaan campur aduk ini. Heran, baru sekarang aku merasa kalah. Kalah oleh ego.
Aku tak sadar, sudah berapa lama aku melamun, hingga nada dering ponsel membuyarkan pikiranku. Kaget aku dibuatnya karena aku pikir nama Dikalah yang akan muncul di layar ponsel yang kubeli dari hasil tabunganku sendiri ini. Kupicingkan mata, oh ternyata ibu. Menit-menit selanjutnya aku tak bisa mengingat apa saja yang ibu katakan, karena pikiranku kembali pada satu nama itu. Diwangkara.
***
HARI ke-7 tanpa menatap wajahnya. “Dika … kamu di mana? Kamu ke mana? Kamu lagi sama siapa?” Entah sudah berapa kali mulut ini mengucap pertanyaan itu, sembari tanganku sibuk mengulang-ulang panggilan ke nomornya. Hari ini aku memutuskan bolos kuliah. Salahkan Dika kalau sampai Pak Juki memberiku nilai di bawah C. Dika yang membuat aku jadi tidak fokus, makan pun tak selahap biasanya. Bahkan baru tadi pagi aku ingat, bahwa kemarin belum makan seharian. Ingatnya pun karena lambungku berontak, perih tak terkira. Padahal sudah lama sakit maagku tidak kambuh.
“Halo?”
Wah! Suara yang begitu kurindukan akhirnya menjawab panggilanku. Tapi nada bicaranya tak seramah biasanya. Kurasakan ada perasaan enggan di sana. Sedikit lelah dan marah.
“Dika, kamu lagi di mana?! Sumpah aku hampir gila, aku sekarang di kafe biasa, bolos kuliah karena aku lagi nggak bisa fokus. Mikirin kamu, Dika!” suaraku bergetar. Bisa ditebak kalau tak butuh waktu lama untuk bulir-bulir air mata membasahi pipiku. Untungnya kafe saat itu sedang ramai. Membuatku terlalu malu membiarkan tangisku pecah.
“Aku lagi banyak banget kerjaan, Timur. Kamu pikir aku di sini nggak hampir gila?? Sudah ya, aku buru-buru banget, sudah ditunggu yang lain.”
Tut … tut … tut ….
Telepon terputus.
Rasa malu yang tadinya bisa menahan air mataku tak runtuh di hadapan orang banyak, akhirnya mengalah juga. Aku bergegas, berjalan cepat ke toilet kafe, membiarkan air mata yang sedari tadi memaksa untuk keluar, tumpah, membasahi pipiku, melunturkan maskaraku. Aku tak peduli, akan ada banyak orang mengantre. Aku harus menyelesaikan urusanku yang satu ini dulu. Aku tak peduli, akan jadi apa wajahku setelah ini. Aku harus menuruti batinku bergolak sekencang-kencangnya. Aku tak peduli, sungguh. Aku tak peduli.
***
MASIH kuingat jelas percakapan sore itu, sepulang kuliah, di dalam sebuah kamar kos berukuran 3×4. Dika, sosok lelaki yang baru aku kenal tak lebih dari 2 bulan, dengan semburat wajah meyakinkan, tegas, dan penuh kasihnya, mengutarakan sebuah kalimat yang membuatku, detik itu juga, percaya bahwa Tuhan telah berbaik hati mengirim pasangan hati, untuk menemaniku di sisa usiaku. Begitu bahagianya aku kala itu. Tak perlu berpikir dua kali untuk aku yakin dengan kemantapan hatinya. Tanpa ragu, tanpa curiga.
“Timur,” bisiknya lembut di telingaku. Aku yang saat itu sedang bersandar di pundaknya, mendongak, menatap lekat wajah yang kukagumi bahkan sejak kulihat kali pertama.
“Ya, Diwangkara?”
“Kamu tahu nggak, rasanya sudah lama aku nggak merasakan seperti yang aku rasakan setiap menghabiskan waktu bersamamu,” ungkapnya. Masih dengan suara yang begitu lembut, menenangkan.
Aku tersipu, tak kuasa menahan malu. Tapi kusembunyikan itu semua dengan pura-pura tidak paham. “Maksudmu?”
“Ya, aku senang. Aku senang ada di dekatmu. Aku bersyukur kita bisa ketemu di kafe waktu itu yang bahkan sebelumnya aku belum pernah datang ke sana. Padahal kalau dipikir sudah nggak terhitung berapa kali aku lewat di depannya. Aku rasa Tuhan memang sengaja mempertemukan kita, ya, Timur,” jawabnya yakin, sambil sesekali mengusap rambutku pelan.
“Ah, kamu nih bikin aku malu aja, Dik,” ujarku. Cuma itu yang bisa keluar dari mulutku, saking tak bisanya berkata-kata. Terlalu bahagia hatiku kala itu, hingga membuyarkan semua kosa kata yang sudah kupelajari sejak mulut ini bisa bicara. Ya, aku begitu kehabisan kata-kata. Sisanya, aku hanya senyum-senyum malu.
“Aku serius, Timur. Please, percaya aku,” tambahnya.
“Iya …. Aku percaya, Dika.”
Rasanya waktu itu aku tidak berpikiran bahwa ada pilihan lain selain percaya pada sosok lelaki yang bahkan tidak pernah menawarkan aku untuk jadi pacarnya itu.
“Aku siap kalau suatu saat kamu minta aku untuk datang ke rumah orang tuamu, Timur.”
Boom! Kalimat sakti itu muncul. Kalimat yang mampu membuatku susah tidur memikirkannya setidaknya sampai seminggu setelah sore menggemaskan itu. Sejurus aku merasa menjadi wanita paling beruntung di jagat raya, telah dipertemukan dengan Dika, orang yang aku umpamakan sebagai oase di gurun sahara. Kali itu aku benar-benar tak bisa bicara apa-apa, selain membiarkan Dika memelukku erat.
***
BUKAN cara Dika memperlakukanku yang membuat hati ini serasa teriris. Bukan pula perubahan sikapnya yang membuat dada ini kerap kali sesak. Janji-janjinyalah yang melayang-layang di kepala, seolah menuntut pertanggungjawaban. Dika yang membuatku begitu ketergantungan dan terlampau percaya padanya. Ia hadir dengan membawa masa depan yang sudah rapih aku simpan dalam hati. Ironis, ia pula yang tiba-tiba pergi, mencuri masa depan yang sudah aman kusimpan.
Entah sudah rokok ke berapa yang aku habiskan malam ini. Yang kuingat, siang tadi aku berjalan melewati kios Mak Ijah, dan melihat beberapa rokok berjajar rapi di etalase. Tanpa pikir panjang, aku membeli satu bungkus rokok favorit Dika. Sebelumnya aku pernah mencoba mengisapnya, Dika yang menyodorkan padaku. Tapi percobaan kali itu tak senikmat malam ini. Kualihkan pandanganku ke dalam kotak bertuliskan “Merokok Membunuhmu” itu, ternyata hanya tersisa 4 batang. Berarti sudah 16 batang yang kuhabiskan cuma dalam waktu 6 jam.
Ya, waktu sekarang menunjukkan pukul 02:12. Sudah terlalu larut, tapi mata ini masih saja tak mau terpejam. Untung saja besok Minggu. Seuntung-untungnya, aku tetap tak bisa lagi merasakan ketenangan sejak Dika jarang memberi kabar. Rasanya aku sudah lupa caranya untuk sekadar tersenyum saat teman-teman menyapa. Sepertinya kali ini, aku perlu memakai topeng kebahagiaan lagi. Topeng yang sudah lama kutinggalkan hingga lupa kumenaruhnya.
***
Kisah Kalatimur merupakan seri cerita bersambung dari Hipwee yang terbit setiap hari Jumat. Ikuti terus kisahnya dan temukan kejutan menarik di akhir cerita!
ADVERTISEMENTS
Baca episode sebelumnya di sini:
#1 – Musim Hujan Turun dari Timur